PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - MASIH segar dalam ingatan, tahun-tahun sebelumnya, kita mengaitkan puasa Ramadan dengan era digital revolusi industri 4.0 yang mendegradasi rasa kemanusiaan ketika harus mengalah dari robot (kecerdasan buatan manusia itu sendiri). Pascaisu era digital itu, kita disibukkan pandemi Covid-19, umat Islam tak leluasa menunaikan ibadahpuasa Ramadan di masjid karena larangan berkumpul.
Ustaz kita sibuk menjelaskan dalil-dalilnya. Keharusan work from home (harus bekerja dari rumah) merupakan hikmah karena orang tua yang bekerja memiliki banyak waktu di bulan Ramadan kumpul dengan keluarga. Di lain Ramadan pascapandemi, kita sibuk memotivasi umat, bahwa di balik kesulitan yang kita alami, pasti membawa berkah bagi kehidupan di era normal baru.
Puasa Ramadan 1444 H tahun ini, kita digoda oleh isu gaya hidup hedon kalangan the haves yang pamer kekayaan dan kemewahan, viral di berbagai media, mulai dari kawasan barat Indonesia sampai ke kawasan timur, beritanya sambung-menyambung.
Masyarakat kita yang sudah terlanjur kecemplung "kolam" masyarakat terbuka, melek digital, dan berpikir kritis, dibuat salah tingkah serbasalah. Mau direspons khawatir dibilang iri hati, dengki, ikut campur urusan orang lain. Mau digosipin pasti ghibah. Kaum muslim pasti menghindari sifat ini. Tak direspons, berarti kita tak saling mengingatkan, dan membiarkan temannya terjerumus. Itu juga dosa.
Hedonisme yang dihebohkan itu merupakan paham, ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup, dan mereka senang memamerkan kemewahannya.
Menurut catatan sejarah kemanusiaan, hedonisme muncul pada awal sejarah filsafat sekitar tahun 433 SM, kemudian dilanjutkan seorang filsuf Yunani bernama Epikuros (341-270 SM). Menurutnya, tindakan manusia yang mencari kesenangan itu adalah kodrat alamiah.
Dalam dunia filsafat barat, hedonisme adalah aliran yang menganggap bahwa kebahagiaan adalah hal terpenting dalam hidup, dan kebahagiaan dapat dicapai melalui pemenuhan kebutuhan dan hasrat pribadi. Tak masalah dengan perilaku hidup mewah, bermewah-mewah dan mempertontonkannya. Hedonisme adalah derivasi (turunan) dari liberalisme. Pandangan ini lahir di Barat, yang memuja kebebasan berperilaku.
Hal ini sejalan dengan dimensi budaya yang disebut antropolog Belanda, Hofstede yang menyebut dimensi budaya maskulinitas versus femininitas. Dimensi kebudayaan ini menunjukkan bahwa dalam tiap masyarakat terdapat peran yang berbeda-beda tergantung perbedaan jenis para anggotanya.
Pada masyarakat maskulin (Barat umumnya), menganggap pria harus lebih berambisi, suka bersaing, dan berani menyatakan pendapatnya, dan cenderung berusaha mencapai keberhasilan material. Mereka bersikap asertif, berkomunikasi secara jujur, tegas, dan lugas, sehinga berjarak dan cenderung dingin.
Beda dimensi dengan masyarakat yang berbudaya feminin, kaum pria diharapkan lebih memperhatikan kualitas kehidupan dibandingkan dengan keberhasilan materialitas. Hofstede mengelompokkan orang Indonesia dalam kategori less masculine atau kurang maskulin (nilai 46 dari maksimal 100), dengan kata lain sebenarnya orang Indonesia berdimensi budaya feminin.
Masyarakat yang berdimensi budaya feminin memperhatikan hubungan pertemanan, persaudaraan, kekeluargaan, keramahan, kedekatan, kehangatan, hubungan baik antar pribadi, kepedulian pada orang lain, kebersamaan, dan harmoni.
Dengan demikian wajar bila hedonisme (dengan segala sifatnya) dipandang sinis oleh masyarakat Indonesia, beda dengan Barat, "lu lu, gue gue". Dalam perspektif dimensi budaya feminin yang mayoritas masyarakatnya muslim, hedonisme pasti menimbulkan masalah, apalagi di tengah fenomena keterasingan sosial akibat menurunnya rasa saling percaya (trust) di tengah masyarakat. Sentimen sosial mudah tersulut. Miskomunikasi berujung misunderstanding mudah terjadi, dan bisa menggerus semangat toleransi.
Dalam bulan puasa Ramadan yang penuh semangat empati dan toleransi ini, saatnya para stakeholder serius berkontemplasi, melakukan install ulang perangkat lunak komunikasi yang ada dalam hati sanubari. Musuh kita tidak berada di luar sana. "The enemy is not out there", kata Peter Drucker. Musuh itu ada di dalam diri kita sendiri. Dan para warganet yang memiliki common sense, tanpa kompromi, jadilah pilar utama negeri ini dalam menegakkan tata kelola pemerintahan yang baik. Selamat berpuasa.***