JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentan Pers yang merupakan payung hukum bagi pers Indonesia dalam menjalankan fungsinya, dinilai masih relevan bagi industri pers nasional. Hal ini terbukti dari tidak adanya pembredelan yang dilakukan pemerintah dalam kurun dua puluh tahun terakhir.
Bahkan indeks kemerdekan pers juga menunjukan angka yang postif selalu meningkat dari tahun ke tahun. Itulah benang merah yang terungkap dari seminar "Dua Dekade Undang–undang Pers dan Masa Depan Industri Pers di Indonesia", yang diselenggarakan oleh Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat, Senin (23/9/2019) di Hall Dewan Pers, Jakarta Pusat.
Pembicara yang hadir dalam seminar tersebut antara lain, Komisaris PT Tempo Inti Media Bambang Harymurti, Anggota Dewan Pers Asep Setiawan, Pemimpin Redaksi Tirto.id Sapto Anggoro, dan Ketua Harian SPS Pusat Januar P Ruswita.
Asep Setiawan mewakili Dewan Pers menyatakan bahwa dari segi indeks kemerdekaan pers, Pers di Indonesia memang mengalami kenaikan namun tidak dibarengi dari sisi kualitasnya. "Dalam indeks kemerdekaan pers, kita memang mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Jumlah lembaga pers cetak memang berkurang, kekerasan terhadap wartawan juga menurun. Di sisi lain, dari segi kualitas pers belum melahirkan profesionalisme. Setiap hari ada pengaduan yang berkaitan dengan pemberitaan yang tidak bertanggung jawab, terutama di media daring,” ungkapnya.
Berkaitan dengan model bisnis pers, menurut Bambang Harymurti, hingga saat ini belum banyak penerbit pers cetak di Indonesia yang benar-benar sukses menerapkan model bisnis baru dalam rangka menyesuaikan kehadiran internet, sembari tetap mempertahankan eksistensi produk cetaknya. Padahal, digitalisasi adalah keniscayaan bagi masa depan pers cetak di seluruh dunia.
"Salah satu solusi yang bisa diterapkan pada media cetak untuk mengimbangi perkembangan bisnis media online adalah jangan bergantung pada iklan, melainkan bergantung kepada pembaca. Bangunlah engagement yang baik dengan pembaca sehingga akan berpangaruh baik dari sisi bisnis,” ungkapnya.
Ketua Harian SPS Pusat Januar P Ruswita berpendapat bahwa masih ada masa depan bagi industri pers cetak. Tinggal bagaimana penerbit bisa menjaga brand-nya. "Di media cetak, pendapatan iklan memang terus turun tiap tahunnya, tetapi dengan menjaga kekuatan brand yang dimiliki hal ini dapat mengembangkan model bisnis lain. Misalnya dengan menyelenggarakan event atau kerja sama dengan pemerintahan," saran Januar yang juga Direktur Harian Pikiran Rakyat Bandung.
Pemimpin Redaksi Tirto.id Sapto Anggoro pada kesempatan tersebut juga berbagi kisahnya dalam mengembangkan bisnis media digital. Dia bercerita bahwa waktu Tirto lahir, satu tahun pertama berkomitmen untuk tidak akan menerima iklan. Hal yang terpenting adalah fokus meningkatkan kualitas konten dulu. Jika itu baik, nanti akan mempengaruhi ketertarikan iklan yang ingin masuk.
Dalam kesempatan yang sama selain menyelenggarakan seminar, Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat juga memberikan anugerah gelar Pahlawan Kemerdekaan Pers kepada Presiden Ke-3 RI Bacharuddin Jusuf Habibie atas dedikasi dan sumbangsihnya bagi kemerdekaan pers di Indonesia. Hadir mewakili keluarga untuk menerima penghargaan tersebut Direktur Eksekutif Habibie Center, Hadi Kuntjoro. Dalam sambutannya dia berharap semoga kemerdekaan pers di Indonesia abadi sepanjang masa.(rls)