20.154 NAKES TAK BISA DIVAKSIN

Positif Covid-19 Pascavaksinasi karena Belum Terbentuk Antibodi

Nasional | Sabtu, 23 Januari 2021 - 08:27 WIB

Positif Covid-19 Pascavaksinasi karena Belum Terbentuk Antibodi
Siti Nadia Tarmidzi (Jubir Vaksinasi Kemenkes)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Sepuluh hari pascavaksinasi Covid-19 perdana, ada laporan adanya kasus positif pada orang yang sudah divaksin. Laporan itu salah satunya datang dari Bupati Sleman Sri Purnomo. Hal ini menjadi catatan bagi pemerintah.

Jubir Vaksinasi Kemenkes Siti Nadia Tarmidzi menjelaskan bahwa kejadian yang terjadi pascavaksinasi Covid-19 akan diikutkan dalam kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). Lebih lanjut dia menyatakan bahwa waktu antara paparan hingga munculnya gejala terjadi pada hari kelima dan keenam. Sri Purnomo dinyatakan positif pada 20 Januari. Sementara dia melakukan vaksin pada 14 Januari.


"Jika melihat sequence waktunya, sangat mungkin pada saat bupati divaksin beliau dalam masa inkubasi, di mana sudah terpapar virus tapi belum bergejala," ujarnya, Jumat (22/1).

Nadia menjelaskan bahwa Vaksin Covid-19 dari Sinovac berasal dari virus yang dimatikan atau inactivivated. Dia berpendapat bahwa tidak mungkin menyebabkan infeksi pada orang yang disuntikan. Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa vaksin ini memerlukan dua kali dosis penyuntikan untuk menguatkan respons imun yang telah dibentuk. Pada penyuntikan vaksin kedua, maka memicu respons antibodi yang lebih cepat dan efektif setelahnya.

"Suntikan pertama dilakukan untuk memicu respons kekebalan awal. Dilanjutkan suntikan kedua untuk menguatkan respons imun yang telah terbentuk," bebernya.

Sekarang, kondisi Bupati Sleman tersebut tidak menunjukkan gejala. Namun tetap melakuian isolasi mandiri di rumah dinas.

Adanya kasus ini tak berarti vaksinasi dihentikan. Nadia menjelaskan bahwa proses vaksinasi dilakukan sesuai target. Dia pun mengingatkan bahwa vaksinasi tak lantas meninggalkan protokol kesehatan.   

"Karena selain tetap harus menjaga diri sendiri juga masih dibutuhkan waktu untuk Bersama sama bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk mencapai kekebalan kelompok. Sehingga upaya 3M, 3T, dan vaksinasi harus tetap dijalankan," ucap Nadia.

Hingga kemarin pukul 13.00 WIB, jumlah tenaga kesehatan yang telah divaksinasi Covid-19 mencapai 132 ribu orang.

"Jumlah tenaga kesehatan di 13.525 fasilitas layanan kesehatan yang ada di 92 kabupaten/kota di 34 provinsi sudah mencapai lebih dari 132.000 orang atau 22 persen dari total 598.483 tenaga kesehatan," katanya pada kesempatan lain.

Pada tahap awal vaksinasi Covid-19 pemerintah sudah menyebarkan undangan kepada tenaga kesehatan untuk mendapatkan vaksinasi bagi 598.483 tenaga kesehatan. Target sebanyak 1,4 juta nakes. Sisanya sebanyak 888.282 tenaga kesehatan sudah mulai diberikan undangan pada 21 Januari.

"Jika ada tenaga kesehatan yang belum terdaftar di tahap pertama maka kemungkinan mereka berada di kelompok kedua," ucap Nadia.

Selain jumlah tenaga kesehatan yang telah divaksinasi tersebut terdapat juga 20.154 tenaga kesehatan yang tidak bisa diberikan vaksinasi atau ditunda. Alasannya, merupakan penyintas atau memiliki penyakit bawaan dan sedang dalam keadaan hamil. "Tenaga kesehatan yang ditunda vaksinasi karena penyakit bawaan paling banyak disebabkan hipertensi" ucap Nadia.

Sementara itu, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng M Faqih menilai, kasus terpaparnya dua kepala daerah usai vaksin lantaran belum terbentuknya antibody dalam tubuh mereka. Menurutnya, antibodi awal terbentuk setelah 14 hari penyuntikan kedua. Kemudian, antibodi maksimal terdeteksi pada 30 hari setelahnya.

"Baru disuntik sekali jadi masih proses peyiapan sel tubuh. Jadi masih mungkin terinfeksi saat itu," ujarnya dalam diskusi virtual yang disponsori British Embassy Jakarta, kemarin (22/1).

Oleh sebab itu, dia meminta semua orang yang sudah menerima vaksin tetap menjalankan protokol kesehatan (prokes) secara ketat. Mulai dari memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci Tangan.

"Jadi kalau sudah divaksin jangan mentang-mentang. Merasa terlindungi lalu abai," ungkapnya.
Hal senada juga diungkap oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Sebagai salah satu relawan uji klinis tahap III vaksin Sinovac-Biofarma, Emil mengaku sudah banyak bertanya mengenai vaksin ini. Mulai dari proses, efek samping, hingga efikasi.

"Karena saya jadi kelinci percobaan ya, jadi semua saya tanya ke Prof Kusnandi," ujarnya lantas tertawa.

Pertama, mengenai penyuntikan yang harus dilakukan dua kali. Dari penjelasan yang diterima Emil, sapaannya, karena pada vaksin Sinovac platform yang digunakan adalah pelemahan virus SARS-CoV-2. Sehingga, merangsang antibodi dalam tubuh perlu dua kali suntikan.

"Jadi suntikan pertama itu baru mukadimah. Suntikan kedua, merangsang antibodi, tapi masih lemah di 14 hari setelahnya," jelasnya.

Baru setelah 90 hari pascapenyuntikan kedua, antibodi bisa mencapai maksimal. Benar saja, antibodi di tubuhnya mencapai 98 persen setelah diperiksa. Karenanya, menurut dia, tidak perlu kaget bila ada kasus terinfeksi Covid-19 pascavaksinasi sebelum 90 hari setelah suntikan kedua.

"Logika medisnya, mungkin antibodi ada tapi belum kuat atau belum muncul," paparnya.

Oleh karenanya, Emil menegaskan, bahwa meski sudah divaksin masyarakat tetap wajib mematuhi protocol kesehatan. Tidak boleh merasa paling kebal. Dalam kesempatan tersebut, mantan Wali Kota Bandung tersebut juga curhat soal proses vaksinasi di Jawa Barat. Menurutnya, pihaknya agak kesusahan untuk melacak siapa saja yang tidak melakukan vaksin di tahap pertama ini. Sebab, data masih terpusat. Ia hanya mengetahui jumlah petugas kesehatan yang harusnya divaksin namun tak memiliki datanya.

Sebagai contoh, ketika harus divaksin di hari tersebut 10 orang namun yang datang hanya lima orang. "Kami tidak tahu harus mencari ke mana yang tidak datang ini. karenanya, kami mohon kewenangan ini dapat didesentralisasikan," ungkapnya.

Dengan begitu, pihaknya pun bisa lebih cepat mengejar target vaksinasi 19 ribu petugas kesehatan di Jawa Barat. Mengingat, saat ini baru sekitar 4 ribuan yang sudah mendapat vaksin Covid-19 ini.

"Tapi ini memang bukan hanya yang tidak mau datang. Ada juga yang datang tapi tidak memenuhi syarat karena tekanan darahnya tinggi," jelas Emil.

Ia pun tengah menyiapkan upaya untuk optimalisasi peran puskesmas di Jawa Barat. Nantinya, bida data vaksinasi bisa didesentralisasikan maka puskemas yang akan mengatur. Kemudian, saat ini juga tengah dilakukan upaya pengalihan bagi mereka yang positif Covid-19 namun bergejala ringan akan dirawat di puskesmas. Dengan begitu, tidak menumpuk semua di rumah sakit.
"Rumah sakit hanya untuk yang bergejala sedang dan berat," ungkapnya.

Pihaknya juga tengah berupaya mencari solusi agar vaksinasi tidak hanya dilakukan di puskesmas mengingat kapasitas ruangan yang terbatas. Termasuk, akan memperbanyak vaksinator sehingga sebelum proses vaksinasi masal pada masyarakat umum seluruhnya sudah siap.

Dia berharap, vaksinasi segera dilaksanakan semua dengan baik. Sehingga, kegiatan perekonomian warga bisa kembali normal. Menristek Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro menyampaikan perkembangan terkini riset vaksin Merah Putih untuk penangan Covid-19. Seperti diketahui saat ini ada enam lembaga yang menjalankan pengembangan vaksin Covid-19. Masing-masing lembaga menunjukkan progres sendiri-sendiri.

Di antaranya perkembangan riset vaksin Covid-19 di lembaga molekuler Eijman saat ini pada tahap ekspresi protein di sel mamalia dan yeast atau ragi. Diperkirakan Maret depan bibit vaksin atau seed vaccine sudah dapat diberikan ke PT Bio Farma untuk uji klinik.

Sementara itu perkembangan vaksin Covid-19 di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya saat ini adalah konstruksi vector adenovirus dan receptor binding domain (RBD). Bambang mengatakan diperkirakan Februari 2021 baru dilakukan produksi synthetic adenovirus. Kemudian uji klinik dilakukan pertengahan tahun. Lalu produksi ditargetkan akhir tahun ini.

Riset vaksin Covid-19 juga dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM). Progresnnya sekarang adalah tahapan integrasi DNA sitentik ke dalam vector plasmid. Diperkirakan tahun ini dilakukan uji imunogenesitas pada hewan model mencit atau tikus.
Bambang menjelaskan riset vaksin Covid-19 di Indonesia tidak hanya dijalankan oleh lembaga yang beragam. ’’Platorm vaksinnya juga berbeda-beda,’’ katanya. Dengan demikian nantinya bisa ditemukan platform mana yang paling efektif. Selain itu bisa menjadi dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang vaksin. Sehingga ketika suatu saat kembali ada pandemi, Indonesia sudah memiliki dasar riset vaksin yang kuat.

Sebagai contoh riset vaksin Covid-19 di lembaga Eijkman menggunakan platform subunit protein rekombinan. Kemudian di LIPI berbasis protein rekombinan. Lalu di Universitas Indonesia (UI) platform yang dipilih cukup mutakhir yaitu DNA, mRNA, dan virus-like-particles. Kemudian di Unair riset vaksin Covid-19 menggunakan platform adenovirus dan adeno-associated virus. Lalu di Institut Teknologi Bandung (ITB) berbasis subunit protein rekombinan dan adenovirus vector. Lalu di UGM menggunakan platform subunit protein rekombinan.

Bambang menegaskan riset vaksin merah putih tidak hanya memenuhi kebutuhan jangka pendek yaitu ketersediaan vaksin Covid-19. Tetapi juga menciptakan riset vaksin fundamental dalam jangka panjang. Sebab arah penanganan kesehatan ked elan lebih pada prefentif ketimbang kuratif. ’’Maka vaksin menjadi instrument utama,’’ tuturnya.

Dia mengatakan saat ini pemerintah menjalankan double track terkait penyediaan vaksin Covid-19. Yaitu selain membeli vaksin yang sudah jadi, juga menjalankan riset sendiri. Bambang juga mengatakan vaksin Covid-19 yang sudah disuntikkan saat ini memiliki masa aktif di dalam tubuh manusia. Tidak aktif selama-lamanya. Sehingga tetap membutuhkan suntukan vaksin kembali suatu saat nanti.(lyn/mia/wan/jpg)

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook