Dia meminta agar kompetensi dasar (KD) dalam kurikulum 2013 disederhanakan. Setidaknya separo dari ketentuan kurikulum yang digunakan saat kondisi normal. Sulit rasanya bagi seorang guru untuk menyampaikan KD dalam satu tahun ajaran yang padat kepada siswa dengan kondisi yang serba terbatas. Baik waktu belajar, sarana terbatas, bahkan tatap muka yang terbatas. “Jadi kalau misal KD normal mungkin 15 atau 12 bab itu bisa dikurangi. Setengahnya lah,” ucap Satriwan.
Begitu juga standar penilaian. Sulit menerapkan penilaian yang ideal. Kognitif, sikap, dan ketrampilan. Karena tidak ada interaksi langsung. Tentu pemerintah harus menyederhanakan rubrik-rubrik penilaian itu.
Terakhir, kurikulum harus memperhatikan standar proses. Artinya, mampu mencakup dua kondisi siswa dan guru. Yakni, kondisi yang berkecukupan dan sulit. Kurikulum jangan hanya berpegang pada pembelajaran melalui tatap muka virtual. Namun, juga harus mengakomodasi guru dan siswa yang tidak memiliki akses untuk melakukan tatap muka virtual.
“Bagaimana dengan anak2 yang tidak memiliki gawai, tidak ada jaringan internet masuk ke daerahnya, dan tidak ada jaringan listrik masuk ke daerahnya? Bahkan lebih parah lagi jika masuk zona merah pula. Jadi kurikulum harus bisa mencakup dua kondisi tersebut. Itu yg kami minta,” beber guru SMA Labschool Jakarta itu.
Mengenai anjuran memperbolehkan membuka sekolah untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar (KBM) tatap muka, FSGI memilih lebih baik tidak. Sebab, meski situasi sudah transisi new normal, tapi pertambahan jumlah kasus positif Covid-19 terus naik setiap harinya.
Selain itu, berdasarkan survei yang dirilis FSGI Juni lalu, sekolah-sekolah sebenarnya belum siap untuk membuka sekolah kembali. Termasuk sekolah yang berada di zona hijau. Survei tersebut melibatkan 1656 responden guru, kepala sekolah, dan manajemen sekolah di 245 kabupaten/kota yang tersebar di 34 provinsi Indonesia.
“Itu diakui 55,1 persen sekolah. Mereka memilih membuka sekolah jika kondisi sudah normal kembali, kapan pun waktunya,” sebut Satriwan sambil menunjukkan lampiran hasil surveinya.
Sementara, 20,8 persen memilih membuka sekolah pada tahun ajaran baru 2020/2021 yakni Juli. Sedangkan, 16,2 persen akan membuka sekolah pada Januari 2021 dan 4 persen sisanya membuka sekolah setelah penilaian tengah semester ganjil 2020/2021.
Sekolah juga memiliki kendala untuk membuka sekolah kembali. Mereka kesulitan untuk menyediakan sarana prasarana penunjang pembelajaran di masa kenormalan baru. Kemudian adanya protokol kesehatan. Seiring dengan Kemendikbud maupun Kementerian Agama yang belum menerapkan protokol kesehatan sekolah.
Dari data survei, sekolah juga mengaku terkendala kesiapan anggaran. “Sekolah tidak tahu sumber uangnya darimana untuk memenuhi sarana prasarana penunjang new normal,” ungkap Satriwan. Selain itu, butuh waktu untuk sosialisasi kepada orang tua dan siswa.