JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Bank Indonesia (BI) menurunkan proyeksi pertumbuhan perekonomian global. Hal itu seiring meningkatnya risiko stagflasi dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global. Meskipun demikian, bank sentral masih belum mempertahankan suku bunga acuan BI 7 day reverse repo rate (BI7DRR) di level 3,5 persen.
Gubernur BI Perry Warjiyo memperkirakan, perekonomian global akan tumbuh lebih rendah dari proyeksi sebelumnya. Tekanan inflasi global terus meningkat. Sejalan dengan tingginya harga komoditas akibat gangguan rantai pasokan imbas ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina yang terus berlangsung. "Ditambah meluasnya kebijakan proteksionisme, terutama pangan," ucapnya.
Berbagai negara, terutama Amerika Serikat (AS) merespons peningkatan inflasi dengan pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif. Sehingga menahan pemulihan ekonomi dan meningkatkan risiko stagflasi. Pertumbuhan ekonomi berbagai negara, seperti AS, Eropa, Jepang, Tiongkok, dan India diprakirakan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya.
Dengan perkembangan tersebut, BI menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2022. Dari proyeksi 3,5 persen menjadi sebesar 2,9 persen. "Sejalan dengan perkembangan tersebut, ketidakpastian pasar keuangan global tetap tinggi dan mengakibatkan terbatasnya aliran modal asing dan menekan nilai tukar di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia," kata lulusan Iowa State University tersebut.
Meski demikian, perbaikan ekonomi domestik diprakirakan terus berlanjut. Namun, dampak perlambatan ekonomi global perlu tetap diwaspadai. Perekonomian domestik pada kuartal II 2022 diprakirakan melanjutkan perbaikan ditopang oleh peningkatan konsumsi, investasi nonbangunan, serta kinerja ekspor yang lebih tinggi dari proyeksi awal.
Perry menyebut, berbagai indikator dini pada Juni 2022 dan hasil survei BI, seperti indeks keyakinan konsumen sebesar 128,2 atau tetap berada pada level optimis (indeks > 100), penjualan eceran, dan Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur yang menunjukkan proses pemulihan ekonomi domestik.
Dari sisi eksternal, kinerja ekspor lebih tinggi dari prakiraan sebelumnya. Khususnya pada komoditas batu bara, bijih logam, dan besi baja didukung oleh permintaan ekspor yang tetap kuat dan harga komoditas global yang masih tinggi.
Ke depan, perbaikan perekonomian domestik didukung oleh peningkatan mobilitas, sumber pembiayaan, dan aktivitas dunia usaha. Namun demikian, perlambatan ekonomi global dapat berpengaruh pada kinerja ekspor. Sedangkan, kenaikan inflasi dapat menahan konsumsi swasta. "Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi 2022 diprakirakan bisa ke bawah dalam kisaran proyeksi Bank Indonesia pada 4,5-5,3 persen," ungkapnya.
Nilai tukar rupiah, lanjut Perry, mengalami tekanan yang meningkat. Sampai Rabu (20/7), terdepresiasi 4,9 persen year-to-date (ytd) dibandingkan dengan level akhir 2021. "Relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti Malaysia 6,41 persen, India 7,07 persen, dan Thailand 8,88 persen," ucapnya.
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menuturkan, kebijakan BI untuk menahan suku bunga sesuai dengan prediksinya. Secara umum, ada beberapa pertimbangan yang didasari pada kondisi ekonomi terkini. Diantaranya, tingkat inflasi yang masih relatif terjaga, serta pertumbuhan yang kuat pada kurtaI I 2022.
"Selain itu, ada berkah dari harga komoditas yang dapat menjadi penyangga kondisi ekonomi," ujarnya, kemarin (21/7).(han/dee/esi)
Laporan JPG, Jakarta