Belajar dari Tragedi Berdarah di Hillsborough Stadium

Olahraga | Selasa, 04 Oktober 2022 - 23:15 WIB

Belajar dari Tragedi Berdarah di Hillsborough Stadium
Foto ini diambil pada 15 April 1989 menunjukkan tragedi berdarah di Stadion Hillsborough. Tragedi yang terjadi dalam laga Liverpool melawan Nottingham Forest itu menewaskan 96 orang. (AFP PHOTO)

LONDON (RIAUPOS.CO) - Tragedi tidak harus selalu diakhiri dengan sanksi. Namun, lebih dari itu. Setiap tragedi harus diikuti dengan upaya pembenahan agar tidak terulang kembali.

Misalnya, yang pernah terjadi di balik insiden memilukan di Hillsborough Stadium ketika Liverpool FC menghadapi Nottingham Forest dalam semifinal Piala FA 1988–1989.


Dalam tragedi itu, penempatan pendukung di tribun menjadi salah satu pemicunya. Fans LFC ditempatkan di Leppings Lane yang kapasitasnya lebih kecil ketimbang tribun pendukung Forest.

Dikutip laman BBC, banyak pendukung The Reds yang sulit masuk ke Leppings Lane saat laga akan dimulai. Berdasar laporan, setidaknya ada 25 ribu Kopites –sebutan pendukung LFC– yang sudah mencoba masuk ke Leppings Lane.

Padahal, tribun 3 dan 4 hanya mampu menampung 2.200 orang. Situasi itulah yang membuat Leppings Lane menjadi lautan manusia. Korban pun berjatuhan karena tidak kuat berdesak-desakan.

Hillsborough pun berubah setelah kejadian tersebut. Demikian pula operator sepakbola Inggris di bawah kendali Federasi Sepak Bola Inggris (FA). Sejak saat itu, stadion di negeri itu tidak menyediakan lagi standing seat alias tribun berdiri.

Sebaliknya, semua tempat pertandingan sepak bola harus menggunakan single seat agar jumlah suporter bisa dikendalikan. Begitu pun jumlah akses pintu masuknya.

Selain itu, stadion-stadion di Liga Inggris menghilangkan pagar yang menjadi batas antara tribun penonton dan lapangan. Tujuannya adalah mengantisipasi bila terjadi overload penonton yang masuk ke stadion agar tragedi tidak lagi terulang.

’’Mereka tak melakukan kesalahan apa pun pada hari itu (Tragedi Hillsborough, red). Mereka adalah pahlawan,’’ ungkap seorang ibu bernama Margaret Aspinall yang kehilangan putranya, James, dalam tragedi tersebut sebagaimana yang dikutip The New York Times.

James saat itu masih berusia 18 tahun. Tidak jauh berbeda dengan usia mayoritas korban di Kanjuruhan. Selain itu, pelajaran yang diambil FA dan operator Liga Inggris untuk meniadakan tribun berdiri dan menggantinya dengan single seat bisa jadi masukan bagi pengelola sepak bola di Indonesia.

Baik di Malang maupun di seluruh Indonesia. Diharapkan, tidak ada lagi overload penonton seperti di Stadion Kanjuruhan. Insiden di Accra Sports Stadium, Accra, juga membuat pemerintah Ghana mengubah sistem. Setelah investigasi, John Agyekum Kufuor, presiden ketika itu, langsung memberlakukan program pelatihan kepada kepolisian tentang cara menangani kerusuhan dalam kerumunan orang di stadion.

Jam kickoff pertandingan pun berubah seusai kejadian tersebut. Federasi Sepak Bola Ghana (GFA) menghapus jatah main malam bagi semua klub di liga domestiknya. Aturan itu baru direvisi 19 tahun setelah kejadian yang menewaskan 126 korban tersebut.

 

Meregang Nyawa di Lapangan Sepakbola

 

Tragedi Estadio Nacional, Lima, Peru

24 Mei 1964

328 korban meninggal

Peru vs Argentina (kualifikasi Olimpiade 1964)

 

Tragedi Accra Sports Stadium, Accra, Ghana

9 Mei 2001

126 korban meninggal

Accra Hearts of Oak vs Asante Kotoko (Ghana Premier League)

 

Tragedi Hillsborough, Sheffield, Inggris

15 April 1989

96 korban meninggal

Liverpool FC vs Nottingham Forest (semifinal Piala FA)

 

Tragedi Kathmandu Hailstorm, Kathmandu, Nepal

12 Maret 1988

93 korban meninggal

Janakpur Cigarette Factory vs Liberation Army (Martyr’s Memorial A-Division League)

 

Tragedi Mateo Flores National Stadium, Guatemala City, Guatemala

 

16 Oktober 1996

80 korban meninggal

Guatemala vs Kosta Rika (kualifikasi Piala Dunia 1998)

 

Sumber: Jawapos.com

Editor: Edwar Yaman

 

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook