JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah mengingatkan radikalisme dan bom bunuh diri yang melibatkan generasi millenial, terjadi paska dibubarkannya Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) dan hilangnya materi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dari kalangan Pelajar, mahasiswa dan aparatur negara.
Sejak BP7 dibubarkan, kata dia, tidak ada lagi lembaga yang berkewajiban mensosialisasikan dasar dan ideologi negara. Dan sejak P4 ditiadakan, tidak ada lagi pelajaran mengenai dasar dan ideologi negara kepada pelajar, mahasiswa dan aparatur negara.
Akibatnya, generasi millenial mencari-cari ideologi dan dasar negara yang dipakai di negara lain, meski belum tentu sesuai dengan Indonesia. Kondisi ini semakin rumit, karena generasi muda lebih percaya kepada media sosial, daripada media massa konvensional.
“Harus diakui, negara pernah abai terhadap pentingnya sosialisasi dasar dan ideologi negara. Dianggapnya sila-sila dalam Pancasila, itu bisa diartikan sesuai rezim pemerintahan yang berkuasa," kata Ahmad Basarah.
Disampaikannya saat menjadi narasumber Dialog Empat Pilar, kerjasama MPR dengan koordinatoriat wartawan parlemen di Media Center Komplek Parlemen Jakarta, Senin (26/4/2021) lalu, dengan tema Menangkal Penyusupan Paham Ekstrimisme, Dikalangan Anak Muda. Selain Basarah, dialog tersebut juga menghadirkan narasumber Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti.
Terbukti tingkat kepercayaan masyarakat kepada medsos mencapai 20,3 persen. Angka ini lebih besar daripada kepercayaan masyarakat terhadap informasi yang dikeluarkan secara resmi oleh website lembaga pemerintah hanya 15,3 persen.
"Sehingga saat penguasanya berganti, Pancasilanya pun harus berganti. Lantas bagaimana anak-anak muda akan memahami Pancasila, kalau disosialisasikan pun tidak pernah,” tambahnya.
Menurut Basarah, anak muda gampang dipengaruhi untuk melancarkan gerakan Radikalisme dan aksi bom bunuh diri, karena umumnya mereka memiliki jiwa militan yang sangat kuat. Kepada anak-anak muda itu ditanamkan keyakinan bahwa semua yang dari barat adalah kafir dan thogut, termasuk masalah demokrasi dan Pancasila. Akibatnya banyak anak muda yang terpengaruh dan larut dalam aksi radikalisme.
Kata dia, maraknya aksi radikalisme dan bom bunuh diri, itu terlihat jelas dalam kurun 2000-2020. Selama itu tercatat 553 serangan terror di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya, rata-rata setiap bulan terjadi dua kali aksi teror dalam dua puluh tahun terakhir.
Dari jumlah tersebut beberapa pelakunya tergolong masih muda. Seperti Nana Ikhwan Maulana (20 tahun) pelaku bom bunuh diri di hotel Ritz-Carlton tahun 2009, Dani Dwi Permana (18 tahun) pelaku bom bunuh diri di hotel JW Marriott pada 2009, Sultan Ajiansyah (22 tahun) penyerang pos lalu lintas cikokol-tangerang, pada 2016, Rabbial Muslim Nasution (24 tahun) pelaku bom bunuh diri di Polrestabes Medan pada 2019, Lukman (26 tahun) pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar dan Zakiah Aini (26 tahun) pelaku teror di Mabes Polri pada 2021.
Basarah mengutip mantan pelaku Bom Bali, ustadz Ali Imron dalam sebuah diskusi. Dalam diskusi itu, Ali Imron mengatakan bahwa untuk mengubah seseorang menjadi teroris cukup mudah hanya membutuhkan waktu dua jam. Tetapi untuk mengubah teroris menjadi tidak teroris membutuhkan waktu yang sangat lama.
“Menurut Ali Imron, pelaku Bom Bali, dalam sebuah diskusi, untuk mengubah seseorang menjadi teroris sangat mudah hanya butuh waktu dua jam. Sementara untuk mengeluarkannya dari kelompok radikalisme itu butuh waktu yang sangat lama. Inilah salah satu alasan mengapa banyak generasi millenial terpapar radikalisme,” pungkasnya
Laporan: Yusnir (Jakarta)
Editor: Eka G Putra