JAKARTA (RIAUPOS.CO) - GUBERNUR Bank Indonesia (BI), Perry Wajiyo mengatakan, perlambatan perekonomian global kini berdampak luas. Bahkan, lebih tajam dibandingkan perkiraan dengan prediksi tingkat inflasi tinggi dan ancaman resesi yang menguat.
Ia menyebut, hal ini disebabkan outlook perekonomian yang dipengaruhi oleh krisis biaya hidup atau cost-of-living. Kemudian, pengetatan kondisi sektor keuangan di sebagian besar kawasan, konflik Rusia dengan Ukraina, serta dampak pandemi Covid-19 yang masih membebani.
Lebih lanjut, Perry Wajiyo memaparkan, ada tiga strategi utama yang perlu dilakukan untuk menghadapi ancaman resesi ekonomi global. Pertama, tantangan global yang dihadapi saat ini tidak dapat direspons dengan hanya satu instrumen kebijakan. "Sehingga perlu pengembangan kerangka Integrated Policy Framework (IPF) IMF bersama dengan kerangka Macro-financial Stability Frameworks (MFSF) BIS," paparnya dalam Pertemuan Tahunan International Monetary Fund dan World Bank (IMF-World Bank) di Washington DC, Amerika Serikat, Ahad(16/10).
Ia menjelaskan, dalam hal tersebut Indonesia telah melakukan implementasi bauran kebijakan moneter, fiskal, stabilitas nilai tukar, dan makroprudensial. Lalu, kedua kata Perry, pentingnya pengembangan digitalisasi keuangan.
Bank Indonesia telah mengembangkan digitalisasi sistem pembayaran diantaranya kesepakatan cross-border payment antara Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina, peluncuran Quick Response (QR) Code, dan Bank Indonesia Fast Payment (BI-FAST). "Ketiga, pentingnya penguatan jaring pengaman keuangan global untuk meningkatkan kapasitas pembiayaan dalam rangka membantu negara yang memerlukan melalui reformasi kuota di IMF," ujarnya.
Adapun IMF telah menyampaikan beberapa rekomendasi respons kebijakan kepada negara anggota, salah satunya kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas harga dan menjangkar inflasi ke depan.
Selain itu, IMF juga menyarankan untuk memberi prioritas pada kebijakan fiskal untuk melindungi kelompok vulnerable melalui bantuan jangka pendek. Targetnya untuk mengurangi beban biaya hidup.
Dengan terbatasnya likuiditas di sektor keuangan, lanjut Perry, kebijakan makroprudensial perlu dilakukan untuk menjaga terjadinya risiko sistemik. Perbaikan reformasi struktural juga perlu ditingkatkan agar produktivitas dan kapasitas ekonomi dapat meringankan hambatan pasokan dan mendukung kebijakan moneter dalam mengatasi inflasi.
Ia juga menilai, kebijakan untuk mempercepat transisi green energi dapatbermanfaat untuk keamanan energi dalam jangka panjang dan mengurangi biaya makroekonomi dari perubahan iklim. "Terakhir, kerja sama multilateral diperlukan untuk menghindari terjadinya fragmentasi global," jelasnya.(esi)
Laporan JPG, Jakarta