JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Kritikan saat tertuju kepada perubahan pelayanan yang dijamin dalam regulasi baru Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Adapun peraturan itu dipandang membatasi layanan terkait pelayanan katarak, persalinan dengan bayi lahir sehat, dan rehabilitasi medik. Seperti diberitakan sebelumnya, Pihak BPJS Kesehatan mengklaim aturan itu sebagai upaya optimalisasi implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
Diketahui, BPJS Kesehatan sebagai badan hukum publik yang mengelola keuangan Dana Jaminan Kesehatan senantiasa menjalankan fungsi kendali mutu dan kendali biaya dengan tetap mengutamakan mutu pelayanan kepada pasien JKN-KIS.
Baca Juga :Petani di Sijunjung Meninggal Tersambar Petir, BPJS Ketenagakerjaan Gerak Cepat Bayarkan Manfaat
Lantas, per 25 Juli 2018, BPJS Kesehatan menerapkan implementasi (1) Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Katarak Dalam Program Jaminan Kesehatan, (2) Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan Dengan Bayi Lahir Sehat, dan (3) Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik.
Terkait itu, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr. Moh. Adib khumaidi, SpOT, menerangkan bahwa PB IDI tetap mendukung program JKN untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia dengan memberikan pelayanan yang sesuai standar.
Dia menyebut, regulasi-regulasi terkait dengan JKN harus mengedepankan kepentingan rakyat dan melibatkan organisasi profesi (IDI dan perhimpunan spesialis terkait).
"Sebagai organisasi profesi, IDI menyadari adanya defisit pembiayaan JKN, namun hendaknya hal tersebut tidak mengorbankan kepentingan masyarakat, mutu layanan, dan keselamatan pasien," katanya, seperti dikutip JawaPos.com, Kamis (26/7/2018).
Dipaparkannya, PB IDI bersama stakeholder lain dalam pelayanan kesehatan senantiasa bersinergi dengan pemerintah sesuai dengan kewenangannya (DJSN dan Kementerian Kesehatan) agar lebih proaktif dalam mengatasi permasalahan-permasalahan terkait dengan pelayanan BPJS.
Dia mengakui saat bicara soal JKN, masalah itu susah untuk diselesaikan karena berbenturan dengan pembiayaan tinggi, antara lain, misalnya, dalam pembiayaan pasien ortopedi.
"Saya sebagai dokter ortopedi misalnya, pasien-pasien dihadapkan dengan pembiayaan tinggi. Bisa tindakan operatif, operasi-operasi atau ada kaitannya dengan intervensional. Kecukupan pembiayaan di situ masih rendah," tuntasnya. (ika)
Sumber: JPG
Editor: Boy Riza Utama