JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Desakan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) kasus Novel Baswedan kembali digaungkan. Itu setelah putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara terhadap dua pelaku penganiayaan Novel, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette dianggap tidak menjawab harapan publik.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan penyidikan yang dilakukan Polri terbukti gagal memenuhi keinginan masyarakat agar kasus Novel terungkap hingga aktor intelektual. Sebab, majelis hakim dalam pertimbangan putusan sama sekali tidak menyentuh dugaan keterlibatan aktor utama di balik kasus yang terjadi pada 11 April 2017 itu.
"Presiden harus segera membentuk tim gabungan pencari fakta untuk menyelidiki ulang kasus penyirama air keras ini," kata Kurnia, kemarin (19/7).
Desakan itu sejatinya sudah berkali-kali diserukan masyarakat sipil. Namun, sampai saat ini Jokowi belum memberikan respon positif atas pembentukan TGPF tersebut. Kurnia mengatakan Jokowi selaku kepala negara seharusnya bertanggungjawab karena membiarkan citra penegakan hukum dirusak oleh segelintir penegak hukum yang menangani perkara penyiraman air keras Novel. "Baik buruk penegakan hukum adalah langsung tanggung jawab Presiden yang akan terus tercatat dalam sejarah negara," ungkapnya.
Sementara itu, Novel menambahkan, proses persidangan yang banyak mendapat tanggapan miring sejumlah kalangan itu semakin menyuramkan masa depan pemberantasan korupsi. Khususnya dalam hal perlindungan penegak hukum yang bertugas memberantas korupsi.
"Karena kasus yang dijalankan di proses peradilan hanya kasus ini (perkara penyiraman air keras)," ujarnya.
Menurut Novel, masih banyak teror dan penyerangan yang menimpa pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang belum terungkap. Pun, tidak ada satu pun yang diusut secara hukum. "Upaya untuk mendesak pengungkapan atas serangan terhadap insan KPK selama ini tentu akan semakin sulit dilakukan," papar mantan perwira Polri ini.(tyo/jpg)