ADA adagium umum yang sering digunakan oleh banyak kaum milenial dalam kehidupan percintaan: “orang yang tak pernah merasa memiliki, maka dia tak akan merasa kehilangan”. Kepemilikan adalah bentuk dari ikatan emosional, meskipun kadang faktanya kita tak memilikinya secara nyata. Memiliki secara maya, seolah-olah yang kita miliki itu adalah bagian dari diri kita, padahal sebenarnya tidak.
Hal seperti ini lazim terjadi pada orang-orang yang mengidolai sesuatu, baik itu seseorang atau nama-nama (brand) yang sudah terbangun dengan baik. Misalnya seseorang yang menjadi fans berat seorang selebritis (penyanyi, aktor/aktris, selebritis, grup musik, dll), atau para pecinta klub-klub olahraga, termasuk para atletnya.
Kita tahu bagaimana fanatisnya pecinta BTS, BlackPink, Ariel Noah, Tom Cruise, dan yang lainnya dalam dunia hiburan. Kita juga tahu betapa fanatisnya pendukung klub olahraga, baik itu sepakbola, basket, bulutangkis, dan sebagainya. Mereka bahkan rela mati demi membela klub-klub kesayangannya itu. Tak terhitung lagi betapa banyak tragedi yang membuat orang-orang meregang nyawa demi klub yang dicintainya.
Tragedi Heisyel yang terjadi pada final Piala Champions tahun 1985, tepatnya pad 29 Mei, antara Liverpool vs Juventus, adalah salah satu sejarah hitam bagi sepakbola Inggris dan dunia. Pertandingan itu dipentaskan di Stadion Heysel, Brussels, Belgia. Ada 39 pendukung garis keras (ultras) Liverpool tewas, dan ratusan lainnya luka-luka akibat robohnya tembok pembatas yang tak mampu menahan beban orang yang berdesakan. Sejak tragedi itu, klub-klub sepakbola Inggris dilarang mengikuti kompetisi Eropa selama 5 tahun. Khusus bagi Liverpool, 6 tahun.
Empat tahun kemudian setelah kejadian itu, peristiwa yang nyaris sama terjadi di Stadion Hillsborough, kandang Sheffield Wednesday, di kota Sheffield, Inggris, pada 15 April 1989. Hampir sama dengan yang terjadi di Heysel, dalam final Piala FA antara Liverpool vs Nothingham Forest itu, para penonton saling berjejalan. 96 orang tewas dalam kejadian itu, yang terbesar dalam sejarah di Inggris yang terjadi di lapangan sepakbola. Dan masih banyak lagi orang-orang yang mati demi membela klub kesayangannya.
Dua peristiwa itu menjelaskan bahwa fanatisme para pecinta olahraga --dalam hal ini sepakbola-- sangat tak terbatas. Para pendukung Liverpool tersebut, merasa sangat memiliki The Reds. Mereka rela berdesakan dan akhirnya meregang nyawa. Di kala itu, pendukung Liverpool memang dianggap paling berani, bahkan paling konyol dan brutal di Eropa. Mereka disebut hooligans --sebutan yang kemudian melebar dan digunakan untuk pendukung hampir semua klub Inggris dan timnas Inggris. Lagu “You’ll Never Walk Alone” yang pertama kali dinyanyikan oGerry & The Pacemakers pada tahun 1963 adalah
“lagu kebangsaan” para fans Si Merah untuk tim kesayangannya hingga kini. Sangat melegenda.
***
PERASAAN memiliki yang amat dalam, juga dirasakan para pecinta PSPS Riau (dulu PSPS Pekanbaru). Klub yang didirikan pada 1 Januari 1955 ini adalah kebanggaan warga Pekanbaru dan Riau. Sama seperti rasa cinta yang diberikan oleh warga Bandung untuk Persib, warga Surabaya untuk Persebaya, warga Jakarta untuk Persija, warga Malang untuk Arema, warga Semarang untuk PSIS, warga Medan untuk PSMS, dan lain sebagainya. Di kota-kota tersebut, meskipun ada klub baru, akan sulit meraih simpati warga kotanya karena sudah terlanjur cinta dengan tim yang lebih dulu ada.
Misalnya, di Surabaya dulu muncul klub-klub besar seperti Niac Mitra, Asyabab Salim Grup, dll, namun tak akan menggeserkan hati para Bonek --sebutan untuk pendukung Persebaya-- ke klub-klub tersebut. Kalau ada, jumlahnya hanya kecil, sebagian. Begitu juga, saat di Bandung muncul klub Bandung Raya, hati para bobotoh tak akan bergeser dari Persib. Di Jakarta, puluhan klub besar muncul seperti Tunas Inti, Warna Agung, Pelita Jaya, dll, namun tak akan mengurangi jumlah pendukung Persija. Dan banyak contoh lagi yang lain.
Di Pekanbaru, KS Tiga Naga juga merasakan itu. Meski jumlah pendukung PSPS tak sebesar klub-klub di Jawa, namun kesetiaan mereka dalam mendukung klub berjuluk Askar Bertuah itu tak akan terbagi ke klub lain. Musim lalu, saat PSPS dan Tiga Naga sama-sama berjuang di Liga 2, terlihat betul bagaimana fanatismenya pendukung PSPS dan “mengabaikan” Tiga Naga yang sedang membangun basis pendukungnya sendiri.
Sejarah dan hubungan emosional yang begitu lama yang membuat semuanya terjadi. Meski sejarah “kebesaran” sepakbola di Riau (PSPS adalah simbolnya) masih kalah dibanding sepakbola di Sumatra Barat (dengan PSP Padang dan Semen Padang sebagai ikonnya) dan Sumatra Utara (dengan PSMS Medan, Pardedetex, PSDS Deli Serdang, dan Medan Jaya sebagai aktornya), namun PSPS sudah dibangun sedemikian rupa, dibuktikan lewat perjalanan sejarah, dan kecintaan pendukungnya yang mengikuti perjalanan itu.
PSPS mulai diperhitungkan di panggung sepakbola nasional setelah 44 tahun berdiri, tepatnya pada tahun 1999 saat juara Divisi I dengan mengalahkan Indocement Cirebon 2-2 di final. Kemenangan yang kemudian melangkahkan kaki PSPS ke Divisi Utama ketika itu. Orang-orang seperti Anto Rachman, Tengku Lukman Jafaar, Saleh Djasit, Herman Abdullah, Agus Kamaruzman, Syamsul Hidayah Kahar, Jefry Nazir, dan yang lainnya, telah menjelaskan bahwa kerja keras dan tak kenal menyerah bisa membuahkan hasil. Nama-nama pemain seperti Syamsudin, Hasyim, Khairul Minan, Kamarudin Betay, Miskardi, Tarjaki Lubis, Agus Rianto, Mourmada Marco, Essama Raymond, dll, pantas dicatatkan dalam buku sejarah PSPS, sebagai pemain-pemain yang pertama kali membawa PSPS ke kompetisi tertinggi.
Setelah itu, PSPS bertansformasi menjadi klub besar dengan pemain-pemain bintang dan berharga mahal yang setiap musim selalu menghiasi skuad. Sekadar menyebut nama, mereka adalah Bima Sakti, Kurniawan Dwi Yulianto, Sudirman, Toyo Haryono, I Komang Mariawan, Bejo Sugiantoro, Aples Giedon Tacuari, Edu Juanda, Selamet Riyadi, Eko Purjianto, Erol Iba, Uston Nawawi, Sony Kurniawan, Amir Yusuf Pohan, Hendro Kartiko, M Affan Lubis, Ritham Madubun, Rahmat Rivai, atau Rocky Putiray.
Dari barisan pemain asing, pemain-pemain terbaik juga pernah memperkuat PSPS selain Mourmada Marco dan Essama Raymond, adalah kiper Mbeng Jean, Simon Atangana, Carlos de Mello, Joe Nagbe, Felipe Cortez, Cristiano, Ebwelle Bertin, Moses Nyeman, Joseph Lewono, Alejandro Castro, dll. Pemain-pemain lokal seperti Miskardi, Khairul Adri, Aidil Desfi, Rino Yuska, Agusrianto, Syamsudin, hingga ke generasi Amrizal, April Hadi, Mulyadi dll, juga menjadi bagian penting di masa “jaya” PSPS tersebut.
Bukan hanya pemain yang sangat ingin membela PSPS kala itu, para pelatih dari luar Riau juga tertarik menangani PSPS. Selain Sofyan Hadi yang membawa PSPS ke Divisi Utama dan kemudian menangani tim lagi beberapa tahun kemudian, para pelatih seperti Tumpak Sihite, Parlin Siagian, Suimin Diharja, Jenni Wardin, Syafriyanto Rusli, Nandar Iskandar, Abdulrahman Gurning, Mundari Karya, Jafri Sastra, dll, juga pernah menangani tim ini, selain pelatih lokal seperti Miskardi, Raja Faisal, dan yang lainnya.
Dalam periode tersebut, PSPS dianggap sebagai “tim juara tanpa mahkota”. Banyak orang yakin, kegagalan PSPS menjadi juara Liga Indonesia karena dikerjain beberapa orang “penting” di pusaran pusat sepakbola Indonesia, yang marah karena PSPS berhasil membangun tim bintang. Sesuatu yang tak bisa dilakukan klub lain di Indonesia kala itu.
***
KITA tahu, membangun kepercayaan tidak mudah. Dan PSPS berhasil membangunnya bersamaan perjalanan waktu. Saya yakin, sebelum Asykar Theking, Gajah Putih, Lembaga Suporter Riau, Curva North, dan kelompok suporter lainnya yang belakangan muncul, di masa lalu pasti banyak pecinta PSPS yang sangat sayang terhadap tim ini, yang mungkin belum terorganisir menjadi kelompok dan diberi nama.
Cerita-cerita tentang para penonton yang rela memanjat stadion Dwi Kora, Stadion Hang Tuah, atau Stadion Rumbai, hanya ingin menyaksikan PSPS bermain tapi tak punya uang, adalah ingatan kolektif yang pasti tak akan terlupakan. Mereka, para penonton tersebut, di masa lalu, punya keinginan yang membara untuk menyaksikan secara langsung, bagaimanapun caranya. Itu berbeda dengan masa kini, yang jikapun tak bisa datang langsung ke stadion, bisa nonton di televisi lewat siaran langsung atau lewat digital secara live maupun rekaman streaming.
Haji Pandeka, misalnya, salah seorang suporter senior militant PSPS, pernah bercerita bagaimana mereka setia menemani PSPS semasa masih di Divisi I. Dia dan rekan-rekannya selalu pergi ke manapun PSPS bertanding, baik dengan mobil pribadi maupun naik bus umum. Perjalanan ke Bengkulu melawan PS Bengkulu, ke Padang melawan PSPS Padang, atau ke Batanghari melawan Persibri Batanghari, hampir setiap musim dilakukan dengan uang kantong seadanya.
Maka, ketika kemudian PSPS dipindahkan homebase-nya ke Stadion Baharoeddin Siregar, Lubuk Pakam, Deli Serdang (Sumut) --yang tak memiliki hubungan emosional apa pun dengan PSPS-- oleh sang pemiliknya, Norizam Tukiman, saat ini, kesedihan mendalam dialami oleh para pendukung PSPS. Sebelum menulis catatan ini, beberapa kawan mengirimi pesan lewat WA, lewat Facebook, dan ada yang menelpon langsung, hanya sekadar ingin curhat betapa kecewanya mereka dengan kondisi PSPS hari ini.
Rata-rata mereka bilang, pengusaha hotel dan burger asal Malaysia itu telah mengkhianati perasaan orang Riau, para pecinta PSPS. Apalagi pernyataan Norizam terakhir bahwa dia tak akan lagi membawa PSPS ke Riau jika suporter masih rusuh seperti kejadian di Stadion Utama saat berhadapan dengan PSMS Medan beberapa waktu lalu. Penjualan sebagian kepemilikan saham kepada pengusaha asal Deli Serdang berdarah Aceh, juga membuat orang Riau merasa tersakiti.
Artinya, Norizam telah menjauhkan pohon dari akarnya, menjauhkan PSPS dari kecintaan pendukungnya, hubungan emosional masyarakat Riau, dan sejarah panjang yang telah dibangun sejak kelahirannya tahun 1955. Bahkan ada kabar, jika kembali ke Riau pun, bukan ke Riau daratan, tetapi ke Kepulauan Riau. Jika itu benar-benar terjadi, maka selesailah. Ucapkan selamat jalan kepada PSPS. Selamat berpisah, dan tak akan berjumpa lagi.
Sebagai pengusaha, Norizam pasti ingin tempat yang nyaman, tempat yang tak merasa diganggu oleh siapa pun. Dia tak punya ikatan emosional dengan sejarah dan masa lalu PSPS. Dia juga tak paham bagaimana orang-oang berjuang untuk PSPS di masa sebelumnya. Bukan tidak mungkin, dalam setahun atau dua tahun ke depan, nama PSPS sebagai klub sepakbola akan hilang. Contoh yang pernah terjadi, adalah ketika Persires Rengat dijual ke pengusaha asal Bali dan Lampung. Di awalnya, nama Persires masih melekat, tetapi di tahun berikutnya, berdasarkan ketetapan PSSI, nama Persires akhirnya hilang. Hingga hari ini.
Contoh lain adalah klub Bangka Belitung (Babel) United FC. Setelah sempat dibeli oleh pengusaha dari Musi Banyuasin (Sumatra Selatan) dan dipindahkan homebase-nya ke sana, pada tahun 2022 ini klub yang di masa awal berdirinya bernama PS Bangka ini dibeli lisensinya oleh pengusaha dari Palu, Sulawesi Tengah, dan berganti nama menjadi Persipal Palu. Maka, hilanglah nama Bangka dan Belitung.
Nah, bisa jadi, jika nanti tetap berada di Deli Serdang atau Batam, atau daerah lainnya, selain di Riau, nama PSPS akan hilang dan berganti nama dengan nama lokal di mana klub ini berada. Bisa saja menjadi Medan United, Deli Serdang FC, Batam FC, atau Tajungpinang United, dll. Tinggal diubah badan hukumnya, dilaporkan ke PSSI, disahkan dalam Kongres Tahunan PSSI, maka nama PSPS akan hilang. Selamanya.
Apa yang harus kita lakukan? Menangisi? Menyesali? Nasi sudah menjadi bubur. Tak ada yang harus ditangisi. Begitulah sepakbola yang dianggap menuju profesional, di Indonesia, sang pemilik bebas melakukan apa saja. Ini berbeda dengan profesional gaya Eropa atau belahan bumi lainnya. Seorang pengusaha asing yang membeli Chelsea, Inter Milan, Manchester United, Liverpool, Manchester City, AS Roma dll, tak bisa seenaknya mengganti nama klub dan memindahkan homebase-nya. Di Indonesia, semuanya bisa. Bisa diatur.
Maka, yang sekarang harus dilakukan adalah melupakan PSPS dari ingatan kolektif kita. Para penguasaha Riau yang sangat mencintai sepakbola yang sekarang memiliki klub di Liga 3, harus bekerja keras “mengembalikan” marwah sepakbola Riau setelah hilangnya PSPS. Salah satu dari Tiga Naga, Pekanbaru Warriors, Nabil FC, Pendalian FC, Tornado FC, dll, harus punya tekad untuk menjadi salah satu klub yang bisa lolos ke Liga 2, atau bahkan ke Liga 1 di musim berikutnya, sambil membangun basis suporter.
Mereka harus saling dukung. Siapa yang terkuat tim dan keuangannya, harus didukung untuk maju. Tujuannya hanya satu: mengembalikan sepakbola Riau ke tempat yang terhormat. Bisa?
***