JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Perdana Menteri Belanda Mark Rutte meminta maaf kepada Indonesia atas kekerasan selama perang kemerdekaan Indonesia pada 1945-1949 silam. Pasalnya, setelah penyelidikan dilakukan, ia mengungkapkan bahwa terjadi kekerasan di masa pasca kemerdekaan Indonesia tersebut.
Negara Belanda meminta maaf terkait penerapan secara sistematis eksekusi di luar hukum selama masa itu. Ia menyebut adanya kekerasan ekstrem dari militer dan dinas intelijen Belanda dalam laporan tersebut telah mendapat sanksi di tingkat pemerintahan tertinggi, dengan semua pertimbangan tunduk pada tujuan mempertahankan koloni.
"Saya meminta maaf yang mendalam kepada rakyat Indonesia atas kekerasan ekstrem yang sistematis dan meluas oleh pihak Belanda pada tahun-tahun itu dan sikap yang terus-menerus diabaikan oleh kabinet-kabinet sebelumnya," kata Rutte setelah publikasi temuan penyelidikan, seperti dilansir dari The Guardian, Jumat (18/2).
Rutte mengatakan kesalahan itu bukan pada tentara secara individu, tetapi ke sistem pada saat itu. "Budaya yang berlaku adalah budaya berpaling, melalaikan, dan rasa superioritas kolonial yang salah tempat," katanya.
"Itu adalah realisasi yang menyakitkan, bahkan setelah bertahun-tahun," katanya.
Salah satu sejarawan yang terlibat dalam penelitian tersebut, Rémy Limpach, mengatakan bahwa sebagian penjelasan atas perilaku Belanda kadang-kadang disebut sebagai "pemerintahan teror". Namun, semua itu lemah dalam menghadapi taktik gerilya.
"Seringkali itu muncul dari perasaan tidak berdaya, frustrasi, perasaan bahwa Anda telah memunggungi tembok," kata Limpach. "Tidak mampu menangani konflik dengan cara militer biasa," tambahnya.
Penelitian yang didanai pemerintah, yang dilakukan selama 4,5 tahun, menawarkan perspektif yang menantang tentang periode sejarah yang masih mentah bagi banyak orang di Belanda, di mana catatan kolonial negara itu diperebutkan dengan sengit.
"Sumber menunjukkan bahwa penggunaan kekerasan ekstrem oleh angkatan bersenjata Belanda tidak hanya meluas tetapi sering juga disengaja," tulis peneliti Belanda dan Indonesia.
Alasannya adalah karena Belanda ingin mengalahkan Republik Indonesia yang telah mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 dengan cara apa pun.
Penelitian yang dilakukan oleh Institut Belanda tentang Studi Asia Tenggara dan Karibia; Institut Sejarah Militer Belanda; dan Institut Studi Perang, Holocaust, dan Genosida, itu akan diterbitkan dalam 14 buku, termasuk volume ringkasan, Beyond the Pale: Dutch Extreme Violence in the Indonesian War of Independence, 1945-1949.
Sebelumnya, Raja Belanda Willem-Alexander meminta maaf pada tahun 2020 atas kekerasan berlebihan yang menimpa Indonesia selama pemerintahan kolonial. Itu menjadi pengakuan penyesalan pertama sejak kemerdekaan Indonesia.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi