Keempat, berlapang dada dalam masalah khilafiyah. Penuntut ilmu mesti berlapang dada dalam menyikapi perbedaan pendapat yang bersumber dari ijtihad. Permasalahan yang memungkinkan seseorang berpendapat dan terbuka kemungkinan untuk berbeda.
Kelima, mengamalkan ilmu. Mengamalkan ilmu merupakan hasil dan buah dari ilmu itu. Pengemban ilmu itu seperti pembawa senjata. Dapat berguna dan dapat pula mencelakakan. Dapat membela apabila diamalkan dan dapat mencelakakan apabila tidak diamalkan. Keutamaan ilmu adalah diamalkan dan diajarkan dan berkurang apabila tidak diamalkan dan diajarkan serta yang merusaknya adalah al-kitman, menyembunyikan ilmu.
Keenam, sabar dalam menuntut ilmu. Tidak terputus di tengah jalan dan tidak pula bosan. Bahkan terus-menerus menuntut ilmu semampunya. Kisah tentang kesabaran dalam menuntut ilmu sangatlah banyak, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa beliau ditanya oleh seseorang: “Dengan apa Anda bisa mendapatkan ilmu?” Beliau menjawab: “Dengan lisan yang selalu bertanya dan hati yang selalu memahami serta badan yang tidak pernah bosan.”
Siapa mengetahui keutamaan ilmu dan merasakan kelezatannya pastilah dia selalu ingin menambah dan mengupayakannya. Dia selalu lapar (ilmu) dan tidak pernah kenyang sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya: “Ada dua kelompok manusia yang selalu lapar dan tidak pernah kenyang: orang yang lapar ilmu tidak pernah kenyang dan orang yang lapar dunia tidak pernah kenyang pula.”
Ketujuh, menghormati dan menghargai ulama. Menghargai para ulama dan berlapang dada dalam menyikapi perbedaan pendapat di antara mereka serta memberi udzur (alasan) kepada para ulama yang menurut keyakinan mereka telah berbuat kesalahan. Ini adalah masalah yang sangat penting, karena sebagian orang sengaja mencari-cari kesalahan ulama untuk menjatuhkan mereka di mata masyarakat. Jangan sekali-kali memancing kemarahannya dengan “perang urat syaraf”, yaitu menguji kemampuan ilmu dan kesabarannya.