BADUNG (RIAUPOS.CO) - Bali Leaders Declarations resmi dilahirkan dalam gelaran KTT G20, Rabu (16/11). Kesepakatan itu sekaligus menandai berakhirnya KTT G20. Lahirnya leaders declaration patut diapresiasi. Hal itu membuktikan bahwa G20 di bawah Presidensi Indonesia sukses menghasilkan kesepakatan yang dinanti-nanti.
Presiden Joko Widodo menjelaskan, awalnya banyak pihak yang meragukan akan ada kesepakatan. Namun, tantangan itu dapat terjawab kemarin. "Kepemimpinan Indonesia telah berhasil menghasilkan deklarasi pemimpin G20 Bali declaration yang awalnya diragukan oleh banyak pihak," ujarnya pada konferensi pers di BICC, Nusa Dua, Rabu (16/11).
Jokowi melanjutkan, dalam deklarasi pemimpin G20 itu terdiri dari 52 paragraf. Ada pula paragraf yang menjadi perdebatan para anggota G20. Proses diskusi mengenai penyikapan perang di Ukraina disebutnya berlangsung sangat alot. Namun, para pemimpin akhirnya menyepakati isi deklarasi yakni condemnation (penghukuman) perang di Ukraina.
"Diskusi mengenai hal ini berlangsung sangat-sangat alot sekali dan akhirnya para pemimpin G20 menyepakati isi deklarasi. Yaitu, condemnation perang di Ukraina karena telah melanggar batas wilayah, melanggar integritas wilayah," kata dia.
Menurut dia, perang tersebut telah mengakibatkan penderitaan masyarakat. Perang juga memperberat ekonomi global yang masih rapuh akibat pandemi, sehingga menimbulkan risiko krisis pangan, energi, dan potensi krisis finansial. Oleh sebab itu, Jokowi menuturkan G20 membahas dampak perang terhadap kondisi perekonomian global.
Jokowi melanjutkan, KTT G20 di bawah Presidensi Indonesia melahirkan sejumlah hasil konkret. Pertama, telah disepakati terbentuknya pandemic fund atau dana cadangan pandemi yang terkumpul sebesar 1,5 miliar dolar AS. Kedua, pembentukan Resilience and Sustainability Trust (RST) oleh Dana Moneter Dunia (IMF) senilai 81,6 miliar dolar AS. Dana itu digunakan untuk membantu negara-negara dalam kelompok rentan menghadapi krisis.
Ketiga, melalui perhelatan KTT G20, Amerika Serikat dan lainnya sepakat menghimpun dana 20 miliar dolar AS melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk membantu Indonesia mencapai transisi energi.
Dana yang dihasilkan negara-negara maju G7+ ini dipimpin oleh Amerika Serikat dan Jepang. Pendanaan 10 miliar dolar AS untuk program itu berasal dari Internasional Partner Group (IPG) dan 10 miliar dolar AS dari The Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ).
Keempat, ada komitmen bersama negara-negara anggota G20 untuk mengurangi degradasi tanah sampai 50 persen secara sukarela. "Komitmen bersama sebesar 30 persen dari daratan dunia, 30 persen dari lautan dunia dilindungi di 2030," kata Jokowi.
Pada sesi penutupan KTT G20 yang digelar dua hari pada 15-16 November di Hotel The Apurva Kempinski, Jokowi mengaku merasa terhormat telah memimpin G20 selama setahun terakhir. "Presidensi kami dimulai dengan harapan untuk menyatukan niat bersama dalam mewujudkan pemulihan dunia yang inklusif dari pandemi," ujarnya.
Sebagai Presidensi G20, Indonesia telah mengupayakan berbagai solusi terbaik selama satu tahun kepemimpinan, terutama di tengah berbagai tantangan baru yang muncul. "Ini adalah deklarasi pertama yang dapat diwujudkan sejak Februari 2022. Saya menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua yang hadir yang telah memberikan fleksibilitasnya sehingga deklarasi dapat disepakati dan disahkan," jelas dia.
Sambil mengetok palu, Jokowi resmi menutup KTT G20. Dia menutup KTT G20 Bali dengan lima kali ketukan palu. Sambil bergandengan dengan PM India Narendra Modi, Jokowi menyerahkan tongkat estafet presidensi G20 kepada India.
Sikap IndonesiaSaat mendampingi Jokowi dalam konferensi pers, Menlu Retno Marsudi juga menjelaskan sikap Indonesia, terutama dalam kaitan politik bebas aktif yang dianut Indonesia. Retno menyebutkan, prinsip bebas aktif sering diartikan sebagai sikap netral semata-mata.
"Banyak yang melihat bebas aktif berarti netral. Saya rasa bebas aktif berarti kita bebas untuk menentukan posisi dan pendapat, dan aktif berarti kita secara aktif berkontribusi untuk mencapai perdamaian dunia," jelas dia.
Politik luar negeri Indonesia disebut Retno mengimplementasikan kebijakan berdasar prinsip yang termuat dalam Piagam PBB. Indonesia dipastikan selalu konsisten dan jelas dalam menyatakan sikapnya. Termasuk soal kedaulatan dan integritas teritorial setiap negara. "Indonesia sangat jelas dan konsisten," ujar Retno.
Retno melanjutkan, ada 361 bentuk kerja sama yang ada di dalam deklarasi KTT G20 Bali. Dia menceritakan, lahirnya leaders declaration melalui proses panjang yang tidak mudah, pihaknya melakukan negosiasi beberapa kali putaran.
"Dalam negosiasi itu kadang-kadang ada tingkat negosiator, begitu mandat mereka selesai, maka negosiator kita lapor. Ini mandatnya mentok, yang berarti harus dilakukan komunikasi di tingkat yang lebih tinggi. Maka di tanggal 10-14, saya banyak melakukan komunikasi dengan para Menlu G20," tutur dia.
Retno juga mengutip omongan Presiden Jokowi bahwa awalnya semua orang sempat pesimistis pada lahirnya kesepakatan. "Tidak ada yang yakin deklarasi dapat dihasilkan, tapi Indonesia bisa. Ini adalah bentuk trust, dan ini selalu menjadi warna Indonesia, yaitu mencoba menjembatani semua perbedaan, sejauh dan sedalam apa pun," kata Retno.
Komitmen Transisi Energi Menkeu Sri Mulyani Indrawati menambahkan, pada deklarasi itu, juga tertuang komitmen RI dalam mengembangkan Mekanisme Transisi Energi (Energy Transition Mechanism/ETM). Itu termuat pada paragraf ke-12.
Secara detail, poin ke-12 ini menegaskan kembali komitmen G20 untuk mencapai target SDG7 dan berupaya menutup celah dalam akses energi serta memberantas kemiskinan akibat keterbatasan energi.
Ani melanjutkan, awalnya, ada beberapa komitmen yang sulit disepakati. Karena ada beberapa negara anggota G20 yang merupakan produsen sumber energi fosil terbesar di dunia seperti Arab Saudi termasuk Indonesia. "Di dalam Nationally Determined Contribution (NDC) kita, sektor energi adalah penghasil CO2 terbesar dan paling mahal untuk mencapai keseimbangan," ujarnya.
Oleh sebab itu, mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu menyebut bahwa paragraf ke-12 pada leaders declaration G20 Bali diharapkan mampu menutup gap atau kesenjangan antara kelompok yang sulit mengakses energi terutama bagi negara miskin. "Energi hijau itu tidak hanya subsidi tapi juga pendanaan untuk memensiunkan coal (batu bara) dan investasi di renewable energy," jelas Menkeu.(dee/jpg)