BERI WAKTU SATU BULAN, PELAPORAN SECARA ONLINE

Perusahaan Sawit Wajib Lapor ke Pemerintah

Nasional | Sabtu, 24 Juni 2023 - 12:55 WIB

Perusahaan Sawit Wajib Lapor ke Pemerintah
Luhut Binsar Panjaitan,Menko Marves. (JPG)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - MENTERI Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan meminta seluruh perusahaan sawit lapor online ke pemerintah. Pelaporan ini bisa dilakukan selama satu bulan, terhitung mulai 3 Juli sampai 3 Agustus 2023.

‘’Satgas dengan tegas mengimbau agar semua pelaku usaha melakukan pelaporan mandiri atas kondisi lahan perkebunan disertai bukti izin usaha yang dimiliki,’’ kata Luhut dalam konferensi pers peningkatan tata kelola industri kelapa sawit di Kantor Kemenko Marves, Jakarta Pusat, Jumat (23/6).


Lebih lanjut, Luhut mengimbau seluruh perusahaan sawit untuk melaporkan informasi tersebut melalui website Sistem Informasi Perizinan Perkebunan (Siperibun). Pemerintah akan menginformasikan secara paralel dan mendapatkan sosialisasi mengenai mekanisme pelaporan mandiri ini.

Nantinya, kata Luhut, seluruh pelaku usaha akan mendapat sosialisasi secara offline dan online. Rencananya, sosialisasi online akan dilakukan di Riau, Kalimantan Tengah, sementara di Jakarta akan digelar secara virtual.

Dia juga menjelaskan, pelaporan ini diwajibkan karena dari hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) banyak ditemukan perusahaan belum mendapatkan izin lokasi, izin perkebunan, dan hak guna usaha. Oleh sebab itu, Luhut yang menjabat sebagai Ketua Satgas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara akan mendorong setiap pelaku usaha untuk melengkapi izin yang diperlukan secara mandiri. ‘’Kami dalam waktu dekat akan mulai self reporting dari perusahaan, koperasi, dan rakyat. Kita ada citra satelit dan drone, sehingga kita minta dilaporin mandiri dan kita akan punya cara untuk random check pada laporan tersebut,’’  jelasnya.

Luhut mengatakan pelaporan ini dilakukan agar pemerintah punya data lengkap dan akurat soal perkebunan sawit. Sehingga ke depan, akan mengurangi kerugian negara dari penyelewengan aturan perkebunan kelapa sawit. “Ke depan kita akan punya data lengkap, dan orang bayar pajak dengan benar,” ujar Luhut.

Sebelumnya, pada Mei 2023, Luhut menyebut ada 9 juta hektare lahan sawit belum dipajaki pengelola. Hal ini diketahui, setelah dirinya diminta Presiden Joko Widodo untuk merestrukturisasi kelapa sawit.

Luhut menjelaskan, dari total 16,8 juta hektare lahan sawit yang ditanami, hanya sekitar 7,3 juta hektare yang bayar pajak. Angka ini diketahui usai BPKP diminta melakukan audit dan merilis datanya. “Kelapa sawit itu kan laporannya 14,6 juta hektare. Setelah kami audit, saya minta BPKP audit, karena kita mesti audit dulu supaya kita tahu dari mana mulai kerja. Baru saya tahu hanya 7,3 juta hektare yang bayar pajak,” kata Luhut saat ditemui di The Westin Jakarta beberapa waktu lalu.

Saya suruh audit seluruh izin kelapa sawit. Ternyata izin kelapa sawit ada 20,4 juta hektare. Adapun yang tertanam 16,8 juta hektare. Jadi belum bayar pajak itu 9 juta hektare, sekarang kita kejar itu,” tambahnya.

Lahan Sawit Terluas Berada di Riau
Sementara itu, berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Andi Nur Alam Syah, saat ini luas lahan kelapa sawit di Riau terluas di Indonesia. Yakni dengan luas 3,38 juta hektare, namun yang memiliki Izin HGU hanya seluas 1,1 juta hektare.

“Jadi HGU lahan sawit di Riau hanya 1/3 yang memiliki sertifikat HGU. Untuk itu, perlu kiranya ada pengukuran ulang terhadap HGU-HGU yang telah dikeluarkan oleh BPN,” sebutnya.

Melihat luasan lahan sawit, Komisi II DPR RI melakukan kunjungan kerja spesifik ke Provinsi Riau, beberapa baru-baru ini. Pada kunjungan kerja saat itu, Komisi II DPR RI melakukan evaluasi terkait Hak Guna Usaha (HGU) dan tata ruang di Provinsi Riau.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Junimart Girsang mengatakan, konflik pertanahan sebagai besar dipicu oleh penguasaan tanah korporasi besar yang telah menelantarkan tanah HGU dan HPL. Namun demikian, saat tanah tersebut diolah oleh masyarakat, maka pemagang hak tanah tersebut melakukan pengusiran. ‘’Hal inilah yang kerap menyebabkan konflik horizontal antara pengusaha besar dengan rakyat kecil. Secara nasional, sekitar 65 persen lebih tanah di Indonesia dikuasai kelompok pengusaha,’’ katanya.

Terkait persoalan HGU di Riau, pihaknya menyoroti beberapa persoalan seperti yang terjadi di Kabupaten Kuantan Singingi dan Indragiri Hulu. Dari dua persoalan tersebut, ditaksir kerugian negara mencapai ratusan triliun rupiah. “Hal ini tentunya juga menghambat pelayanan pertanahan di Riau,” ujarnya.

Selain itu, pihaknya juga meminta BPN melakukan evaluasi kembali terhadap penerbitan HGU, karena berdasarkan temuan dan laporan yang pihaknya terima, banyak HGU yang terlantar dan tidak digunakan. ‘’Bahkan ada yang memperluas lahan dan mengambil tanah-tanah masyarakat, sehingga menjadi konflik,’’ ujarnya.

Sementara itu, Gubernur Riau Syamsuar mengatakan, bahwa hingga saat ini masih ada 84 perusahaan perkebunan di Provinsi Riau belum mengantongi izin HGU dari total 224 perusahaan. ‘’Perlu kami laporkan dari yang kami ketahui, dari 224 perusahaan yang telah memiliki izin perkebunan dan izin budidaya, yang memiliki HGU itu baru 140 perusahaan. Jadi masih ada 84 perusahaan yang belum memiliki sertifikat HGU,’’ kata Gubri.

Gubri mengaku, kondisi itu sebenarnya sudah pernah disampaikan ke Kakanwil BPN Riau dan Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Riau. Karena Pemprov Riau ingin adanya peningkatan pajak pusat dan daerah. ‘’Namun itu belum terwujud. Makanya kita sampaikan di sini. Karena kita dengan Komisi II DPR RI satu suara menyelesaikan persoalan HGU,’’ ujarnya.

Gubri mengatakan, penyelesaian HGU itu merupakan kewenangan pusat dalam hal ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional (ATR/BPN). Termasuk perhitungan pajak perkebunan juga kewenangan pusat. ‘’Karena itu, melalui kesempatan ini kami sampaikan membahas persoalan ini (HGU). Juga susah disampaikan ketua tim, bahwa persoalan ini akan dibahas lintas komisi. Jadi tidak hanya komisi II, tapi juga komisi III, komisi XI dan lainnya,’’  terangnya.

Sebab menurutnya, kewenangan penyelesaian HGU ini berbeda-beda. Karena disamping perusahaan yang belum memiliki HGU, ada juga perusahaan memiliki HGU yang berkonflik dengan masyarakat. ‘’Termasuk juga HGU perpanjangan. Karena disitu kita harapkan ada Plasma masyarakat 20 persen. Itu yang sedang kita perjuangkan. Jadi suara kami sama dengan komisi II DPR RI,’’ ujarnya.

Ditanya apakah data 84 perusahaan perkebunan belum memiliki sertifikat HGU sudah final, Gubri menyatakan, jika 84 perusahaan itu data sementara Pemprov Riau. Tapi tidak memungkin jika dicek bersama bisa bertambah. ‘’Itu data dari pemerintah daerah (Pemda). Ini kan HGU perkebunan sawit. Jadi bisa saja tambah kalau dicek. Tadi kan disampaikan dari DPR pada prinsipnya mereka ingin ukur ulang, kalau diukur ulang maka akan ketahuan itu,’’ tuturnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Riau melalui Kepala Bidang Pengembangan Usaha dan Penyuluhan Dr Ir Sri Ambar Kusumawati MSi menilai pendataan pelaku usaha perkebunan di Riau sejauh ini belum maksimal. Padahal, Disbun menilai, pendataan tersebut memiliki peran penting dalam tata kelola perkebunan di Riau.

Menurutnya, selain pendataan pelaku usaha perkebunan dan legalitas lahan usaha yang belum optimal, terdapat beberapa permasalahan lain dalam tata kelola perkebunan di Provinsi Riau. “Data statistik perkebunan kita juga belum valid. Di samping itu, produksi dan produktivitas tanaman pertanian juga masih rendah. Penanganan pasca panen masih belum maksimal dan tingginya perubahan komoditi non kelapa sawit menjadi kelapa sawit,” paparnya belum lama ini.

Karena itu, pihaknya menilai Sensus Pertanian menjadi urgensi yang harus dilakukan agar permasalahan tata kelola pertanian di Riau saat ini bisa terpecahkan.

Sri juga menjelaskan bahwa menurut Data Statistik Perkebunan Provinsi Riau, luas areal Perkebunan Rakyat Provinsi Riau hingga Tahun 2022 mencapai 3.690.553 Hektare. Dari angka sementara itu, 2.587.121 Hektare adalah perkebunan rakyat dan 1.103.432 Hektare (data tahun 2021, angka tetap) merupakan perkebunan besar negara dan swasta.

Baik perkebunan rakyat maupun perkebunan besar negara dan swasta itu sama-sama didominasi oleh perkebunan kelapa sawit. ‘’Karena potensi yang besar ini, tersedianya data perkebunan yang valid,akurat dan obyektif menjadi sangat penting agar potensi perkebunan Riau bisa dikembangkan dan kondisi rilnya menjadi lebih jelas,” sambungnya.

Pihaknya berharap, melalui Sensus Pertanian yang akan ditaja oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Riau pada awal Juni hingga akhir Juli 2023 ini, menghasilkan data yang bisa dimanfaatkan dalam memperbaiki tata kelola pertanian saat ini.

 ‘’Kami mendukung penuh Sensus Pertanian 2023 ini. Oleh karena itu, kami mengimbau kepada pelaku usaha pertanian untuk kooperatif. Karena keberhasilan Sensus Pertanian 2023 tergantung pada dukungan aktif serta keterbukaan dunia usaha dan masyarakat,’’  ujarnya.(sol/azr/esi)

Laporan JPG, Jakarta









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook