Khatib Diingatkan MUI Tidak Lakukan Politisasi Khotbah di Tahun Politik

Politik | Minggu, 23 Juli 2023 - 19:35 WIB

Khatib Diingatkan MUI Tidak Lakukan Politisasi Khotbah di Tahun Politik
Kegiatan sosialisasi buku khotbah Jumat yang diselenggarakan Wadah Silaturahmi Khatib Indonesia di Tangerang Selatan, Kamis (23/7/2023). (HILMI SETIAWAN/JAWA POS)

JAKARTA (RIAUPOS.CO)  – Indonesia memasuki tahun politik. Pada 2024 mendatang bangsa ini melangsungkan pesta demokrasi serentak. Hingar bingar dan tahapannya sudah berlangsung sejak 2023.

Maka dari itu tahun ini disebut tahun politik. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengambil sikap dalam menyongsong Pemilu 2024. Sikapnya mengimbau para penceramah atau khatib untuk tidak melakukan politisasi selama tahun politik.


Pesan itu itu disampaikan Wakil Sekjen MUI Arif Fahrudin. Dia mengatakan, khatib tidak boleh melakukan politisasi materi khotbah. Masyarakat atau para khatib perlu membedakan antara politik khotbah dengan politisasi khotbah.

"MUI bahkan menyampaikan pentingnya melakukan politik khotbah," kata Arif Fahrudin saat memberikan materi seminar Halaqoh dan Sosialisasi Khutbah Jumat Islam Wasathiyah di Ciputat, Tangerang Selatan pada Ahad (23/7/2023).

Dalam kesempatan itu dia mengatakan, politik khotbah masih boleh disampaikan oleh para khatib. Politik khotbah itu menyampaikan pesan-pesan pengentasan kemiskinan, penguatan agama, serta peningkatan kualitas pendidikan dan literasi untuk masyarakat. Atau isu-isu sosial lain, seperti kesejahteraan sosial, akses kesehatan, dan lainnya.

Menurut dia politik khotbah sangat penting. Supaya, isi khotbah tidak melulu bertema langitan saja. Yaitu, tema-tema seperti mengupas soal surga dan negara. Tema-tema langitan atau urusan akhirat itu penting, untuk meningkatkan iman dan takwa. Tema-tema sosial atau yang membumi seperti kemiskinan, pendidikan, dan kesejahteraan umat juga sangat penting.

"Kalau politisasi khotbah, MUI menegaskan no. Tidak boleh," tandasnya.

Politisasi khotbah itu di antaranya menyisipkan pesan-pesan politik praktis. Misalnya mendukung partai tertentu atau bahkan mendukung kepala daerah, bahkan sampai presiden tertentu. Isi khotbah yang seperti itu, tidak tepat dan bisa merusak ukhuwah umat.

Memasuki tahun politik Pemilu 2024 seperti saat ini, isu-isu politik sangat rentan dan sensitif. Untuk itu dia mengingatkan para khatib untuk tidak memasukkan pesan politik praktis dalam materi khutbahnya.

Pemateri lain dalam forum tersebut adalah Gus Najih Ar-Romadhoni. Dia mengatakan khutbah memiliki peran strategis untuk menjaga relasi antara Islam dan Indonesia. Selama materi atau pesan yang dibawakan bernuansa sejuk dan tidak menjelek-jelekkan pihak lain.

"Materi khotbah harus baik, supaya tidak memecah belah umat dan mengurangi kesatuan bangsa," katanya.

Gus Najih mengingatkan bahwa keberagaman di Indonesia sangat luas. Dia juga mengatakan Indonesia adalah negara yang memberikan kebebasan kepada umat Islam.

Bahkan Indonesia adalah negara dengan jumlah masjid terbanyak di dunia. Banyaknya jumlah masjid itu, harus bisa dimanfaatkan untuk kebaikan. Masjid harus bisa menjadi tempat menyampaikan pesan anti perpecahan.

Selain itu, Gus Najih juga menyampaikan bahwa khatib sebaiknya menghindari masalah-masalah yang bersifat khilafiyah untuk disampaikan ke jemaahnya. Sebaliknya, khatib harus memperbaharui isi atau konten khotbahnya sesuai dengan isu-isu kebangsaan terkini. Dia juga titip pesan kepada para DKM untuk memperhatikan buletin-buletin yang disebar di masjid-masjid. Jangan sampai buletin itu sebagai bentuk propaganda atau terindikasi menyampaikan ajaran sesat.

Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwar Yaman

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook