Ketika awal dibangun, masjid ini berbentuk rumah panggung. Tinggi panggungnya sekitar satu meter dengan adanya tangga. Lantainya terbuat dari papan, begitu juga dinding dan jendelanya. Ukurannya hanya 8 x 8 meter. Sangat sederhana, tapi sudah cukup memadai. Atapnya sudah langsung atap seng dengan adanya kubah kecil. Ada juga yang menyebut, awal masjid berdiri ini beratap daun rumbia. Papan-papan masjid ini dicat dengan oli bekas agar tahan lama, tidak dimakan rayap. Makanya warnanya menjadi coklat kehitaman. Sebagian narasumber menyebutkan proses pembangunannya hingga tuntas berjalan hingga beberapa tahun setelah dimulai pada 1930.
Kendati menjadi donatur terbesar, namun Mbah Nyamuk tidak ikut mengurus atau menjadi orang masjid. Dia mempersilakan masyarakat Perhentian Njamoek untuk mengurus masjid ini. Ketua Pengurus pertama Masjid Ar-Rahman adalah H Tamin Ibrahim. Dia dibantu beberapa pengurus lainnya seperti Hasan Muhsin, Zakaria, Muhammad Rum, Masykur, dan lainnya.
Estafet kepemimpinan Masjid Ar-Rahman kemudian beralih kepada H Bakri Thalib ketika dia berumur sekitar 20 tahun pada tahun 1938. Sebagai orang yang ditugaskan sebagai qadi di sana, H Bakri Thalib, tentunya menjalankan amanah sebagai pengurus masjid secara lebih lengkap. Sebab, dia bisa membina masyarakat dan umatnya langsung. Beberapa pengurus di masanya antara lain Hamizar Hamid, Azhari Rum, juga beberapa pengurus lama seperti Hasan Muhsin, Zakaria, Muhammad Rum, Masykur, dan lainnya.
Pada sekitar tahun 1960-an, Masjid Ar-Rahman berubah struktur, hanya saja tidak begitu signifikan. Jika sebelumnya dibuat seperti rumah panggung, maka kini tidak lagi. Lantainya dibuat atau diturunkan langsung ke tanah dengan tetap ditinggikan. Pada awalnya, semua bangunan, baik rumah maupun masjid di Perhentian Njamoek dibuat dengan panggung untuk menghindari hewan buas. Sebab, hingga tahun 1950-an, harimau masih banyak berkeliaran di sekitar kampung. Maklum, semuanya masih dalam kondisi hutan atau perkebunan.
Perombakan lebih signifikan pada Masjid Ar-Rahman terjadi pada 1970. Ketika itu, masjid ini diperluas dan struktur bangunannya juga diganti dari papan menjadi batu. Menurut tokoh masyarakat Kampung Nyamuk, Ali Umar Bakri, pembangunan masjid menjadi lebih permanen ini berlangsung cukup lama. Semuanya atas swadaya masyarakat. Masjid yang diperlebar menjadi ukuran 16 x 16 meter ini baru selesai sekitar tahun 1975. Sebelumnya, masjid tetap difungsikan, tapi terbatas.
“Saat itu sudah berubah jadi permanen semua,” ujar Ali Umar yang juga putra dari H Bakri Thalib ini.
Dengan demikian, struktur bangunan awal Masjid Ar-Rahman yang terbuat dari kayu bertahan hingga sekitar 40 tahun, yakni 1930 hingga 1970. Hanya ada sedikit perubahan pada 1960 dengan menurunkan lantainya, tidak lagi berbentuk panggung. Selebihnya masih seperti yang asli dengan struktur utama dari kayu.
Perubahan besar pada Masjid Ar-Rahman terjadi pada tahun 2004. Pemerintah Kota Pekanbaru melakukan pembebasan lahan yang berada di sekitar masjid Ar-Rahman. Sebanyak 4.700 meter persegi tanah dibebaskan, termasuk rumah warisan Mbah Nyamuk yang di kawasan itu juga ada makamnya.
Pemerintah Provinsi Riau menganggarkan dana sebesar Rp4,6 miliar untuk perluasan masjid tertua kedua di Pekanbaru ini. Tentu saja bentuk, luas, dan nilai kesejarahannya telah berubah. Termasuk makam Mbah Nyamuk di belakang mihrab masjid ini dilakukan renovasi. Bentuknya pun telah berubah dari yang asli. Salah satu permintaan keluarga ketika itu memang tetap membiarkan makam Mbah Nyamuk di tempat ini. Sebenarnya, di sekitar makam Mbah Nyamuk, terdapat beberapa makam lagi, tapi terpaksa dipindahkan untuk membangun Masjid Ar-Rahman yang lebih signifikan. Masjid ini diresmikan pemakaiannya oleh Gubernur Rusli Zainal pada 19 Juni 2009.***
Laporan Muhammad Amin, Pekanbaru