RIAUPOS.CO - Dalam Alquran Surat al-Baqarah: 183, Allah memanggil hamba-Nya dengan panggilan yang terindah. Panggilan “hai orang-orang yang beriman...”. Sebuah panggilan istimewa dari Khaliq kepada hamba-Nya.
Panggilan tersebut disebabkan perintah puasa merupakan ibadah khusus dari hamba untuk Allah. Sehingga hanya Allah yang akan memberi derajat kepada orang yang berpuasa. Namun, puasa sebagai bulan tarbiyah dengan sejuta keutamaannya perlu direlevansikan antara ideal dan realitas kemanusiaan. Sebab, panggilan “hai orang-orang beriman” perlu dijawab oleh manusia dalam kedua konteks tersebut. QS al-Baqarah: 183 merupakan harapan menuju perubahan yang idealnya didapat hamba Allah yaitu ketakwaan.
Wujud keimanan yang berbuah ketakwaan adalah manifestasi dalam kehidupan yang membawa pesan-pesan kekhalifahan dengan nilai rahmatan lil ‘alamin. Wujud keimanan diri tatkala tak mampu memberi, maka jangan mengambil hak orang. Tatkala tak mampu memuji maka jangan menghina. Tatkala tak mampu memberi kebahagiaan maka jangan menyusahkan orang lain.
Kesempurnaan iman bukan mencari kesempurnaan diri, tapi menyempurnakan apa yang ada pada diri. Wujud realitasnya melahirnya kesalehan vertikal yang memancar kesalehan horizontal (sosial dan kemakhlukan).
Bila puasa sebagai bulan tarbiyah gagal dijawab oleh hamba-Nya, maka panggilan “hai orang-orang beriman...” akan menjadi sebuah ungkapan tanpa upaya menjawab panggilan Allah. Bila demikian, panggilan siapa yang akan dijawab oleh manusia?
Apakah berarti puasa gagal melaksanakan misinya atau justru manusia gagal memahami puasa dan menjadi hamba yang tidak cerdas selama mengikuti pendidikan di bulan Ramadan? Ketika Ramadan secara bahasa berarti “membakar atau pembakaran” mengandung makna yang dalam. Pembakaran atas dosa dan kesalahan selama ini akan berhasil tatkala proses pembakaran dilaksanakan dengan baik.
Bila proses pembakaran tidak sesuai prosedur, maka bagaikan membakar ikan dengan menggunakan prosedur yang salah. Ikan yang dibakar meski terlihat matang di luar namun mentah dan berdarah di dalamnya. Artinya, bila Ramadan hanya dipahami dan dilaksanakan secara syariat dalam ritual tanpa makna, maka puasa hanya akan menjadi rutinitas untuk sekadar menunjukkan ke-islaman, namun belum mampu mematangkan hati sehingga “matang” untuk bisa merasakan kehadiran Allah.
Bila hal ini terjadi, maka perlu dipertanyakan terbuat dari apakah hati kita? Apakah lebih keras dari batu sehingga Ramadan tak mampu berbekas sedikit jua. Hati yang gagal dibentuk oleh Ramadan adalah kegagalan manusia menjadikan hati sebagai sumber kebenaran Ilahi. Hati yang dimiliki hanya sebatas menjalankan fungsi kehidupan lahiriah.