PEMDA DIMINTA INTERVENSI LONJAKAN INFLASI

Inflasi di Riau Mulai Terkendali

Nasional | Selasa, 13 September 2022 - 11:34 WIB

Inflasi di Riau Mulai Terkendali
GRAFIS (DOK RIAUPOS.CO)


(RIAUPOS.CO) - Kenaikan BBM beberapa waktu lalu diprediksi akan menyebabkan kenaikan inflasi Indonesia sebanyak 1,8 persen. Senin (12/9), Presiden Joko Widodo melakukan pembahasan penanganan inflasi bersama pemerintah daerah. Dia ingin agar pemerintah daerah turut dalam mencegah inflasi.

"Saya minta provinsi kabupaten dan kota itu juga ikut secara detil bersama-sama pemerintah pusat membantu yang terdampak karena kenaikan penyesuaian harga dari BBM ini," kata Jokowi dalam sambutannya.


Menurut data yang didapatnya, inflasi di Indonesia akan bertambah hingga 1,8 persen. Dia yakin jika ada kolaborasi pusat dan daerah, maka inflasi tetap terkendali. Riau sudah membuktikan dan inflasi di Riau mulai terkendali.

Bahkan, Riau tak lagi masuk dalam daftar 10 provinsi dengan inflasi tinggi. Sedangkan provinsi yang masuk 10 besar tersebut adalah Jambi 7,7 persen, Sumbar 7,1 persen, Kalteng 6,9 persen, Maluku 6,7 persen, Papua 6,5 persen , Bali 6,4 persen , Babel 6,4 persen, Aceh 6,3 persen, Sulteng 6,2 persen , dan Kepri 6 persen.

Sedangkan 10 kabupaten/kota yang mencatat laju inflasi tertinggi, yakni Luwuk (7,8 persen), Jambi (7,8 persen), Kotabaru (7,5 persen), Sampit (7,5 persen), Tanjung Selor (7,4 persen), Jayapura (7,4 persen), Sintang (7,4 persen), Bungo (7,2 persen), Padang (7,1 persen), dan Sibolga (6,9 persen).

Presiden juga menyentil beberapa pemda yang tercatat memiliki inflasi tinggi. "Ini sekali lagi hati-hati. Nanti kalau tidak diintervensi mulai ada kenaikan kemiskinan," ujarnya.

Pemerintah pusat melalui peraturan menteri dalam negeri dan menteri keuangan telah mengeluarkan aturan untuk penggunaan dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH) sebagai tambahan bantuan sosial dan biaya transportasi. Besarnya hingga 2 persen. Kebijakan itu diharapkan bisa menanggulangi dampak inflasi di masyarakat.

DAU dan DBH sebesar 2 persen memiliki nilai yang besar. Dia menjelaskan, per Senin (12/9), posisi 2 persen DAU itu senilai Rp2,17 triliun. Belum lagi ada anggaran belanja tidak terduga yang dianggarkan Rp16,4 triliun namun baru digunakan Rp6,5 triliun. "Artinya masih ada ruang yang sangat besar untuk menggunakan dana alokasi umum maupun belanja tidak terduga oleh provinsi, kabupaten, maupun kota," bebernya.

Jokowi menuturkan, subsidi biaya transportasi untuk bahan pangan cukup efektif kendalikan inflasi. Ini sudah dicobanya ketika menjadi Walikota Solo beberapa waktu lalu. Meski harga distribusi naik, jika pemerintah daerah mau menyubsidi maka harga di pasaran bisa lebih murah. "Kalau sebuah daerah terjadi kenaikan harga barang dan jasa dan kepala daerahnya diam saja, artinya dia tidak ngerti inflasi itu apa dan berakibat kepada rakyatnya itu apa," tuturnya.

Jokowi juga mengkritisi APBD yang baru digunakan 47 persen. Dia minta kepada seluruh gubernur, bupati, walikota agar tiga bulan kedepan dapat memanfaatkan APBD itu dengan baik. Sebab, kontribusi APBD terhadap pertumbuhan ekonomi cukup signifikan.

Jika pemerintah abai, maka inflasi tidak bisa dielakan. Sehingga angka kemiskinan bisa meningkat. "Begitu harga pangan naik, artinya di sebuah daerah kemiskinan juga akan terkerek ikut naik," ucapnya.

Pemprov Riau Siapkan Empat Langkah
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau menyiapkan empat langkah untuk mengendalikan inflasi di Riau. Empat langkah tersebut saat ini diklaim sudah mulai berdampak menurunkan inflasi di Riau.

Asisten II Setdaprov Riau, M Job Kurniawan mengatakan, empat hal yang dilakukan oleh Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) yakni pertama, memastikan jumlah pasokan ataupun ketersediaan pasokan bahan pokok. "Menjaga pasokan ini diperlukan kerja sama, bersama Bulog, BUMD, pelaku usaha yang ada di pasar. Jadi tidak bisa sendiri, harus bekerja sama," katanya.

Kedua, memastikan keterjangkauan harga. Sehingga harga yang dijual dapat terjangkau oleh masyarakat secara keseluruhan. Pihaknya juga memastikan, bahwa tidak ada yang mengambil keuntungan dengan menumpuk stok pasokan pangan.

Ketiga, memastikan kelancaran pendistribusian pasokan pangan antar daerah tidak terjadi kendala. "Keempat, yaitu melakukan komunikasi yang efektif. Seperti menyebar informasi yang tidak menimbulkan kepanikan bagi masyarakat. Bahwa terhadap kenaikan inflasi ini, Pemerintah tentu berupaya dengan melibatkan seluruh stakeholder terkait agar dapat menekan inflasi," ungkapnya.

Sementara itu, Gubenur Riau Syamsuar juga mengatakan, bahwa saat ini inflasi Riau sudah mulai terkendali. Di mana sebelumnya yang menyebabkan inflasi di Riau cukup tinggi yakni harga cabai merah. "Saat ini harga cabai merah sudah mulai turun, tapi gerakan untuk menanam cabai terus kami lakukan bersama dengan intansi terkait lainnya," katanya.

Selain cabai, demikian Gubri, bahan pokok lainnya yang dapat memicu inflasi saat ini yakni harga beras. Karena itu, saat ini pihaknya berusaha menjaga stok beras di Riau tetap aman. "Beras juga berpotensi memicu inflasi, karena itu kami berusaha jaga stoknya. Kalau sudah mulai berkurang, maka akan didatangkan dari daerah yang harganya cukup terjangkau," ujarnya.

Terpisah, Ekonom Indef Naiul Huda menuturkan, beban inflasi ke depan dipastikan bertambah. Hal itu dipicu kenaikan harga BBM subsidi yang diiringi dengan kenaikan tarif ojek online (ojol).

"Inflasi kita saat ini cukup tinggi di 4,69 persen (Agustus 2022). Adanya kenaikan BBM dan diikuti dengan kenaikan transportasi bisa mengerek inflasi jauh lebih tinggi lagi. Ini yang kita tidak mau," jelasnya.

Huda menyebut, sektor transportasi adalah penyumbang tertinggi kedua inflasi setelah kelompok makanan, minuman, dan tembakau. Dengan adanya kenaikan tarif ojol, tentu lonjakan inflasi tidak bisa dihindari. "Makanya waktu itu, kami minta hitung ulang tarif ojol. Makanya jadi 6-10 persen. Karena terkait dengan dampak inflasi yang bisa saja terjadi," ujarnya.

Berdasar kalkulasinya, jika kenaikan tarif ojol bisa memicu inflasi hingga 2 persen maka secara makro akan mengurangi PDB hingga Rp1,76 triliun. Selain itu juga bisa menurunkan upah tenaga kerja nasional secara riil turun 0,0094 persen. Juga bisa menurunkan pendapatan usaha 0,017 persen, serta potensi penurunan tenaga kerja 14.000 jiwa dan peningkatan penduduk miskin 0,14 persen.

Kemudian, jika kenaikan tarif ojol mendorong tambahan inflasi nasional hingga 0,5 persen, maka pengurangan PDB diproyeksi mencapai Rp436 miliar. Tidak hanya itu, upah tenaga kerja turun 0,0006 persen, potensi penurunan jumlah tenaga kerja hanya 869 jiwa dan kenaikan jumlah penduduk miskin juga relatif terbatas dengan 0,04 persen.

Oleh karena itu, dia menyebut ketika sebelumnya pemerintah berencana untuk menaikkan tarif ojek online sebesar 30-45 persen, berbagai kalangan dengan keras mengkritisi karena dikhawatirkan bisa menyebabkan kenaikan inflasi yang imbasnya merembet ke semua bidang."Makanya ketika isunya akan naik 30-45 persen, itu kita kritis sekali. Kita tidak mau ini terlalu tinggi sehingga menyebabkan inflasi kita tinggi dan efek dominonya kemana-mana. Makanya kita minta hitung ulang karena terkait dengan dampak inflasi yang bisa saja terjadi," katanya.(sol/lyn/dee/das)

Laporan JPG dan SOLEH SAPUTRA,  Jakarta dan Pekanbaru









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook