Dari pembahasan topik tersebut, para leaders pun menyepakati bahwa keadaan pandemi belum usai dan ekonomi dunia belum bangkit kembali. Mereka juga satu suara mengenai perlunya capaian vaksinasi Covid-19 hingga 40 persen pada akhir 2021 dan 70 persen pada pertengahan 2022 sebagai upaya penanganan pandemic. "Ini sebetulnya global strategi yang diberikan oleh WHO dan didukung para leaders G20," sambungnya. Kemudian, pentingnya menciptakan mekanisme dalam menghadapi pandemi yang mungkin terjadi di kemudian hari.
Selain itu, Presiden juga menjadi pembicara side event dukungan bagi UMKM dan bisnis milik perempuan. Selain presiden, PM Italia Mario Dragi, Ratu Maxima, dan Kanselir Jerman Angela Merkel turut menjadi pembicara dalam pertemuan tersebut. Jokowi sendiri menyampaikan, betapa pentingnya umkm dalam perekonomian Indonesia dan peran perempuan di dalamnya. Ia turut memaparkan sejumlah kebijakan yang menunjukkan keberpihakan pemerintah untuk UMKM dan memperkuat peran perempuan di dalamnya. Seperti Bank Wakaf mikro, KUR dan lainnya.
Di hari yang sama, Presiden juga mengikuti tiga pertemuan dengan pemimpin negara lain. Pertama, dengan PM Australia Scott Morisson. Salah satu topik yang dibahas ialah rencana pembukaan perbatasan kedua negara. Termasuk, kerja sama vaccinated traveling dan pengakuan sertifikasi vaksin.
Kedua, dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron. Di mana, kedua pemimpin negara berkomitmen meningkatkan Kerjasama ketahanan, digitalisasi dan ekonomi hijau. Terakhir, Jokowi bertemu dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Keduanya membahas mengenai kesiapan kunjungan Erdogan ke Indonesia dalam waktu dekat.
Sementara itu pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Teuku Rezasyah menyambut bahagia dengan penunjukan Indonesia sebagai Presidensi G20. "Saat ekonomi dunia dan Indonesia gonjang-ganjing, amanah ini diberikan oleh negara-negara G20 untuk Indonesia," katanya.
Rezasyah mengatakan biasanya peran penting sebagai keketuaan diberikan kepada negara-negara sesepuh di Eropa, Amerika, atau Tiongkok. Secara pasti dia tidak mengetahui bagaimana mekanisme penunjukkan Indonesia tersebut. Tetapi kemungkinan besar negara-negara lain di G20 tidak ingin disetir oleh Tiongkok. Apalagi saat ini perang dagang yang melibatkan tiongkok sedang dahsyat-dahsyatnya. "Sekarang siapa yang bisa dipercaya sebagai kekuatan sentral," tuturnya.
Tidak mungkin ke negara-negara sesama anggota NATO karena sudah memiliki blok sendiri. Begitupun ke Tiongkok juga tidak mungkin. Termasuk ke Jepang sekalipun, nanti Korea selatan ribut. Sehingga Indonesia merupakan alternatif terbaik karena konsisten sebagai negara non blok.
Meskipun begitu Rezasyah mengatakan jangan sampai kesempatan Presidensi G20 ini dianggap sebagai durian runtuh. Harus diikuti dengan kebijakan diplomatik yang luar biasa. Sehingga Indonesia benar-benar menjalan peran kuncinya. Harapan kepada negara-negara G20 itu sangat besar. Baik dari aspek pertumbuhan ekonomi, penyelesaian pandemi Covid-19, isu lingkungan hidup, dan lainnya. Dia berharap Indonesia bisa mencari hal-hal positif dari isu-itu tersebut untuk ditawarkan ke negara-negara lainnya. Misalnya di Australia memiliki keunggulan sistem pendidikan jarak jauh, maka ini bisa dibahas bersama dalam forum G20 nantinya.
"Intinya bagaimana ada take and give. Kumpul 20 negara besar, hendaknya Indonesia harus mampu menciptakan kondisi semua bersaing sehat," katanya.
Kemudian menciptakan konsep pemberian bantuan dengan stimulus dan terjangkau kepada negara-negara penerima. Jadi ada rasa saling ikhlas antara negara penyumbang dan penerima sumbangan. Rezasyah mengatakan Indonesia harus bisa mengajak negara-negara G20 untuk berbicara dengan rasa keadilan dan kerendahan hati. Dia optimis dengan perencanaan yang matang Indonesia bisa memimpin G20 dengan baik. Dalam memimpin G20 ini, Indonesia tidak sekadar berbicara soal 250 juta penduduknya. Tetapi Indonesia milik dunia.(wan/mia/jpg)