HARY B KORIUN

Naga

Perca | Minggu, 02 April 2023 - 11:24 WIB

Naga
Hary B Koriun (RIAU POS)

... Teringat pula pertemuan demi pertemuan dengan lelaki bertato itu yang sering dilakukan sembunyi-sembunyi. Hingga pertemuan terakhir semalam di tepi jalan yang remang saat laki-laki itu menunjukkan tato bergambar naga di dada kirinya sebagai bukti kesungguhan cintanya terhadap dirinya sekaligus niat ingin mengubah tabiat buruknya. Ah, andai saja dia mau bersabar, pasti tidak begini kejadiannya. Padahal aku hanya perlu waktu dua atau tiga hari untuk memastikan bahwa dia benar-benar mencintaiku. Juga untuk membicarakan semuanya ini dengan papa dan mama. Atau, memang begitukah  tabiat seorang laki-laki, selalu buta setiap kali jatuh cinta? Batin gadis itu menglongsorkan napasnya yang sekian lama tertahan di dada.

Cerpen berjudul “Tato Naga dan Inisial ‘SL’” karya Teguh Winarso AS (Kompas, 30 Juni 2002, dan dimuat kembali dalam buku kumpulan cerpen Tato Naga, 2005) tersebut berkisah tentang Mudrika, seorang preman yang tubuhnya penuh tato, “penguasa” di sebuah pasar, yang setiap hari kerjanya memalak toko-toko milik orang Tionghoa. Hanya orang Cina. Yang pribumi tidak. Suatu hari ditemukan mayat Mudrika tergantung di sebuah pohon tidak jauh dari jalan besar. Ditengarai dia bunuh diri. Yang menarik, di dada kirinya ada tato baru yang cukup mencolok, yakni tato bergambar naga. Di genggaman tangannya juga ada kertas lusuh dengan tulisan ceker ayam, dan ada inisial “SL”. Siapa SL? Itu yang sedang didalami polisi.


Rupanya dia sedang jatuh cinta pada Shin Ling (SL), anak pemilik salah satu toko orang Tionghoa di pasar yang sering dia palak. Ketika dia mengungkapkan cintanya kepada gadis itu, Shin Ling masih ragu. Dia perlu waktu untuk memastikan cinta Mudrika, juga untuk meyakinkan orangtuanya. Bagaimana dia akan menjelaskan kepada orangtuanya tentang seorang laki-laki yang setiap hari memalak toko keluarganya dan memperlihatkan kebenciannya terhadap etnis Cina? Sebab, hanya toko milik orang keturunan Tionghoa itu yang dipalaknya, yang pribumi tidak.  Namun, Mudrika nampaknya kelewat cinta, menjadi tak sabaran dan merasa sudah ditolak cintanya,  hingga memilih mengakhiri hidupnya.

Naga identik dengan legenda dan mitologi Cina. Dan sebagai preman yang tak pandai tulis-baca, Mudrika memahami simbol itu. Untuk menjelaskan cintanya kepada Shin Ling, dia menato dadanya dengan gambar naga itu, sebagai ungkapan bahwa dia telah berubah. Dia sudah tak membenci orang Cina, karena dia telah jatuh cinta kepada salah satu dari mereka.

Kebencian terhadap etnis Cina, di Indonesia, memang bukan hal yang baru dan tak hanya di satu tempat. Sebagian besar masyarakat pribumi menganggap mereka yang keturunan Tionghoa hidup eksklusif, menjaga jarak dengan orang pribumi, penguasa ekonomi, pelit, dan sekian stigma lainnya. Tetapi di sisi lain, asimilasi atau alkuturasi antara penduduk pribumi dengan keturunan Tionghoa juga terjadi di mana-mana. Di hampir setiap kota atau daerah yang ada penduduk peranakan, dua hal tersebut selalu ada. Orang keturunan yang eksklusif dan mereka yang membaur. Di Riau, banyak terjadi kasus seperti itu.

Tokoh masyarakat peranakan Cina (muslim), H Junus Jahja, menjelaskan, selama ini masyarakat melakukan pukul rata tentang pernakan Tionghoa (Junus memilih istilah “peranakan” dibanding “keturunan”) yang dianggapnya eksklusif dan tak nasionalis. Padahal, banyak orang peranakan yang juga ikut berjuang dalam perang kemerdekaan maupun ketika hidup di masa kemerdekaan. Mereka berjuang bukan hanya mengangkat senjata, tetapi  juga ada yang berperan sebagai pemasok bahan makanan untuk para pejuang, menyeludupkan senjata untuk tentara,  dan lain sebagainya. Di masa kemerdekaan, mereka banyak yang terjun di berbagai bidang profesi, mulai dari pengacara, akademisi, olahragawan, seniman, dan sebagainya. Mereka berjuang membawa nama Indonesia.

Dalam buku Peranakan Idealis: dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya,  Junus menulis 25 orang peranakan yang seluruh hidupnya diabdikan untuk Indonesia.  Beberapa dari mereka adalah Lie Eng Hok (1893-1961), seorang pejuang yang dianggap ikut mengobarkan pemberontakan komunis di Banten dan Sumatera Barat pada tahun 1926-1927. Karena pemberontakan itu, dia sempat ditangkap Belanda dan dibuang ke Boven Digoel (Tanah Merah), Papua, selama lima tahun (1927-1932).

Nama Kwee Hing Tjiat (1891-1939) dikenal sebagai tokoh asimilasi peranakan. Dia seorang wartawan dan penulis, pernah mendirikan koran Sin Po dan beberapa koran lainnya, yang dalam tulisan-tulisannya sangat keras terhadap Belanda. Karena kritiknya, saat dia keluar negeri, dia dilarang masuk ke Indonesia. Namun kemudian bisa masuk dan terus mengobarkan nasionalisme Indonesia lewat kritikan di koran.

Haji Karim Oei (1905-1988) adalah peranakan kelahiran Padang, Sumatera Barat yang memilih memeluk Islam. Dia aktif di Muhammadiyah, dan dekat dengan Soekarno saat pembuangan di Bengkulu. Lelaki ini, selain aktif berniaga (salah satu pendiri Bank Central Asia [BCA]) juga menjadi bagian penting dari sejarah Muhammadiyah di Indonesia.

Selain nama-nama tersebut, banyak lagi peranakan Tionghoa yang berjuang dan mengabdi untuk Indonesia tanpa memandang siapa dirinya. Misalnya Injo Beng Goat (1904-1962). Di masa persiapan kemerdekaan, dia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang menjadi cikal-bakal parlemen (Vookstraat) ketika itu. Lelaki kelahiran Bengkulu ini, sama dengan Kwee Hing Tjiat, juga berjuang di jalur jurnalistik. Dia pernah memimpin surat kabar Keng Po, dan ikut memperjuangkan asimilasi peranakan.

Ada juga seorang ekonom handal, Biyanti Kharmawan (1906-1980). Lelaki kelahiran Tegal, Jawa Tengah, dengan nama lahir Khouw Bian Tie ini dalam Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, menjadi salah satu delegasi Indonesia di bawah pimpinan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Di masa pemerintahan Soekarno, dia menduduki jabatan penting, termasuk menjadi penasehat ekonomi pemerintah. Dia juga menduduki jabatan penting di Bank Indonesia dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Yang menarik, dia juga seorang ahli sastra Belanda.

Di masa perang, ada dokter budiman, dr Oen Boen Ing (1903-1982).  Lelaki kelahiran Salatiga (Jawa Tengah) ini pernah praktik di Kediri, kemudian pindah ke Solo. Meski menjadi dokter pribadi Istana Mangkunegaran, namun dr Oen tetap memilih mengabdikan diri untuk rakyat miskin. Dia tidak menarik bayaran dari pasien. Mereka boleh membayar sesuka hatinya, atau tidak bayar sama sekali. Saat Jendral Soedirman melakukan perjalanan gerilya dalam keadaan sakit TBC parah, dr  Oen yang memasok obat jenis pinisilin. Rumah Sakit Panti Kosawa di Solo yang masih aktif hingga hari ini, adalah bukti baktinya kepada rakyat kecil Indonesia. Dia membangun rumah sakit itu.

Masih banyak lagi nama peranakan yang membaktikan hidupnya untuk Indonesia. Mereka membuat pilihan sebagai bentuk dari  rasa cintanya kepada tanah tempat mereka lahir meski dari etnis berbeda yang hingga kini, dalam beberapa hal, masih dianggap tidak nasionalis.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook