(RIAUPOS.CO) - Sejak mewabah Covid-19, banyak istilah yang bermunculan terkait dengan penanganan wabah tersebut. Di antara istilah-istilah itu ada social distancing atau pembatasan sosial yang diartikan menghindari tempat umum, menjauhi keramaian, dan menjaga jarak optimal dua meter dari orang lain. Dengan adanya jarak, penyebaran penyakit ini diharapkan dapat berkurang.
Selain itu ada istilah isolasi dan karantina. Perbedaannya, isolasi memisahkan orang yang sudah sakit dengan orang yang tidak sakit untuk mencegah penyebaran virus corona. Ssedangkan karantina memisahkan dan membatasi kegiatan orang yang sudah terpapar virus corona namun belum menunjukkan gejala. Berbagai pakar menganjurkan untuk melakukan karantina di rumah atau isolasi mandiri selama setidaknya 14 hari.
Juga ada istilah lockdown dan karantina wilayah, yaitu pembatasan pergerakan penduduk dalam suatu wilayah, termasuk menutup akses masuk dan keluar wilayah. Penutupan jalur keluar masuk serta pembatasan pergerakan penduduk ini dilakukan untuk mengurangi kontaminasi dan penyebaran penyakit Covid-19.
Tak hanya itu, pasien dalam pengawasan (PDP) dan orang dalam pemantauan (ODP). PDP dan ODP merupakan definisi yang digunakan untuk mengelompokkan individu berdasarkan gejala demam dan/atau gangguan pernapasan, riwayat perjalanan ke daerah pandemi infeksi virus corona atau tinggal di daerah tersebut selama 14 hari terakhir sebelum gejala timbul, riwayat kontak dengan orang yang terinfeksi atau diduga terinfeksi Covid-19 dalam 14 hari terakhir sebelum gejala timbul. Dan banyak lagi istilah yang lain.
Dari istilah-istilah di atas, istilah yang keempat yakni ODP mengingatkan kita, masuk tidak masuknya kita sebagai ODP terkait dengan pencegahan Covid-19. Yang pasti kita semua adalah ODP Zat Yang Maha Mengawasi. Bila CCTV lalu lintas saja sudah dikategorikan begitu canggih, terbayang dengan pengawasan Rabb, Allah Tuhan Yang Maha Mengawasi.
Semakin yakin bahwa apapun yang dikerjakan tercatat, terekam dan kelak akan diminta pertanggungjawaban. Diminta membayar akan perbuatan-perbuatan yang melanggar perintah-Nya. Aturan lalu lintas saja kami sudah tak bisa mengelak, bagaimana kelak di hari pertanggungjawaban? Merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla , atau disebut muraqabah, artinya apabila seorang manusia memahami dan meyakini bahwa Allah SWT selalu mengawasi segala gerak lahir dan batinnya.
Prilaku seorang hamba yang senantiasa memahami dan meyakini dirinya selalu diawasi inilah yang disebut muraqabah. Muraqabah ini merupakan hasil dari pengetahuan seseorang yang dengannya dia meyakini bahwa Allah SWT senantiasa mengawasi, melihat, mendengar dan mengetahui semua sepak terjangnya setiap saat, setiap tarikan nafas dan setiap kedipan mata.
Allah SWT memproklamirkan bahwa diri-Nya memiliki sifat yang disebut al-Raqib (Yang Maha Mengawasi). Ada tiga tempat di dalam Alquran, Allah menyebut diri-Nya al-Raqib, yaitu pada Surat Al-Nisak ayat 1; “Sesungguhnya Allah mengawasi kamu semua”, surat al-Ahzab 52; “dan Allah Maha Mengawasi segala sesuatu”, dan surat al-Maidah ayat 117; “ maka setelah engkau wafatkan (angkat) aku Engkaulah Yang Maha Mengawasi mereka”.
Ibnu Faris Rahimahullah menjelaskan bahwa asal kata nama ini menunjukkan makna yang satu, yaitu berdiri (tegak) untuk mengawasi atau memperhatikan sesuatu. Sedanglan al-Fairuz Abadi rahimahullah dalam al-Qamuusnya menjelaskan bahwa nama ini secara bahasa berarti pengawas, penunggu dan penjaga. Sementara itu, Ibnul Atsir rahimahullah dan Ibnu Manzhur rahimahullah menjelaskan bahwa nama Allah al-Raqib berarti Maha Penjaga/Pengawas yang tidak ada sesuatu pun yang luput dari-Nya.
Makna al-Raqib secara lebih terperinci adalah Zat Yang Maha memperhatikan (mengetahui) segala yang tersembunyi dalam dada (hati) manusia, Yang Maha Mengawasi apa yang diusahakan setiap diri manusia, Yang Maha Memelihara semua makhluk dan mengatur mereka dengan sebaik-baik aturan dan penataan paling sempurna, Yang Maha Mengawasi semua yang terlihat dengan penglihatan-Nya, tidak ada sesuatu pun yang luput dari-Nya, Yang Maha Mengawasi semua yang terdengar dengan pendengaran-Nya yang meliputi segala sesuatu, Yang Maha Mengawasi (memperhatikan) semua makhluk dengan ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu. Salah satu tanda di antara tanda keimanan seorang muslim adalah keyakinan tentang zat Allah Ta’ala yang Maha Mengawasi atau yang disebut al- Raqib ini.
Pengaruh positif yang paling utama dengan mengimani nama Allah Yang Agung ini adalah senantiasa merasakan muraaqabatullah (pengawasan dari Allah Ta’ala) dalam semua keadaan kita, dan timbulnya rasa malu yang sesungguhnya di hadapan-Nya. Yang ini semua akan mendorong seorang hamba untuk selalu menetapi ketaatan kepada-Nya dan menjauhi semua perbuatan maksiat, di manapun dia berada.
Muraaqabatullah adalah kedudukan yang sangat tinggi dan agung dalam Islam, sekaligus termasuk tahapan utama untuk menempuh perjalanan menuju perjumpaan dengan Allah dan negeri akhirat. Contoh klasik dari sikap muraaqabatullah ini adalah kisah yang cukup terkenal, Umar bin Khattab ra bertemu dengan seorang anak penggembala kambing.
Umar berkata kepadanya, “Banyak sekali kambing yang kau pelihara. Semuanya bagus dan gemuk-gemuk. Juallah padaku satu ekor saja.” Anak tersebut menjawab, “Saya bukan pemilik kambing-kambing ini. Saya hanya menggembalakan dan memungut upah darinya.” Umar membalas, “Katakan saja kepada majikanmu, salah satu kambingnya dimakan serigala.” Anak tersebut terdiam sejenak lalu berkata, “Di mana Allah? Jika Tuan menyuruh saya berbohong, di mana Allah? Bukankah Allah Maha Melihat? Apakah Tuan mau menjerumuskan saya ke dalam neraka karena telah berbohong?” Kisah ini merupakan teladan mengenai muraqabah terhadap pengawasan Allah SWT yang menjadikan seseorang tidak berani untuk melakukan kemaksiatan.
Untuk menumbuhkembang sikaf muraqabah ini beberapa upaya dapat dilakukan di antaranya ; meningkatkan kualitas keimanan kepada Allah. Mencermati ayat-ayat kauniyah yang terjadi di tengah-tengah kehidupan seperti wabah Covid-19 yang seharusnya memberikan kesadaran betapa Maha Agunnya dan Maha berkehendaknya Allah SWT dan betapa dhaifnya kita di hadapan-Nya.
Melatih diri untuk menjaga perintah dan larangan Allah SWT, di manapun dan kapanmu ia berada, karena hal ini akan menumbuhkan sikap muraqabah dalam jiwa kita. Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda: Dari Ibnu Abas ra, berkata; pada suatu hari saya berada di belakang Nabi Muhammad SAW, lalu beliau berkata, “Wahai ghulam, peliharalah (perintah) Allah, niscaya Allah akan memeliharamu. Dan peliharalah (larangan) Allah, niscaya niscaya kamu dapati Allah selalu berada di hadapanmu.” (HR. Tirmidzi).
Bersahabat dengan orang-orang shaleh yang memilki rasa takut kepada Allah, dengan persahatan in sya Allah akan menimbulkan pengaruh positif pada diri kita untuk turut memiliki rasa takut kepada Allah sebagaimana sahabat kita, dan Memperbanyak menangis (karena Allah), dan meminimalisir tertawa, terutama karena senda gurau, karena jiwa yang banyak tertawa, akan sulit untuk dapat merenungi dan mentadaburi ayat-ayat Allah, sementara jiwa yang terisi dengan keimanan yang membara memunculkan sikap tenang dan tawadhu’. Wallahu A’lam.***