Oleh Hary B Koriun
TURKI adalah negara “Asia” yang ikut Piala Eropa 2020 yang diselenggarakan tahun ini. Secara geografi, Turki berada di daratan Asia, berbatasan dengan negara-negaja jazirah Arab. Tetapi Gazi Mustafa Kemal Pasa “Ataturk” yang dikenal sebagai Bapak Turki, tak ingin negaranya bermental terbelakang. Dia ingin Turki bermental dunia dan mengejar keunggulan modernitas bangsa-bangsa Eropa.
Ataturk sadar dengan sejarah bagaimana Bani Umayyah, Abbasiyah, dan Turki Ottoman meluaskan kekuasaannya hingga ke Cordoba dan Andalusia –Spanyol sekarang. Ataturk ingin Turki sejajar dengan negara-negara Eropa, hidup sebagai negara modern, memisahkan agama dengan pemerintahan, dan melupakan ras Asia yang dianggapnya tak mau berpikir tentang kemajuan.
Turki kemudian memilih bergabung ke Benua Eropa, seperti halnya Israel –yang karena persoalan politik dimusuhi bangsa Asia lainnya— dan membangun dirinya sebagai masyarakat modern bermental Eropa dengan segala kelebihannya. Ataturk memimpin revolusi modernitas Turki tersebut –yang meskipun ditentang dari kanan-kiri— yang kini memang telah mengubah wajahnya sebagai negara Islam modern dan menganggap dirinya “sangat” Eropa.
Dalam bidang olahraga, dalam hal ini sepakbola, Turki telah membangun dirinya dengan prestasi yang belum bisa ditandingi oleh negara “Asia” lainnya. Pencapaian tertinggi mereka dengan meraih juara ketiga Piala Dunia 2002 Korea-Jepang dan juara ketiga Piala Konfederasi 2003, sudah membuat Turki layak dianggap sebagai negara “Eropa”. Padahal, negara Eropa yang bisa meraih prestasi seperti itu juga hanya bisa dihitung dengan jari.
Sebaliknya, negara-negara asal benua Asia yang menjadi tapak Turki, belum sampai pada tahap itu. Iran, Korea Selatan (Korsel), Jepang, Arab Saudi dan beberapa negara lainnya, selama ini hanya bertarung untuk lolos ke Piala Dunia. Di kejuaraan itu, mereka hanya kadang membuat kejutan seperti ketika Korsel mengalahkan Jerman 2-0 pada Piala Dunia 2018 lalu, atau yang pernah Korea Utara, atau Jepang yang ikut bersaing untuk lolos dari babak penyisihan grup. Di luar itu, negara-negara Asia hanya menjadi penggembira, meski hal itu belum juga menjadi level sepakbola Indonesia.
Turki membangun peradaban modernnya memang di semua bidang. Olahraga dijadikan alat untuk mengejar keunggulan terhadap negara-negara asli Eropa lainnya. Karena dengan prestasi di olahraga yang mudah mendapatkan publikasi –terutama sepakbola— nama Turki semakin dikenal membuat orang Eropa dan dunia akan melupakan tapak asal Turki di mana. Ini penting karena publikasi dan nama besar di satu bidang bisa membuat sesuatu menjadi tinggi dan termashur.
Di sepanjang sejarah sepakbola Turki, mereka telah melahirkan pemain-pemain besar dengan kelas Eropa atau dunia. Di tahun 1988, sepakbola Turki mengejutkan Eropa ketika penyerang legendaris Galatasaray, Tanju Colak, meraih European Golden Boot (sepatu emas sebagai pencetak gol terbanyak liga). Ketika itu sepakbola Eropa belum membuat aturan koofisien pemeringkatan sehingga siapa pun pemain yang bermain di klub Eropa mencetak gol paling banyak, maka dia akan mendapatkan sepatu emas.
Colak mencetak 39 gol di Liga Turki ketika itu. Sepanjang karirnya, Colak lima kali menjadi top skorer Liga Turki. Ia bermain untuk negaranya dalam 31 pertandingan dan mencetak 9 gol.
Kemunculan Colak merebut gelar sepatu emas tersebut membuat Eropa mulai memperhitungkan negara ini. Yang terjadi kemudian, Turki benar-benar melahirkan banyak pemain yang mampu bersaing di klub-klub besar Eropa dan membuat mereka tidak berada pada posisi inferior. Nama-sama seperti Sergen Yalcin, Tuncay Sanli, Okan Buruk, Umit Davala, Yildiray Basturk, Alpay Ocalan, Hasan Sas, Nihat Kahveci, Rustu Recber, Emre Belozoglu, Tugay Kerimoglu, Nuri Sahin, Ilhan Manzis, Halil dan Hamid Altintop, Arda Turan, hingga penyerang legendaris Hakan Sukur yang pernah memperkuat Parma dan Inter Milan, sangat dihormati dan dihargai levelnya tak kalah dengan pemain-pemain kelas atas Eropa dan dunia.