Alhamdulillah terima kasih ya Allah. Telah Kau antar kami ke pertemuan subuh ini 22 Maret 2023. Di sini kami akan membaca ayat tanda kebesaran-Mu. Sehingga tersingkaplah tirai. Jelas kerajaan langit dan jelaslah kerajaan bumi. Jelaslah ke mana kaki hendak dilangkahkan dan jelaslah tujuan hidup ini Salawat dan salam untuk junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW. Allahumma Shalli ‘Alaa Sayyidinaa Muhammad Wa’alaa Aali Sayyidinaa Muhammadin.
Yang penting adalah menegaskan keperuntukan puasa; kalau diniatkan untuk kebaikan, maka yang akan datang adalah sugesti-sugesti kebaikan. Di sinilah letak kebenaran sebuah hadis, “Segala pekerjaan itu bergantung kepada niatnya, dan bagi setiap orang memperoleh hasil sesuai dengan niatnya.” Karena berada dalam batin, tidak bisa dikontrol, niat menjadi rahasia kita dengan Allah.
“Puasa adalah untuk-Ku semata, Akulah yang memberikan pahalanya.” Jadi, seperti juga takwa yang bersifat ruhani, puasa itu harus diawali atau berpangkal pada ketulusan niat yang juga privat, sehingga menyangkut kelangsungan agama Islam di kemudian hari. Salah satu hikmah puasa ialah asketik, menjadi zuhud, yaitu hidup suci. Hidup suci itu implikasinya antara lain tidak menolak dunia, tetapi menomorduakan dunia. Yang dimaksud dengan menomorduakan dunia ialah sikap yang menyadari bahwa dunia bukan segala-galanya.
Dunia hanya perantara untuk hidup yang lebih abadi dan lebih hakiki. Oleh karena itu, yang disebut asketik bukanlah mengharamkan yang halal. Tidak perlu mengharam-haramkan yang halal karena yang halal tetap halal. Sabda Nabi, “Engkau dengan apa yang di tanganmu itu tidak lebih mantap, tidak lebih percaya diri, tidak lebih puas daripada engkau dengan apa yang ada di tangan Tuhan.” Artinya, bahwa kita dengan apa yang ada di tangan kita itu tidak lebih bahagia daripada yang diperlukan Tuhan; kita harus tetap bertanya kepada Tuhan, apakah ini yang dikehendaki. Kalau tidak, ambil saja, berilah aku yang Engkau kehendaki, lebih-lebih yang bersifat nikmat atau kesenangan. Inilah yang dimaksud rida kepada Allah SWT.
Kita rela dan pasrah sepenuhnya dengan apa yang diberikan oleh Allah kepada kita. Tentu saja pasrah dalam arti positif dan aktif, bukan arti pasif.
“Barang siapa yang tidak bisa menahan dirinya dari sesuatu yang kotor dan malah melakukan sesuatu yang kotor, maka Allah tidak peduli (tidak ada urusan) bahwa dia itu meninggalkan makan dan perintah ibadah puasa adalah, seperti dinyatakan kitab suci Al-Quran sendiri, menyantuni dan menolong orang yang berada dalam kesusahan (dzâ mathrabah [homeless]), orang yang berkalang tanah.
Kemiskinan yang ada sekarang menuntut dilakukannya amal saleh berupa upaya atau langkah-langkah membantu mereka melepaskan diri dari belenggu kemiskinan struktural. Pengertian struktural adalah sebuah penggambaran kemiskinan ketika orang miskin tidak dapat lagi melepaskan dirinya dari lingkaran struktur yang menjadikan ia miskin. Dari situ kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk dapat hidup sukses sejalan dengan perspektif Al-Qu’ran, ada empat faktor yang ditawarkan oleh Al-Qur’an seperti yang terkandung dalam surat Al-‘Ashr (QS. 103).
Faktor pertama adalah mengajarkan bahwa agar berhasil dalam menjalani kehidupan ini, maka seseorang harus dapat menghormati waktu. Menghormati waktu berarti mengatur dan mengelola serta memanfaatkan waktu untuk beribadah dalam pengertian yang luas sebaik-baiknya. Kedua, harus beriman secara benar. Ketiga, seseorang harus mampu melakukan amal saleh atau kerja sosial karena hampir keseluruhan ibadah dalam Islam selalu dibarengi dimensi konsekuensial. Dan yang keempat, seseorang harus mengikuti sebuah mekanisme sosial yang ada, berupa kontrol sosial, yang di sini disebut sikap wa tawâshaw bi al-haqq wa tawâshaw bi al-shabr atau saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.
Adanya kontrol sosial yang berwujud tanggung jawab untuk saling mengingatkan dimaksudkan dalam rangka mencapai derajat ketakwaan yang lebih tinggi. Kontrol sosial sering berupa kritik, teguran, dan saran, dan tentunya bukanlah kritik atau teguran yang dilatarbelakangi oleh kepentingan pribadi (vested- interest), melainkan dalam rangka mencari kebenaran. Seperti kita ketahui bersama, manusia itu sering sekali menjadi tawanan dirinya karena ketidakmampuan melepaskan atau menyelamatkan diri dari dorongan hawa nafsu (vested-interest).
Pada posisi yang demikian itu, dia tidak lagi mampu melepaskan diri dari kungkungan kepentingan dan posisi dirinya. Kalau sudah menjadi tawanan kepentingan dan posisi dirinya, maka seseorang akan sulit dan tidak mampu lagi membedakan yang benar dan yang salah. Kondisi yang merugikan diri itu ibadah puasa yang bertujuan mencapai derajat atau kualitas takwa dalam arti rabbânîyah, maka ibadah shalat dimaksudkan untuk mendapatkan perkenan atau rida Allah SWT. Karena itu, ibadah salat juga akan melahirkan budi luhur sebagaimana ibadah puasa.***