JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Belum bertarung sudah ”dihajar”. Nasib itulah yang kini dialami politikus-politikus ”kutu loncat”. Gara-gara pindah parpol saat mendaftar sebagai caleg, mereka dianggap tidak bermoral dan tak mempunyai etika dalam berpolitik.
Pengamat Politik LIPI Syamsuddin Haris menyatakan, banyaknya anggota DPR yang pindah parpol saat pendaftaran caleg bukanlah hal yang bisa dianggap wajar. ”Itu fenomena yang sangat memprihatinkan. Seharusnya mereka mempunyai komitmen ideologis,” ujarnya, Jumat (20/7).
Dia menilai langkah para politikus yang pindah partai itu tidak merusak demokrasi. Tujuannya tidak lagi mengabdi atau melayani rakyat, tetapi hanya untuk kepentingan jangka pendek politikus itu sendiri. Apalagi, tersebar kabar bahwa sejumlah politikus tersebut pindah karena ada iming-iming uang. Jika benar, hal itu sangat memalukan dan tidak bermoral.
Haris menyatakan, menjadi anggota dewan merupakan panggilan untuk melayani rakyat dan mengabdi kepada negara. Jabatan tersebut tidak seharusnya diperjualbelikan. ”Seharusnya mereka tidak boleh pindah karena bergabung ke partai merupakan pilihan ideologis. Kalau tidak ideologis, kenapa harus ada banyak partai. Satu partai saja cukup,” tuturnya.
Ke depan, Syamsuddin berharap ada aturan standar etik bagi partai politik dan politisi dalam undang-undang. Dengan standar itu, tidak ada lagi politisi yang seenaknya pindah partai. Jika ada yang ingin pindah partai, partai baru yang menjadi jujukan bisa menolaknya. ”Orang oportunis kok diterima,” ungkapnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai perpindahan kader partai memperlihatkan lemahnya mekanisme kaderisasi dan rekrutmen partai politik. Dia menyarankan dibuat aturan yang lebih konkret mengenai syarat rekrutmen berbasis kaderisasi yang harus diterapkan partai politik peserta pemilu.
Sementara itu, Dossy Iskandar, politikus Partai Hanura yang pindah ke Partai NasDem, mengaku pindah partai bukan karena diiming-imingi materi. Dia mengaku karena tertarik dengan sistem yang berjalan di dalamnya. ”Konflik di internal Hanura juga menjadi salah satu penyebabnya,” tuturnya.(lum/c20/fat/das)