Kampung Nyamuk memiliki sebuah ikon yang seharusnya tidak bisa dilepaskan dari sejarah Pekanbaru. Ikon itu adalah masjid Ar-Rahman, sebuah masjid umat yang kini berdiri megah di Jalan Jenderal Sudirman. Masjid ini berdiri pada 1930 dan dikenal sebagai masjid tertua kedua setelah Masjid Raya Senapelan. Tapi masjid ini hampir saja berganti dengan bangunan biasa. Bagaimana bisa?
RIAUPOS.CO - Pada saat dibangun pertama kali 1930, Masjid Ar-Rahman merupakan masjid yang berpanggung, terbuat dari papan. Ukurannya hanya 8 x 8 meter. Masjid ini bertahan selama 40 tahun dan baru direnovasi pada 1970. Pembangunan Pekanbaru yang pesat membuat Pemko Pekanbaru merencanakan suatu hal yang berbeda. Di lokasi ini akan dibangun perkantoran pemko dan islamic center. Masjidnya cenderung dihilangkan atau dibuat kecil saja. Hal ini mengundang keprihatinan tokoh-tokoh Kampung Nyamuk.
Menurut seorang tokoh Kampung Nyamuk, Marwan Gafar, ada dua tokoh Kampung Nyamuk yang datang langsung menghadap Wali Kota Pekanbaru Herman Abdullah untuk meninjau ulang rencana pembangunan itu. Sebab yang mereka dengar, Masjid Ar-Rahman ini akan dirobohkan dan diganti dengan bangunan lainnya. Hanya akan dibangun masjid seukuran yang sama di sela-sela bangunan lainnya milik Pemko Pekanbaru. Dua tokoh itu adalah Ibrahim Rasyad dan Abu Mansur.
Menurut Marwan, Ibrahim Rasyad dan Abu Mansur mengingatkan Herman Abdullah tentang pentingnya sisi sejarah masjid Ar-Rahman ini.
Satu cerita yang tidak mungkin akan dilupakan Herman adalah bahwa ayahnya Abdullah Hasan adalah murid yang pernah belajar di Masjid Ar-Rahman. Gurunya adalah Buya Tamin Ibrahim.
Sangat tidak pantas rasanya jika Masjid Ar-Rahman ini dirobohkan. Kalau perlu dibuat sebagus-bagusnya dan menjadi salah satu ikon Pekanbaru.
“Saya mendengar langsung dari mereka kalimat seperti itu disampaikan kepada Bapak Herman. Dan beliau kemudian mengikuti saran itu,” ujar Marwan, cucu Buya Tamin.
Masjid Ar-Rahman memang bukan masjid biasa. Masjid ini didirikan atas swadaya masyarakat Kampung Perhentian Njamoek ketika itu. Tokoh penting di balik pendirian Masjid Ar-Rahman adalah Buya Tamin Ibrahim. Menurut Marwan, Abdullah Hasan, ayah Herman Abdullah pernah belajar kepada Buya Tamin. Tempat belajarnya di Masjid Ar-Rahman ini. Buya Tamin memang merupakan sosok sentral dalam pembinaan keagamaan di Masjid Ar-Rahman ini. Inisiatif pendirian masjid berasal darinya.
Selain sarana ibadah, pembinaan masyarakat juga menjadi konsen Buya Tamin. Dia menerima murid untuk belajar agama. Dia mendirikan madrasah di masjid ini. Murid-muridnya menjelma menjadi tokoh-tokoh keagamaan penting Pekanbaru ketika itu. Di masanya, saat Masjid An-Nur berdiri, Buya Tamin diangkat sebagai imam pertama masjid Pemerintah Provinsi Riau ini.
Dia juga menyadari, Perhentian Njamoek merupakan tempat istirahat para pedagang yang berjalan jauh dari petang, malam, hingga menjelang subuh. Makanya diperlukan tempat istirahat yang baik dan tempat ibadah merupakan sesuatu yang penting saat perjalanan jauh itu.
“Jadi para pedagang bisa beristirahat jasmani dan rohani jika berada di Kampung Perhentian Njamoek ini. Sebab, Buya Tamin selalu memberikan siraman rohani tiap usai salat subuh,” tambah tokoh Kampung Nyamuk lainnya Poniman, yang juga merupakan anak Buya Tamin.
Itu pula yang menyebabkan Masjid Ar-Rahman ini cukup tersohor di masanya. Sebab, para pedagang yang menginap di Perhentian Njamoek, juga salat subuh menjelang berdagang di Senapelan di pagi harinya. Cerita ini tentunya bergulir di antara para pedagang yang melintasi dan singgah di Perhentian Njamoek.
Bukan Masjid Sultan
Sebuah masjid tentunya tidak berdiri begitu saja, jauh dari Senapelan sebagai pusat peradaban masyarakat. Masjid Ar-Rahman memiliki kisahnya sendiri yang sesungguhnya tak kalah bersejarah dibandingkan Masjid Raya Senapelan. Masjid Ar-Rahman berdiri sejak tahun 1930 atau tak lama setelah renovasi besar-besaran Masjid Raya Senapelan pada 1927. Masjid Ar-Rahman pun diakui menjadi masjid tertua kedua di Pekanbaru. Pengakuan sebagai masjid ikonik di Pekanbaru setelah Masjid Raya Senapelan, ditahbiskan dengan upaya pemerintah merenovasinya sedemikian elok dan megah saat ini.
Menurut tokoh masyarakat Kampung Nyamuk, Azhari, di awal abad ke-20, pertumbuhan Pekanbaru ada pada dua daerah, yakni Pekanbaru utara dan Pekanbaru selatan. Pekanbaru utara dan selatan ini dipisahkan dengan permukiman dan jalan sunyi. Pekanbaru utara adalah Senapelan dan sekitarnya, sementara Pekanbaru selatan adalah Perhentian Njamoek dan sekitarnya. Di Pekanbaru selatan, terdapat beberapa wilayah yang padat penduduk, yakni Perhentian Njamoek, Simpang Ampat dan Tengkirang.
Dua masjid yang ada ketika itu juga menjadi seakan kutub pembanding. Masyarakat utara bisa salat Jumat di masjid Sultan, yakni Masjid Raya Senapelan, sementara masyarakat di selatan salat di Masjid Ar-Rahman.
“Itu berlangsung cukup lama. Barulah kemudian berkembang beberapa masjid lain setelah masyarakat juga makin berkembang,” ujar Azhari.
Pembangunan Masjid Ar-Rahman tentu saja tidak melibatkan andil Sultan. Sebab, kawasan ini berada cukup jauh dari Istana. Dalam proses pembangunannya, masyarakat Perhentian Njamoek bersama-sama memberikan hartanya. Tapi Mbah Nyamuk atau Sastro Pawiro Joyo Diningrat (penghulu Kampung Perhentian Njamoek) menjadi donatur terbesar dalam pembangunan masjid ini. Dia juga yang menghibahkan tanahnya. Sebagai penghulu dan orang terkaya di sekitar masjid, dia tak sungkan mengeluarkan hartanya sebanyak yang diperlukan. Dia adalah tuan tanah sekaligus mandor perkebunan besar milik Pemerintah Hindia Belanda ketika itu.
Tokoh masyarakat Kampung Nyamuk, Suyatmi menyebutkan, Mbah Nyamuk diberi kuasa oleh Belanda untuk mengelola perkebunan di sekitar Gobah saat ini. Kebunnya mencapai batas dari Jalan Sumatra hingga Ronggo Warsito ujung. Selain itu, dia juga memiliki beberapa tanah lainnya.
“Termasuk yang dihibahkan untuk masjid Ar-Rahman ini,” ujar Suyatmi yang juga cucu Mbah Nyamuk.