PERNIAGAAN adalah pintu kebudayaan. Dalam buku Islamic Revicalism in a Changing Peasant Economy, Central Sumatra 1784-1847 (tahun 1992 diterjemahkan dengan judul Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah, Sumatera Tengah 1784-1847; dan tahun 2008 diterjemahkan ulang dengan judul Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri, Minangkabau 1784-1847), sejarawan Christine Dobbin menguraikan sejarah ekonomi Minangkabau (termasuk di dalamnya pantai timur Sumatera hingga ke Semenanjung Malaya) dan bagaimana kebudayaan (agama) ikut berperan di dalamnya.
Dalam penelitian itu, Dobbin tidak hanya melihat bagaimana pergerakan dunia perniagaan di Sumatera Tengah --Dobbin menganggap jazirah ini sebagai kawasan Minangkabau dalam arti luas, karena pergerakan perniagaan masyarakat ini nyaris menguasai Sumatera Tengah, bahkan Sumatera dan Asia Tenggara di masa itu-- tetapi juga pengaruh ekonomi perniagaan itu yang mendorong terjadinya reformasi Islam, salah satunya yang digerakkan oleh Padri yang tidak hanya terjadi di Bonjol dan kawasan Pasaman, tetapi juga sampai ke Tambusai (kini di Rokan Hulu, Riau) dan Padangsidempuan (Sumatera Utara).Pada masa itu, Sumatera Tengah adalah kawasan yang subur dengan penghasilan tidak hanya padi, tetapi juga hasil pertanian dan perkebunan yang menjadi incaran para pedagang Eropa seperti kopi, lada, gambir, cengkeh dan yang lainnya yang membuat Belanda (sebelumnya VOC) menjadikan kawasan ini sebagai salah satu tujuan “perdagangan” mereka, jika tak mau disebut sebagai cara untuk menguasai secara paksa. Bukan hanya komoditi pertanian, perniagaan emas yang ditambang di Salido (kini Pesisir Selatan, Sumbar) dan Sawahlunto, juga menjadi tujuan perniagaan ini.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Inggris yang berkuasa di Tumasik (Singapura) dan Malaya. Mereka berusaha menembus ke pedalaman Sumatera lewat tiga sungai besar yang langsung bermuara di Selat Melaka, yakni Sungai Kampar, Sungai Siak dan Sungai Rokan. Tiga jalur utama inilah, plus jalur Sungai Indragiri, yang dijadikan Inggris untuk bersaing dengan para pedagang Belanda agar memperoleh komoditi bermutu tinggi yang sangat laku di Eropa. Bahkan dalam periode 1790-1829, para pedagang dari Amerika juga berkelana mencari kopi dari pantai timur lewat jalur yang dipakai Inggris.
Di periode-periode perniagaan ini, kemudian muncul istilah “Melayu Kopi Daun” di kawasan ini. Masyarakat di pedalaman menjadikan daun kopi sebagai pengganti kopi. Daun kopi diasap, kemudian direbus dan disaring, dan disajikan seperti minum teh atau kopi. Pada awalnya, kondisinya tidak separah itu. Tetapi pada periode 1847-1908, seperti ditulis Mestika Zed (“Melayu Kopi Daun: Eksploitasi Kolonial dalam Sistem Tanam Paksa Kopi di Minang kabau, Sumatera Barat [1847-1908]”, 1983) ketika Belanda secara politis memaksa berkuasa di Sumatera Tengah, mereka melakukan tanam paksa kopi dan mendirikan perusahaan-perusahaan perkebunan besar (ondernemingen), masyarakat benar-benar tidak merasakan lezatnya kopi karena kopi-kopi tersebut diangkut ke Eropa dan menjadi komoditi perdagangan dunia yang sangat laku. Hasil kopi melimpah, tetapi masyarakat tak punya hak untuk sekadar meminum secangkir kopi yang dihasilkan tersebut.