JAKARTA, (RIAUPOS.CO) - Penyidik Polda Metro Jaya menaikkan status pemeriksaan kasus kebakaran Lapas Kelas I-A Tangerang dari penyelidikan ke penyidikan, kemarin (10/9). Dari gelar perkara, diduga ada unsur pidana dalam kejadian yang berujung tewasnya 44 narapidana tersebut meski belum ada penetapan tersangka.
Menurut Kabidhumas Polda Metro Jaya Kombespol Yusri Yunus, keputusan menaikkan status pemeriksaan itu ditetapkan penyidik dari hasil gelar perkara pada Kamis (9/9) malam. "Kemarin saya sudah sampaikan ada dugaan pidana di sini. Di pasal 187 KUHP, 118 juncto pasal 359 KUHP (tentang) kealpaan, kelalaian," tuturnya.
Dia mengatakan, kepolisian sudah memeriksa 22 saksi. Selain dari unsur warga binaan, ada petugas lapas serta para pendamping warga binaan. Yusri menegaskan, diharapkan dalam waktu dekat unsur pidana dalam kebakaran itu bisa terbuka. Kemudian dapat diketahui secara pasti penyebab kebakaran tersebut.
Sementara itu, kemarin diumumkan empat nama korban tewas dalam insiden tersebut yang berhasil diidentifikasi. Mereka adalah Alfin bin Marsum (23), Kusnadi bin Rauf (44), Bustanil Arifin bin Arwani (50), dan Dian Adi Priyana (44). Dengan begitu, total sudah ada lima korban yang diidentifikasi.
Karopenmas Divhumas Mabes Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono mengatakan, tim DVI telah menerima data antemortem dari 35 keluarga korban. Masih ada lima keluarga yang belum menyerahkan data serupa. Perinciannya, dua keluarga korban WNA dan sisanya warga Indonesia, tetapi tinggal di luar Jakarta.
"Tentunya tim mengimbau keluarga yang belum hadir untuk segera menyerahkan datanya," katanya.
Untuk dua keluarga korban WNA, Rusdi mengatakan bahwa sudah ada data yang dikirim dari luar negeri. Dengan demikian, keluarga tidak harus datang ke Indonesia.
Napi Kasus Narkotika
Terpisah, pernyataan Menkum HAM Yasonna Laoly soal UU Narkotika yang jadi biang kerok overload lapas diamini Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Karena itu, Yasonna didorong untuk segera bertindak agar segera mengatasi masalah tersebut, baik dengan mempercepat proses revisi UU Narkotika ataupun tindakan lainnya.
Peneliti ICJR Maidina Rahmawati menyebutkan, ada empat kebijakan yang dapat dilakukan. Pertama, amnesti atau grasi massal. Pada November 2019, lanjut dia, Yasonna pernah memberikan gagasan melakukan amnesti massal bagi pengguna narkotika. Itu dimaksudkan untuk mengatasi overcrowding di penjara dengan catatan, sejalan dengan pendekatan kesehatan.
Dari keseluruhan korban tewas kebakaran di Lapas Tangerang, hampir semuanya adalah napi kasus narkotika. Menurut Maidina, kesalahan mendasar pada UU Narkotika ialah pengguna narkotika sering dijerat pasal penguasaan, pembelian, dan kepemilikan yang seharusnya hanya untuk peredaran gelap.
Seharusnya, lanjut dia, kasus mereka dinilai kondisi penggunaan narkotikanya dan mesti dikaji latar belakang kasusnya. Apabila ada indikasi penggunaan dan atau kepemilikan narkotika untuk kepentingan pribadi, mereka harus segera dikeluarkan dari lapas.
Terhadap pengguna narkotika yang mengalami ketergantungan, mereka harus diberi hak rehabilitasi dengan pendekatan kesehatan, bukan penghukuman. Sebagai catatan, rehabilitasi tidak mesti berbasis kelembagaan dengan penempatan di lembaga. Tapi, bisa berbasis komunitas dan rawat jalan sesuai dengan penilaian kesehatan. "Ini juga bisa menghemat biaya negara," katanya.
Kedua, pengarusutamaan penggunaan pidana bersyarat dengan masa percobaan bagi pengguna narkotika, baik yang memerlukan rehabilitasi maupun tidak. Lalu, jaksa dan hakim dapat juga memberikan tuntutan dan putusan pidana bersyarat dengan masa percobaan seperti amanat KUHP. Dengan begitu, pidana penjara tidak perlu dijalani. Hukuman penjara bisa diubah dengan syarat pembimbingan dan pengawasan oleh jaksa berkoordinasi dengan badan pemasyarakatan (bapas).
"Ketiga, segera revisi PP No 99 Tahun 2012," tegasnya.
Keempat, percepat revisi UU Narkotika dengan menjamin adanya perlindungan dan pendekatan kesehatan bagi penggunaan narkotika. Dia mengatakan, cara paling tepat untuk menangani pengguna, terlebih pecandu, narkotika adalah dengan dekriminalisasi. Yakni, penghapusan sanksi pidana terhadap suatu perbuatan, dalam hal ini penggunaan dan penguasaan narkotika untuk kepentingan pribadi.
"Hampir tujuh tahun menjabat menteri hukum dan HAM, mestinya tidak ada alasan kebijakan berikut tidak bisa didorong untuk diimplementasikan dengan segera," tuturnya.
Belum Diasuransikan
Sementara itu, Kemenkeu menyebut Lapas Kelas 1-A Tangerang yang terbakar belum diasuransikan. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kemenkeu menyatakan, nilai aset kompleks lapas itu mencapai Rp48 miliar.
"Sayangnya lapas itu belum diasuransikan, maka kami berkoordinasi dengan Kemenkum HAM begitu kebakaran, di sana ada aset," ujar Direktur Barang Milik Negara DJKN Kemenkeu Encep Sudarwan dalam konferensi pers, kemarin (10/9).
Bagian lapas yang terbakar, yakni blok C-2, juga belum diasuransikan. Encep memperkirakan nilai aset berupa lapas yang terbakar itu mencapai Rp1,5 miliar.
"Sekitar Rp1,5 miliar, ditambah mesin Rp75 juta, ya sekitar Rp1,5 miliar. Tapi, sedang pengecekan, belum final," jelasnya.
Encep menyebutkan, Kemenkeu dan Kemenkum HAM saat ini sedang mempersiapkan penyediaan lahan baru untuk pembangunan kembali lapas di Tangerang yang mengalami kebakaran. Itu juga sejalan dengan arahan Menko Polhukam Mahfud MD yang menyebut akan membangun lapas di lokasi tanah aset BLBI. Tentang di mana lokasi lahan pembangunan lapas, hingga kini masih dilakukan pembahasan dan asesmen. (wan/mia/dee/deb/dom/c7/ttg/jpg)