IPK TAK HANYA HURUF ATAU ANGKA

1 SKS Jadi 45 Jam per Semester

Nasional | Kamis, 31 Agustus 2023 - 08:44 WIB

1 SKS Jadi 45 Jam per Semester
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim. (JPG)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -Ekosistem di perguruan tinggi betul-betul direformasi oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim. Tak hanya mengubah standar kompetensi kelulusan, ia juga mengganti standar proses pembelajaran dan penilaian mata kuliah.

Dalam standar proses pembelajaran, Nadiem mengubah aturan mengenai Satuan Kredit Semester (SKS). Jika sebelumnya, beban belajar bagi mahasiswa per satu SKS sama dengan 50 jam pembelajaran per pekan, ditambah pula penugasan terstruktur 60 menit per pekan hingga kegiatan mandiri selama 60 menit per pekan. Maka, kini semua dipangkas.


Nadiem menilai, pengaturan SKS ini sudah tidak relevan lagi di era saat ini. ”Kita harus mengatur berapa lama di ruang kelas, berapa lama jam waktu PR, dan kegiatan mandiri berapa. Ini sudah tidak relevan lagi,” ujarnya, Rabu (30/8).

Karenanya, dia mengubah aturan 1 SKS menjadi 45 jam per semester. Itu pun, pendistribusian pemenuhan SKS ini ditentukan sepenuhnya oleh masing-masing perguruan tinggi sesuai dengan karakteristik tiap mata kuliah. Sehingga, diharapkan pemenuhan SKS tidak sebatas pada kegiatan belajar di kelas.

”Setiap mata kuliah, setiap prodi akan punya standarnya sendiri. Kalau mayoritas atau 70 persen dari waktunya adalah project-based, tentu ini tidak bisa dilakukan kalau standarnya sangat kaku dan prescriptive,” ungkapnya.

Kemudian, untuk penilaian mata kuliah, mantan bos Gojek ini tak ingin hanya mengandalkan huruf dan angka. Mulai saat ini, dia turut menerapkan agar Indeks Prestasi (IP) bisa juga dalam bentuk lulus atau tidak lulus (pass-fail).

Aturan ini nantinya dikhususkan untuk mata kuliah yang berbentuk kegiatan di luar kelas. Seperti, kegiatan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) yang bermitra dengan industri dengan bentuk pelatihan tertentu dalam satu semester. Menurutnya, akan sangat merepotkan bila prodi dan industri harus menentukan grade scale sesuai dengan aturan penilaian sebelumnya.

”Industrinya nggak peduli itu grade scale. Industrinya cuma ingin tahu pass atau tidak. Ini anak kompetensinya sudah cukup atau tidak,” jelasnya. Menariknya lagi, pass-fail ini tidak dihitung dalam indeks prestasi kumulatif (IPK). ”Jadi pass-fail itu dapat SKS-nya, tapi tidak berdampak pada IPK,” sambungnya.

Kalangan akademisi menyambut baik aturan baru sistem penjaminan mutu yang diumumkan Nadiem. Termasuk soal kewajiban membuat skripsi yang tidak diwajibkan lagi.

Dukungan itu disampaikan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie. Dia menyambut baik terbitnya Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.

Tholabi mengatakan, peraturan itu menjadi titik pijak bagi pendidikan tinggi di Indonesia untuk melompat lebih baik ke depan. Menurutnya, simplifikasi standar nasional pendidikan harus dibaca sebagai upaya negara untuk mendesain pendidikan tinggi untuk menghasilkan sumber daya manusia (SDM) unggul dan tidak berjarak dengan realitas sosial.

“Desain pendidikan tinggi di Indonesia harus mengikuti perkembangan tuntutan zaman,” katanya. Aturan baru itu bagian dari upaya mendekatkan sistem pendidikan dengan realitas di lapangan.

Tholabi menyebutkan pekerjaan rumah yang harus dilakukan saat ini adalah segera merumuskan standar pendidikan di level perguruan tinggi serta pedoman teknis lainnya. Seperti soal lulus sarjana tidak harus menulis skripsi. Kemudian tidak ada kewajiban publikasi tugas akhir bagi program doktor dan magister. “Ketentuan itu harus dirumuskan lebih detail dan implementatif di lapangan dengan tanpa mengurangi mutu yang dihasilkan,” jelasnya.

Dia mengatakan kebijakan baru itu harus dimaknai sebagai upaya pemerintah memberikan kemudahan melalui penyederhanaan lingkup standar, standar kompetensi lulusan, dan standar proses pembelajaran dan penilaian. Kemudian juga dalam rangka memperluas ruang gerak perguruan tinggi untuk melahirkan inovasi. Karena baginya, inovasi hanya bisa dilakukan dengan ruang gerak yang luas.

Tholabi juga menyinggung keberadaan kecerdasan buatan (AI) juga menjadi poin penting atas aturan baru itu. Menurut dia, kecerdasan buatan telah mendisrupsi aktivitas ilmiah di lingkungan lembaga  pendidikan, khususnya di pendidikan tinggi.

Dia mengatakan kecerdasan buatan semakin menguatkan tradisi  bertanya dan langsung menemukan jawabannya dari robot. Kebiasaan baru ini menggusur tradisi berpikir. “Padahal, pengetahuan itu basisnya adalah cogito ergo sum, pikiran,” ujarnya.

Sementara itu, Pengamat Pendidikan Universitas Paramadina Totok Amin Soefijanto menuturkan, skripsi memang momok menakutkan untuk mahasiswa. Namun, kebijakan mengganti skripsi menjadi tugas akhir perlu untuk dikaji. “Tepat atau tidaknya bergantung kriteria dan kompetensi sarjana yang dihasilkan tiap universitas,” jelasnya.

Yang pasti, perguruan tinggi harus berupaya menjaga mutu lulusannya. Salah satunya, lewat tugas akhir. Tahap ini penting untuk memastikan lulusannya dapat mengambil peran di masyarakat. “Baik menjadi pegawai atau pun pengusaha,” terangnya.

Menurutnya, skripsi biasanya menjadi ganjalan karena beberapa hal. Diantaranya, mahasiswa tidak serius mengerjakan atau malah perguruan tinggi kurang proaktif membantu mahasiswa di tahun-tahun akhir.

“Kegagalan skripsi itu karena banyak faktor,” jelasnya.

Bahkan, faktor ekonomi mahasiswa juga sangat mempengaruhi. Seharusnya, universitas juga jangan abai dalam permasalahan mahasiswa di semester-semester akhir ini. “Mahasiswa mau tidak mau harus siap menghadapi skripsi atau tugas akhir,” jelasnya.(mia/wan/idr/jpg)

Laporan JPG, Jakarta









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook