Penataan Antrean Harus Didukung Banyak Komponen

Nasional | Selasa, 26 Februari 2019 - 09:54 WIB

Penataan Antrean Harus Didukung Banyak Komponen

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - BPJS Kesehatan memberikan dampak bahwa seluruh masyarakat bisa mengakses layanan kesehatan. Akibat tidak seimbang antara suplay dengan demand, jumlah layanan kesehatan dengan masyarakat yang membutuhkan, maka antrean terjadi.

Soal antrean pasien BPJS Kesehatan, juga mendapat sorotan dari BPJS Watch. Antrean pasien ini sudah terjadi sejak awal BPJS Kesehatan pada 2014 silam. Namun cenderung lebih banyak ketika sistem rujukan online yang diterapkan mulai akhir tahun lalu berjalan.

Baca Juga :Komunitas Ojol Speed Dumai Dilindungi BPJS Ketenagakerjaan

”Dari fasilitas kesehatan pertama larinya ke rumah sakit tipe C dan D. Sedangkan tipe B kosong. Banyak dokter yang komplain,” tutur Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar kemarin saat dihubungi Jawa Pos (JPG).

Timboel khawatir, jika antrean akan semakin panjang pada 1 Juli nanti. Sebab sesuai surat edaran Kementerian Kesehatan, fasilitas kesehatan yang belum memiliki akreditasi tidak bisa bekerja sama dengan BPJS Ke­sehatan. Seharusnya aturan ini sudah berlaku awal tahun. Namun Kementerian Kesehatan masih memberikan kesempatan kepada 400-an rumah sakit yang belum terakreditasi.

Timboel sendiri pernah mendapat pe­ngalaman buruk soal menjadi pasien yang menggunakan BPJS Kesehatan. Beberapa waktu lalu, dia sakit dan harus dirujuk di salah satu rumah sakit di Jakarta. Timboel datang pagi dan mendapat nomor antrean. Hingga pada jam 09.30 WIB, ternyata dia diminta pulang. Alasanya kuota  pasien BPJS Kesehatan di rumah sakit tersebut habis.

”Akhirnya saya memilih untuk menjadi pasien umum saja,” tuturnya.

Sebagai aktivis, dia pun kerap mendapati keluhan. Sistem pelayanan satu poli satu hari juga dinilai menghambat. Menurutnya jika pemeriksaan bisa dilakukan untuk satu hari beberapa poli akan lebih efisien. ”Kalau yang sakit itu anak-anak atau lansia bagaimana? Atau masyarakat miskin yang harus mengeluarkan ongkos lagi untuk ang­kot,” ucapnya.

Lalu solusinya apa? Menurut Timboel fasilitas kesehatan yang bekerja sama harus buka 24 jam. Alasannya, agar seluruh pasien bisa terlayani. ”Sakit itu kan tidak kenal waktu,” tuturnya.

Dengan durasi yang panjang, maka diharapkan tidak ada antrean. Pasien memiliki waktu yang panjang.

Ketua umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Kuntjoro Adi Purjanto menuturkan, ada banyak cara untuk mengurangi antrean. Namun harus ditelisik lebih jauh kenapa antrean tersebut terjadi. Sebab menurutnya antrean tersebut bersifat kasuistik.

Langkah pertama yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan mencukupi jumlah tenaga medis dan fasilitas kesehatannya. Hal ini agar pelayanan tidak turun. ”Saya waktu masih praktek, menangani 50 pasien saja lelah sekali. Nah sekarang lebih banyak,” katanya, kemarin.

Pemerataan harus dilakukan segera. Artinya dokter dan rumah sakit tidak boleh kumpul di kota besar. Dia yakin jika pe­merataan layanan kesehatan sudah terjadi, maka tidak ada antrean. ”Kalau tidak ada fasilitas kesehatan, maka bangun rumah sakit di situ. Kalau tenaga kesehatan tidak ada, maka memberikan wewenang kepada dokter setempat, misal dokter umum yang sudah dilatih,” katanya.

Penataan pasien BPJS Kesehatan agar tidak antre tidaklah mudah. Penataan ini harusnya disertai dengan pembangunan sarana dan infrastruktur. Sehingga sistem yang direncanakan akan berjalan.  

Di sisi lain, hari ini BPJS Kesehatan meluncurkan data sampel yang dimilikinya untuk keperluan pengembangan evidence based policy atau kredibel berbasis bukti jaminan kesehatan nasional (JKN). Sampel tersebut mewakili seluruh data kepesertaan maupun pelayanan kesehatan yang ada di BPJS Kesehatan.

”Kami melihat data yang kami miliki adalah aset yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan penelitian dan pengambilan kebijakan yang evidence based policy dalam penyelenggaraan Program JKN-KIS. Hal ini juga sebagai salah satu wujud transparansi BPJS Kesehatan dalam memberikan informasi pada publik,” tutur Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris kemarin.

Fachmi menjelaskan, pengelolaan data sampel sebagai pertimbangan pengambilan kebijakan dalam program jaminan kesehatan bukanlah hal baru di dunia. Misalnya, sebagai penyelenggara jaminan kesehatan Korea Selatan, National Health Insurance Service (NHIS) memiliki NHIS-National Sample Cohort, yang merupakan database data sampel 2 persen dari total populasi Korea Selatan. ”NHIS-NSC menjadi sumber data sampel yang digunakan untuk mendukung penelitian dan pengambilan kebijakan kesehatan di Korea Selatan, baik oleh akademisi, peneliti, maupun pemerintah,” ungkap Fachmi.

Dia menambahkan bahwa data sampel BPJS Kesehatan merupakan perwakilan dari basis data kepesertaan dan jaminan pelayanan kesehatan sepanjang tahun 2015 dan 2016. Pembentukan data sampel ini dimaksudkan untuk mempermudah akses dan analisis data oleh publik dan dapat dipergunakan dalam proses analisis untuk menghasilkan suatu rekomendasi kebijakan. ”Seluruh masyarakat nantinya bisa mengakses data sampel ini,” kata Fachmi.

Untuk mengakses data sampel, masyarakat dapat mengajukan permohonan kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) BPJS Kesehatan dengan melampirkan surat pengantar dari instansi, formulir permohonan informasi publik, pakta integritas, proposal penelitian, dan salinan  identitas diri seperti KTP. Selanjutnya, BPJS Kesehatan akan memverifikasi berkas permohonan tersebut. Jika lengkap, PPID BPJS Kesehatan akan menyerahkan data sampel kepada pemohon.

Inovasi BPJS Kesehatan ini mendapat apresiasi Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ani yang datang saat agenda tersebut me­ngatakan data yang dimiliki BPJS Kesehatan merupakan tambang baru. ”Saya berharap muncul penelitian mengenai tarif yang layak itu berapa, soal fasilitas kesehatan, atau soal klaim,” tuturnya.

Berbicara soal BPJS Kesehatan memang pelik. Belum lama ini dua obat kanker tidak lagi diklaim oleh jaminan sosial tersebut. Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengomentari rencana penghapusan dua obat kanker usus dalam daftar obat yang ditanggung BPJS Kesehatan. Kedua obat tersebut adalah Bevacizumab dan Cetuximab. Nila menuturkan, sampai sekarang masih mengkaji obat alternatif dari kedua obat tersebut.

’’BPJS (Kesehatan, red) itu juga harus melihat efektivitas, termasuk obat,’’ katanya ditemui di Istana Wakil Presiden Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Senin (25/2).(wan/lyn/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook