TRAGEDI KANJURUHAN SETELAH 1 TAHUN BERLALU

Masih Menyisakan Derita dan Trauma para Korban

Nasional | Sabtu, 30 September 2023 - 12:13 WIB

Masih Menyisakan Derita dan Trauma para Korban
Cholifatur Rosida memperlihatkan hasil rontgen sesudah melakukan operasi cangkok tulang belakang akibat Tragedi Kanjuruhan di Kota Malang tahun lalu. Foto kanan, Cholifatur Rosida saat ditemui, Jumat (29/9/2023). (ALLEX KOMARULLA DAN ROBERTUS RIZKY/JPG)

Setahun setelah tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 nyawa, sebagian korban masih dihantui beragam trauma sampai sekarang. Kesulitan mendapatkan pekerjaan, tak bisa lagi main bola.

RIAUPOS.CO - SEJAK malam tragis pada 1 Oktober tahun lalu itu, hidup Cholifatur Rosidah tak sama lagi. Pen yang terpasang di tulang punggungnya membuat aktivitasnya terbatas. 


’’Ada rasa ngganjel kalau rukuk dan jongkok,’’ ujarnya. 

Ngilu juga langsung meraja tiap kali dia merasakan dingin atau mendengar suara petir. ’’Sedikit takut kalau ada hujan,’’ paparnya. 

Pen di punggung itu dipasang setelah dia mengalami cedera patah tulang belakang ketika menonton pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya pada 1 Oktober tahun lalu di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang. Rosi –sapaan akrab Cholifathur Rosidah– adalah salah satu korban luka dalam tragedi yang menewaskan 135 nyawa tersebut. 

Dia selamat meski tubuhnya sempat terinjak-injak di gate 10. ’’Setelah dioperasi, saya hanya terbaring di kasur. Baru Desember tahun kemarin saya bisa berdiri dan jalan,’’ lanjutnya. 

Itu pun dia belum melakukan aktivitas seperti dulu. ’’Kadang kalau jongkok lalu berdiri, ada bunyi ’tek’ di punggung,’’ ungkapnya. 

Tapi, tingginya semangat membuat tubuhnya merespons positif. Selesai dioperasi beberapa hari setelah tragedi, pada Desember dia sudah bisa berjalan. Sekitar awal tahun ini, alumnus SMK PGRI Pakis Grafika itu bahkan sudah berani naik motor sendiri. ’’Tapi pelan-pelan, takut kalau ada jeglongan. Sakit,’’ bebernya. 

Satu tahun setelah malam kelam di Kanjuruhan tersebut, kondisi yang belum normal itu membuatnya kesulitan mendapat pekerjaan. Sebab, tubuhnya jadi gampang lelah. ’’Duduk lama atau berdiri lama, rasanya badan capek,’’ terangnya. 

Perempuan kelahiran 3 Maret 2004 itu tak sabar bisa pulih sepenuhnya. Selain karena ingin mendapatkan pekerjaan, Rosi berharap bisa turun ke jalan untuk memperjuangkan keadilan bagi korban tragedi. ’’Sama ibu saya beberapa kali turun, tapi ya itu tidak maksimal rasanya. Cepat capek,’’ katanya.

Penyintas Tragedi Kanjuruhan lainnya, Raffi Atha Dziaulhamdi, masih kecewa dengan sikap manajemen Arema FC. Sebab, dia merasa tidak ada tindakan untuk membela para korban. Bahkan memilih tetap bertanding meski yang meninggal dan terluka pada tragedi 1 Oktober tahun lalu itu adalah suporternya. Termasuk dirinya yang matanya sempat merah dampak gas air mata yang ditembakkan aparat. ’’Saya unfollow Instagram Arema FC. Saya juga tidak tahu jadwal pertandingannya untuk sementara,’’ ucapnya. 

Siswa SMK Negeri 4 Grafika, Kota Malang, itu ingin fokus pada perjuangan para korban tragedi. Bahkan, dirinya juga tidak masalah jika fotonya dipakai untuk alat perjuangan. ’’Selama untuk keadilan, saya tidak masalah,’’ tuturnya. 

Meski tidak menggerus kecintaannya kepada Arema FC, Raffi menegaskan ada pelajaran berharga yang dipetiknya. Dia yang jadi saksi hidup dengan luka tidak seberapa dibanding korban lain kelak ingin menjadi contoh bagaimana mendukung klub kebanggaan dengan baik. ’’Tanpa kekerasan, saya ingin jadi suporter baik agar stadion benar-benar aman dan ramah untuk semuanya,’’ paparnya. 

Raffi ingin mengakhiri permusuhan dengan suporter Persebaya, Bonek. Dia ingin hubungan kedua suporter tidak lagi buruk. ’’Sebagai generasi muda Aremania, saya tidak ingin lagi meneruskan permusuhan kelewat batas itu,’’ tuturnya.

Sulit? Pasti. Tapi, pria yang sempat menimba ilmu di klub Liga 3 NZR Sumbersari itu ingin mewujudkannya lewat diri sendiri. Dia tidak ingin lagi ada korban jatuh karena permusuhan di sepakbola. ’’Sudah cukup 135 nyawa dan luka yang tak kunjung sembuh,’’ katanya.

Kalau Rosi masih takut pada hujan dan petir, tiap kali melihat kerumunan banyak orang, Ade Sulityo Hadi selalu gemetaran. Pikirannya langsung teringat malam 1 Oktober tahun lalu itu. Masih terekam benar betapa mencekamnya Kanjuruhan setelah laga Arema FC versus Persebaya tersebut. 

Tepatnya di lorong gate 7, tempatnya mencoba melarikan diri dari tembakan gas air mata polisi. Ade teringat lagi bagaimana tubuhnya tertindih enam orang. Bagaimana kaki kanannya patah. ’’Masih ngeri rasanya kalau teringat malam itu,’’ ungkapnya. 

Setelah malam itu, anak pertama dari tiga bersaudara tersebut harus bertahan dengan rasa sakit. Dia kudu menggunakan alat bantu berjalan selama empat bulan meski sudah dipasang pen di kaki kanannya. ’’Saya tidak sekolah selama itu, di rumah saja,’’ kenangnya

Bahkan, sejak Februari lalu, setelah alat bantu jalan tidak lagi dipakainya, Ade belum bisa beraktivitas seperti dulu. Dia berjalan masih terpincang-pincang karena ada pen yang masih menempel di tulang kaki kanan. ’’Tidak bisa lari. Saya hanya bisa melihat teman-teman main sepakbola,’’ ujarnya. 

Febiancha Cheendy Choirun Niza tak sampai trauma dengan kerumunan meski matanya juga memerah efek gas air mata. Bahkan dia juga masih ingin menonton lagi laga Arema FC di stadion. ’’Hanya orang tua berpesan, kalau mau nonton, harus ada orang lebih tua yang mendampingi,’’ ucapnya. 

Feby mengaku aktivitasnya sudah normal seperti biasa. ’’Tidak ada rasa sakit sama sekali. Semua normal seperti dulu,’’ tuturnya. (*/c17/ttg/das)

Laporan Farid S Maulana, Malang 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook