CERITA-CERITA DARI NEGARA YANG MEMINDAHKAN IBU KOTA

Warisan Rezim yang Jadi Kota Masa Depan

Nasional | Minggu, 12 Januari 2020 - 13:11 WIB

 Warisan Rezim yang Jadi Kota Masa Depan
BERSALJU: Masjid Hazret Sultan di Kota Nur-Sultan diselimuti salju. Nama masjid ini diambil dari pusara sufi Khoja Ahmed Yasavi di Turkistan. DOAN WIDHIANDONO/JPG

Banyak alasan yang mendasari pemindahan ibu kota. Tiap-tiap negara punya cerita. Kazakhstan, Malaysia, dan Indonesia punya perbedaan. Satu hal yang sama, mereka ingin ibu kota baru itu lebih baik daripada yang ditinggalkan.

(RIAUPOS.CO) -- "Astana; the heart of our country, the base of our independence." Nursultan Nazarbayev.


KUTIPAN dari mantan Presiden Kazakhstan Nursultan Nazarbayev itu terpampang dalam film-film pendek yang diputar secara rutin di Museum Nasional Republik Kazakhstan di Nur-Sultan. Ya, di Nur-Sultan itulah Nazarbayev menanamkan warisannya. Nur-Sultan, ibu kota Kazakhstan, itu sendiri adalah warisan Nazarbayev.

Sejarah mencatat, Kazakhstan mendeklarasikan diri lepas dari Uni Soviet pada 16 Desember 1991. Sejak saat itu Nazarbayev –yang sudah menjadi orang kuat mulai zaman Uni Soviet– memimpin negeri tersebut. Nazarbayev terus berkuasa hingga kembali terpilih pada Pemilu 26 April 2015. Seharusnya dia bertakhta sampai 2020. Namun, pada 20 Maret 2019, Nazarbayev mundur dari kekuasaan. Penggantinya adalah Kassym-Jomart Tokayev Kemelyevich.

Dalam pemerintahan panjangnya, tak bisa dimungkiri, pemindahan ibu kota dari Almaty ke Nur-Sultan adalah salah satu ”tetenger” kebijakan Nazarbayev. Dalam kondisi negara yang masih muda, Nazarbayev memutuskan pindah ibu kota. Meskipun, secara infrastruktur, Almaty yang terletak di kawasan selatan negeri tersebut masih cukup layak menjadi pusat pemerintahan.

Nazarbayev menuliskan alasan-alasan pemindahan itu ke dalam buku In the Heart of Eurasia. Buku yang terbit pada 2005 tersebut adalah tulisannya. Alasan-alasan pemindahan ibu kota tersebut juga ditayangkan di Museum Nasional Republik Kazakhstan. Setidaknya ada empat alasan yang membuat Nazarbayev memindah ibu kota.

Yang pertama, letak ibu kota baru itu ada di tengah-tengah negara. Nur-Sultan adalah sebuah equidistance. Jaraknya kira-kira sama dari tepi-tepi negara. ”Sangat bermanfaat secara ekonomi dalam hal merekayasa tugas-tugas atau membangun infrastruktur pasar,” tulis Nazarbayev di halaman 93 buku tersebut.

Alasan itu diamini Gulnur Seisenkulova, warga Kazakhstan yang bekerja sebagai staf Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Kazakhstan dan Tajikistan. ”Presiden kami ingin menyatukan negeri,” katanya.

Kala itu banyak warga Kazakhstan di utara yang hanya bisa berbahasa Rusia. Jika terlalu jauh dari pusat kekuasaan, yang dikhawatirkan adalah mereka membelot dan ikut Rusia. Terlebih, saat itu kondisi Kazakhstan yang merupakan negara baru masih rentan dari perpecahan.

Alasan kedua adalah kondisi ibu kota baru. Wilayah anyar tersebut cocok untuk membangun infrastruktur dengan arsitektur yang fleksibel. Proyek-proyek pembangunan di wilayah itu juga dirasa lebih ekonomis ketimbang daerah lain. Alasan itu terkait dengan alasan ketiga. Yakni, kota baru tersebut tidak membutuhkan biaya banyak atau rekonstruksi rumit pada kawasan kota yang sudah ada sebelumnya.

Ditilik dari segi geografis, ibu kota baru Kazakhstan memang ”enak” dipakai membangun. Wilayahnya benar-benar datar. Rata. Tidak bergunung-gunung. Tidak pula penuh lembah atau jurang. Sangat gampang ditata.

Nur-Sultan, seperti sebagian besar kondisi geografis Kazakhstan, adalah kawasan stepa. Padang rumput yang sangat luas. Tempat suku-suku nomaden dahulu kala berdiam dan berpindah-pindah mengikuti ternak dan buruan. Karena itu, cuaca Nur-Sultan sejatinya cukup ekstrem. Berbeda dengan Almaty di selatan yang lebih hangat.

Sebagai daerah padang rumput, Nur-Sultan adalah kawasan yang dingin dan berangin. Sejak menjadi ibu kota, kota itu langsung menjadi runner-up ibu kota terdingin di dunia menggeser Ottawa, Kanada. Yang menjadi jawara ibu kota terdingin masih Ulaanbaatar, Mongolia. Nur-Sultan mengalami musim dingin yang panjang, sekitar delapan bulan. Dengan suhu terendah bisa mencapai –35 derajat Celsius.

Alasan yang keempat, ibu kota anyar itu tidak berada di lokasi antah-berantah. Ia sudah memiliki infrastruktur transportasi yang sangat membantu pembangunannya ke depan. Di Hall of Astana, Museum Nasional Republik Kazakhstan, disebutkan, Almaty cukup riskan sebagai ibu kota.

Letaknya sangat ke selatan, dekat dengan perbatasan negara lain. Kalau ada serangan dari negara lain, Almaty bisa langsung kena. Lalu, Almaty yang terletak di kawasan pegunungan juga rawan gempa. Selain itu, pertumbuhan ekonominya dirasa sudah maksimal. Sudah mentok.

Nazarbayev benar-benar mengawal pembangunan dan pertumbuhan Astana, ibu kota anyar itu. Dia tak ingin kota baru tersebut gagal. Baik dari segi desainnya maupun dari sisi etos kerja staf pemerintahan yang dipindah ke kota baru itu. Saat memindahkan para pegawai negeri ke kota yang baru, Nazarbayev mengingatkan akan nilai penting pemindahan tersebut.

”Anda, sebagai pelayan publik, dengan sadar memutuskan untuk pindah. Saya harap, di ibu kota baru itu, Anda bisa menyadari dan menunjukkan potensi serta upaya kreatif-administratif secara maksimal. Jangan lupa bahwa Anda menjadi contoh,” tutur Nazarbayev yang juga diabadikan di museum.

Dan ibu kota baru tersebut tidak ditempati begitu saja. Ia didesain dengan cermat melalui kontes arsitektur berskala internasional. Sehingga Akmola yang kecil bisa menjadi Nur-Sultan yang futuristis.

Nur-Sultan Pengenang Jasa Presiden

Pada 6 Juli 1994, Dewan Tertinggi Republik Kazakhstan menerbitkan resolusi pemindahan ibu kota dari Almaty ke Akmola. Kota kecil di tepi Sungai Isil (Yessil) yang berada di tengah-tengah negeri. Resolusi itu dikuatkan lagi dengan dekrit presiden pada 15 September 1995 tentang pembentukan komisi negara yang bertanggung jawab membangun ibu kota baru. Lalu, pada 20 Oktober 1995, keluar pula dekrit presiden yang menyebutkan Akmola sebagai ibu kota anyar.

Pemindahan resmi ibu kota terjadi pada 10 Desember 1997. Pada 6 Mei 1998, nama Akmola diubah menjadi Astana. Dalam bahasa Kazakhs, astana berarti ibu kota. Kata itu dipilih bukan hanya untuk menghormati etnis Kazakhs, tetapi juga karena mudah diucapkan orang-orang dalam berbagai bahasa.

Astana lantas diperkenalkan secara resmi sebagai ibu kota secara internasional pada 10 Juni 1998. Setelah itu, Astana kembali berganti nama pada 23 Maret 2019. Kota itu berubah nama menjadi Nur-Sultan. Itu dilakukan untuk menghormati presiden yang telah memimpin negeri tersebut selama 28 tahun. Selain itu, nama tersebut menjadi tetenger bahwa ia tak akan pernah berkembang seperti ini kalau mantan Presiden Nursultan Nazarbayev tidak memindahkan pemerintahan dari Almaty.(*/c9/ayi/das)

Laporan DOAN WIDHIANDONO, Nur-Sultan

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook