JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker) yang diinisiasi pemerintah sudah diserahkan ke DPR. Bersamaan itu pula naskah yang beredar luas ke publik itu terus menuai polemik. Serikat buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak RUU omnibus law tersebut.
Presiden KSPI Said Iqbal menyampaikan pihaknya tidak mau duduk bersama pemerintah untuk membahas regulasi tersebut. Alasannya, RUU Ciptaker khususnya terkait klaster ketenagakerjaan sangat merugikan pihak pekerja.
"Kami tidak bertanggung jawab atas satu pasal pun dalam RUU ini," kata Said Iqbal kepada wartawan di Hotel Mega Proklamasi, Jakarta Pusat, kemarin (16/2). Menurutnya, apa yang dikhawatirkan buruh sudah terbukti dengan draf RUU Ciptaker yang diterima DPR. Said Iqbal menyebut sembilan alasan yang memicu penolakan atas omnibus law RUU Ciptaker. Di antaranya hilangnya upah minimum yang diganti per satuan waktu. "Ketika upah dibayarkan per jam, maka otomatis upah minimum hilang," jelasnya.
Dalam RUU Cipta Kerja, upah minimun hanya didasarkan pada upah minimum provinsi (UMP). Artinya, upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) akan hilang. Padahal UMP, sambung Iqbal, tidak dibutuhkan karena upah pekerja di kabupaten/kota mengacu pada UMK.
Dia memberi contoh Provinsi Jawa Barat (Jabar). UMP Jabar 2020 sebesar Rp 1,81 juta. Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan UMK di semua kabupaten/kota di Jawa Barat. Kabupaten Karawang, misalnya. UMK 2020 Karawang mencapai Rp4.594.324. Kota Bekasi Rp4.589.708 serta Kabupaten Bekasi sebesar Rp4.498.961. "Jika yang berlaku hanya UMP, maka upah pekerja di kabupaten/kota di Jabar akan turun drastis," bebernya.
Penolakan lain terkait longgarnya aturan pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada buruh. Dalam draf omnibus law RUU Cipta Kerja, poin tentang PHK diatur dalam pasal 150-152. Pasal (1) disebutkan, "Pemutusan hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh".
Bandingkan aturan PHK dalam UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam pasal 151 disebutkan "Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja". "Jadi jelas sekali, aturan PHK di UU Ketenagakerjaan sangat ketat. Sedangkan RUU Ciptaker sangat mudah mengobral PHK," jelas Iqbal.
Pihaknya juga menyorot terkait hilangnya pesangon korban PHK, outsourcing yang dibebaskan, pegawai kontrak seumur hidup, waktu kerja yang eksploitatif, tenaga kerja asing (TKA) unskill berpotensi bebas masuk Indonesia, hilangnya jaminan sosial dan hilangnya sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak memenuhi hak pekerja.
Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI Kahar S Cahyono menambahkan, hukum ketenagakerjaan harus mengandung tiga prinsip. Yaitu kepastian pekerjaan (job security), kepastian pendapatan (salary security) dan kepastian jaminan sosial (social security). Namun dalam RUU Cipta Kerja, ketiga unsur tersebut sama sekali tidak tercermin. "Tidak ada kepastian kerja, kepastian pendapatan dan jaminan sosial atas pekerja," paparnya.
KSPI akan mengawal ketat pembahasan RUU Ciptaker. Bahkan mereka mengancam untuk melakukan demonstrasi yang lebih besar dari aksi 20 Januari lalu. "Kami akan datang ke gedung DPR secara bergelombang dari seluruh daerah. Bukan tidak mungkin, buruh akan menghentikan produksi sampai DPR menghentikan pembahasan," ancamnya.
Terpisah, Wakil Presiden Ma’ruf Amin tidak mempersoalkan polemik di masyarakat butut sejumlah pasal yang dinilai merugikan tenaga kerja. "Saya kira memang harus keluar di publik," katanya di sela kunjungan kerja di komplek Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama, kemarin.
Ma'ruf mengatakan draf UU Ciptaker memang sebaiknya dibuka untuk publik. Sehingga masyarakat ikut menanggapi dan terlibat dalam proses pembahasannya di DPR nanti. Dia juga menegaskan pembahasan nanti terbuka. Ada sejumlah rapat dengar pendapat umum (RDPU) dalam pembahasan RUU Ciptaker.(mar/wan/jpg)