Jakarta (RIAUPOS.CO) -- Kenaikan iuran BPJS Kesehatan sampai 100 persen mendapat kritik keras kalangan oposisi di parlemen. Ketua Fraksi PAN Hanafi Rais menyampaikan kenaikan iuran tersebut seharusnya bisa dihindari. Langkah pemerintah dinilai sebagai solusi jangka pendek yang membebani masyarakat. “Itu namanya sangat pragmatis,” kata Hanafi Rais.
Padahal di sisi lain, tambah dia, pemerintah selalu mengklaim ada peningkatan perbaikan ekonomi. Dengan begitu seharusnya kenaikan iuran BPJS bisa dihindari. Sebab pemerintah punya solusi lain dari sumber-sumber pendapatan negara. “Kita berharap solusi yang lebih kreatif dari pemerintah tanpa memberatkan publik,” imbuh Hanafi Rais.
Sekretaris Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay menambahkan seharusnya ada opsi lain selain menaikkan iuran. Menurutnya, ada dua solusi konkret yang bisa ditempuh pemerintah. Pertama, mengaudit data potensi ganda dalam kepesertaan BPJS Kesehatan.
Berdasar data Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), beber Saleh, potensi data ganda mencapai 27,4 juta orang. “Pemerintah harus lakukan cleansing data. Dari dulu DPR sdh bicara, tetapi proses ini tidak selesai juta,” tegasnya.
Pihaknya meminta BPJS melakukan penelusuran pendataan secara serius. Sebab data ganda cukup berdampak pada besaran dana kapitasi yang rutin dibayar pemerintah ke fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP).
Dana kapitasi untuk puskesmas milik pemerintah sebesar Rp6 ribu per orang per bulan. Adapun biaya kerjasama dengan klinik swasta mencapai Rp10 ribu per orang per bulan. Nah jika dikali 27,4 juta data ganda, maka potensi kebocoran mencapai Rp164,4 miliar hingga Rp274 miliar per bulan. “Nilai itu kan lumayan bisa kita hemat,” ujar Saleh.
Langkah kedua, tambah dia, dengan memangkas potensi kecurangan dalam penyelenggaraan BPJS Kesehatan. Baik oleh pihak rumah sakit atau fasilitas kesehatan (faskes) maupun masyarakat sebagai peserta. “Fraud (kecurangan, Red) ada di semua sisi, padahal prinsip BPJS kan gotong-royong,” ujarnya.
Kecurangan oleh faskes, misalnya. Pelayanan yang diberikan ke pasien hanya berupa satu diagnosa penyakit saja. Namun dalam klaim laporannya, lebih dari satu diagnosa. Atau pemberian obat ke pasien dimanipulasi. Ini menyebabkan biaya yang harus dibayar pemerintah ke faskes menjadi membengkak. “Yang seperti ini apakah pemerintah dan BPJS tahu, mereka tahu kok. Karena ini juga pernah diungkap saat rapat dengan DPR,” paparnya.
Kritik serupa juga disampaikan PKS anggota Fraksi PKS Netty Prasetiyani menilai, kenaikan iuran BPJS Kesehatan sampai 100 persen adalah cermin pemerintah yang malas mencari solusi alternatif. “Pemerintah seperti mencari jalan pintas,” katanya.
Dia bilang, menaikkan iuran BPJS tanpa diikuti pembenahan dan verifikasi data kepesertaan tidak akan banyak berarti. Selama 10 tahun menjadi ketua tim penggerak PKK Provinsi Jawa Barat (Jabar), Netty banyak menerima pengaduan. Banyak rakyat yang tidak bisa mendapat pelayanan BPJS Kesehatan dengan baik.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto memang berencana untuk memberikan subsidi bagi peserta mandiri BPJS Kesehatan kelas 3 golongan bukan penerima upah dan bukan pekerja. Hal ini mendapat berbagai tanggapan. Pasalnya, berkaitan dengan besaran subsidi yang mencapai Rp 3,9 triliun untuk 19.914.743 peserta. Dikhawatirkan langkah tersebut membebani APBN.
Menko PMK Agendakan Pembahasan Antarmenteri
Di sisi lain, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy sudah mengagendakan pertemuan tingkat menteri guna membahas masalah subsidi. Rencananya, ia akan duduk bersama para menteri pekan depan. ”Segera. Pak Deputi sudah saya instruksikan untuk undang,” ujarnya.
Dalam rapat nanti, akan turut dibahas soal cleansing data peserta seperti komitmen pemerintah pada DPR sebelumnya. Ada enam juta penerima bantuan iuran (PBI) yang identitasnya tidak dikenali. Enam juta tersebut akan dikeluarkan dan diganti dengan angka yang sama.
”Nanti kita ganti dengan yang teridentifikasi dengan baik,”katanya. Kemudian, jika mereka belum punya NIK maka pemerintah akan minta daerah untuk memastikan bahwa yang bersangkutan ialah penduduknya. “Dan harus dibuktikan dengan NIK,” sambungnya.
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu menegaskan, cleansing data ini penting. Tujuannya, memastikan penggunaan dana pemerintah untuk PBI tepat sasaran. “Kalau datanya abal abal berarti kan kita bisa meragukan kalau bahwa itu tepat sasaran atau tidak,” tuturnya.
Saat ini, cleansing data dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan telah rampung. Data selanjutnya akan dikoordinasikan dengan Kementerian Sosial (Kemensos). “Karena yang punya basis data,” ujarnya.(mar/mia/dee/lyn/jpg)