PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Puluhan massa melakukan aksi jahit mulut dan membentangkan spanduk bertuliskan “Kami hanya Menunggu Kebijakan Presiden Joko Widodo” di gerbang samping Kantor Gubernur Riau, Selasa (28/11). Aksi tersebut terkait persoalan sengketa lahan 2.500 hektare di Desa Kota Garo, Tapung Hilir, Kampar, Riau, yang tak kunjung tuntas.
Koordinator aksi Antoni Fitra mengatakan, aksi jahit mulut ini terkait konflik agraria yang dihadapi warga di areal seluas 2.500 hektare di Desa Kota Garo, Kecamatan Tapung Hilir, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau dengan mafia tanah.
”Kami sangat berharap pak Gubernur untuk untuk mengambil sikap yang tegas dalam membela hak-hak masyarakat para korban mafia tanah tersebut," pintanya.
Adapun tuntutan masa aksi jahit mulut diantarnya meminta Gubernur menyurati Presiden RI untuk menurunkan perintah tugas kepada Satuan Tugas Tindak Pidana Pertanahan, menangkap dan mengadili mafia tanah di areal 2.500 hektare di Desa Kota Garo Kampar Provinsi Riau.
Kemudian membuat surat permohonan pelepasan kawasan hutan dan penerbitan sertifikat komunal di areal seluas 2.500 hektare untuk Suku Sakai Desa Kota Garo, Kecamatan Tapung Hilir, Kampar kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) RI dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN RI.
Lalu, meminta Menteri LHK RI untuk segera mengeluarkan tanah Suku Sakai seluas 2.500 hektare di Desa Kota Garo, Kampar Provinsi Riau dari kawasan hutan melalui penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan (PPTKH)/TORA dan segera menerbitkan SK pelepasan kawasan hutan pada areal 2.500 hektare di Desa Kota Garo tersebut.
"Kami meminta Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN RI mengeluarkan sertifikat komunal pada areal 2.500 hektare kepada Suku Sakai Desa Kota Garo," ujarnya.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi Riau, melalui Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DLHK) Mamun Murod mengatakan, bahwa terkait tuntutan masyarakat tersebut sudah beberapa kali dilakukan mediasi, baik oleh Pemprov Riau, Pemkab Kampar dan Forkopimda Kampar. Namun belum menemui titik terang.
“Memang wilayah tersebut masuk dalam wilayah adat suku Sakai, Kabupaten Kampar. Menurut pandangan saya, itu kawasan hutan yang sekarang ada pihak yang mengelolanya. Kalaupun mereka merasa keberatan, meskipun pemilik kebun itu sekarang sudah masuk kedalam data informasi di KLHK, tetapi itu tidak serta merta kepemilikan mereka. Tetap kalau ada keberatan disampaikan ke Kemen LHK,” ujar Mamun Murod.
Dijelaskan Murod, terkait dengan lahan seluas 2.500 Ha yang dikuasai oleh pihak pengelola, ia menyarankan agar masyarakat menyampaikan ke Kemen LHK. Karana semua kewenangan terkait dengan lahan perhutanan, ada di pemerintah pusat. Pemerintah pusat nanti akan melakukan verifikasi, dan kewenangan tidak ada di daerah.
“Saat inikan semua kewenangan itu tidak ada di daerah, semua kewenangan ada di KLHK. Jadi saya punya langkah agar berkoordinasilah dengan KLHK. Sesuai dengan PP 24 tahun 2021, itu urusan kebun di dalam kawasan dan juga mengenai perhutanan sosial menjadi kewenangan KLHK. Kalau mereka merasa yakin silahkan ke KLHK, mereka melakukan semua ini supaya mendapat perhatian dari Presiden,” jelas Murod. (sol)
Laporan SOLEH SAPUTRA, Pekanbaru