JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia sepertinya sulit dinihilkan. Bahkan saat masih berada di ujung musim penghujan, hotspot atau titik panas dari kebakaran hutan dan lahan sudah terdeteksi di sejumlah daerah. Bahkan terus meningkat dari awal Februari.
Berdasarkan pantauan satelit Modis, pada Sabtu (27/2), terpantau 69 hotspot di Indonesia. Jumlah tersebut tersebar di Kalimantan Timur sebanyak 38 (Kabupaten Kutai Kartanegara 8 dan Kutai Timur 30), Kalimantan Utara 1, Papua 2, Sulawesi Selatan 4, Aceh Selatan 3, Riau 14 (Kabupaten Bengkalis 13 dan Siak 1) serta Sumatera Utara 6 hotspot.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menyampaikan, sebagian besar kebakaran yang terjadi disebabkan oleh pembakaran yang disengaja dengan modus sama, pembersihan lahan. Beruntungnya, hotspot tidak meluas karena aparat berhasil memadamkan.
“Tidak mungkin menihilkan seluruh wilayah Indonesia dari hotspot. Pembakaran hutan dan lahan masih tetap berlangsung,” ungkapnya.
Dari data yang diterima olehnya, pihak Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau bersama Manggala Agni, TNI, Polri, Damkar dan lainnya sudah memadamkan api sejak pertengahan Februari.
Paling baru, tim gabungan masih berusaha memadamkan api di lahan seluas 10 hektar di Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan. Lokasi dilaporkan berada di tengah semak belukar sehingga susah dipadamkan. Selain itu, tim juga masih terus berjuang untuk memadamkan kebakaran lahan seluas 2 hektar di Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis.
Kondisi di tanah Kalimantan tak jauh berbeda. Hotspot terpantau terus bertambah sejak dua minggu terkahir, khususnya di Kutai Kartanegara dan Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Hotspot terdeteksi dari kebakaran hutan dan lahan seluas 5 hektar di Desa Mahurun, Kecamatan Kenohan, Kabupaten Kutai Kartanegara. Hutan sengaja dibakar oknum masyarakat untuk pembukaan lahan.
Hal serupa juga terjadi di Desa Puan Cepak, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara.
“Bahkan kebakaran di sekitar areal hutan lindung di Bontang telah menyebabkan 3 orangutan terbakar,” ujar Sutopo.
Diakuinya, masih banyak masalah di lapangan yang menyebabkan kebakaran masih berlangsung. Hal ini berhubungan erat dengan kebiasaan sebagian masyarakat yang membakar kebun untuk pembukaan lahan.
Sebab, aktivitas ini terkait dengan matapencaharian, perilaku, lemahnya penegakan hukum, politik lokal dan masalah social lainnya. “Memang tidak mungkin hanya dilarang saja, namun harus diberikan solusi praktis karena terkait dengan ekonomi dan matapencahariannya,” jelasnya.
Meski demikian, tahun ini kesempatan untuk menerapkan semua strategi antisipasi kebakaran hutan dan lahan sangat bear. Karena, kemarau tahun ini diperkirakan tidak sekering tahun lalu. El Nino diprediksi berakhir pada April. Selanjutnya, fenomena La Nina akan menguat sehingga musim kemarau relatif basah di wilayah Indonesia.
“Kondisi ini tentu akan memudahkan kita dalam upaya antisipasi kebakaran hutan dan lahan. Disamping saat ini semua pihak baik pusat maupun daerah sudah bersiap melakukan antisipasi dan pencegahan,” tutur alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.
Selain itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah membentuk Badan Restorasi Gambut untuk memulihkan ekosistem gambut. Sehingga diharapkan kebakaran hutan dan lahan tahun ini tidak akan seburuk tahun lalu.
Seperti diketahui, bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan tahun lalu begitu dahsyat. Hampir selama 5 bulan beberapa daerah dikepung asap dan api. Dampaknya pun luar biasa. Tercatat, 2,61 juta hektar hutan dan lahan terbakar. Kerugian ekonomi ditafsir mencapai Rp 221 triliun. Bukan hanya kerugian materil, sekitar 600 ribu jiwa harus menderita Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA). (mia/jpg)