RUU Kesehatan Dinilai Kotraproduktif terhadap BPJS

Nasional | Selasa, 21 Februari 2023 - 03:07 WIB

RUU Kesehatan Dinilai Kotraproduktif terhadap BPJS
Ketua Yayasan Perlindungan Sosial Indonesia Yatini Sulistyowati mengatakan, pihaknya menolak inisiatif DPR yang ingin mengubah draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. (DOK JAWAPOS.COM)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Ketua atau Yayasan Perlindungan Sosial Indonesia Yatini Sulistyowati mengatakan, pihaknya menolak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang ingin mengubah draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan.

Karena ia menduga DPR berusaha memangkas independensi dan kewenangan BPJS dengan memposisikan Direksi dan Dewan Pengawas kedua BPJS di bawah Menteri, dalam RUU Kesehatan yang sudah ditetapkan sebagai inisiatif DPR RI.


“Kehadiran draft RUU Kesehatan menjadi kontraproduktif bagi kedua BPJS untuk mengelola jaminan sosial dengan lebih baik lagi,” ujar Yatini dalam keterangan tertulisnya kepada JawaPos.com, Senin, (20/2/2023).

Pasal 7 ayat (2) RUU Kesehatan menyatakan, BPJS bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri yaitu melalui Menteri Kesehatan untuk BPJS Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan. Dan Pasal 13 ayat (2) huruf a, khusus bagi bagi BPJS Kesehatan wajib melaksanakan penugasan dari Kementerian Kesehatan.

Tidak hanya itu, proses penyampaian laporan pengawasan penyelenggaraan Jaminan Sosial sebagai bagian dari laporan BPJS kepada Presiden harus melalui menteri Kesehatan untuk BPJS Kesehatan dan melalui Menteri Ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan, dengan tembusan kepada DJSN. Ketentuan ini diatur di Pasal 22 ayat (2) huruf d RUU Kesehatan.

Proses pemilihan Direksi dan Dewan Pengawas kedua BPJS pun dalam kendali Menteri Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan, yang diberi kewenangan membentuk panitia seleksi bersama Menteri Keuangan atas persetujuan Presiden. Hal ini diatur dala Pasal 28 ayat (1) RUU Kesehatan.

Diketahui, pada UU BPJS, Direksi dan Dewas BPJS bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Dan Direksi maupun Dewas tidak bisa melaksanakan penugasan dari Menteri. BPJS berkewajiban melaporkan secara berkala enam bulan sekali langsung kepada Presiden, tanpa melalui Menteri, dengan tembusan kepada DJSN.

Kedua, BPJS mengelola dana masyarakat, bukan dana APBN/APBD, dan oleh karenanya pengelolaan dana masyarakat ini harus terhindar dari intervensi pihak lain seperti Menteri. Kalau pun ada dana APBN dan APBD yang dibayarkan ke BPJS, itu merupakan kewajiban Pemerintah Pusat dan Daerah untuk membayar iuran JKN bagi masyarakt miskin ke BPJS Kesehatan, kewajiban Pemerintah membayar iuran JKN bagi PNS, TNI dan Polri sebagai Pemberi Kerja bagi PNS, TNI, dan Polri.

“Itu semua amanat UU SJSN kepada Pemerintah, termasuk pembayaran iuran Jaminan Kehilangan Pekerja (JKP) kepada BPJS Ketenagakerjaan yang merupakan amanat UU Cipta Kerja,” ujarnya.

Dijelaskan Yatini, bila pengelolaan dana masyarakat dapat diintervensi oleh Menteri maka akan berpotensi merugikan masyarakat dan pekerja atau buruh, karena dana untuk membayar manfaat jaminan sosial akan terganggu.

“Status Badan Hukum Publik bagi BPJS harus dimaknai sebagai bentuk independensi BPJS dalam mengelola jaminan sosal, yaitu bertanggungjawab langsung ke Presiden, bukan bertanggungjawab melalui Menteri,” imbuhnya.

 

Sumber: Jawapos.com

Editor: Eedwar Yaman

 

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook