Koordinasi pemangku kepentingan juga menjadi alasan sekolah enggan membuka pembelajaran tatap muka. Butuh waktu untuk mempersiapkan segalanya. Mulai dari guru, manajemen sekolah, dan hal teknis lainnya yang tidak bisa sekejap dilakukan.
Apalagi, tidak semua orang tua siswa mau melepas anaknya untuk belajar ke sekolah. Ketika anak-anak naik angkot misalnya, apakah ada jaminan mereka tidak terjangkit Covid-19? Mengingat, di angkot tidak menerapkan protokol kesehatan. Saat naik angkot, siswa-siswi bercampur dengan masyarakat umum.
“Artinya, bisa jadi anak-anak berangkat sehat. Tapi, ketika di perjalanan atau di sekolah bercampur dengan guru maupun siswa lainnya. Kemudian pulangnya bercampur dengan masyarakat umum, kami khawatir malah anak-anak dan gurunya menjadi karier,” bebernya.
Hal terburuk, lanjut Satriwan, sampai di rumah malah menyebarkan atau mengantarkan virus itu ke rumah. Jadi, menurut FSGI, lebih baik memperpanjang pembelajaran jarak jauh dengan catatan yang lebih baik. Yakni bisa mengakomodir guru maupun siswa yang memiliki fasilitas ataupun tidak memiliki fasilitas internet.(mia/han/jpg)
Laporan JPG, Jakarta