JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyatakan terdapat potensi penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) yang akan bergantung pada pergerakan harga di tingkat global.
harga minyak membaik ya in sya Allah," katanya di Hotel Ayana MidPlaza, Jakarta, Jumat (9/9).
Arifin pun meminta agar masyarakat dapat berhemat dalam mengonsumsi energi selain untuk mengontrol volume BBM juga sekaligus mengurangi polusi udara.
"Tolong diminta semua masyarakat coba bisa tidak kita coba dengan kesadaran menghemat. Yang biasanya keluar bensin tiga liter bisa tidak dua liter saja. Ya mengurangi menghirup udara polusi CO2," jelasnya.
Terkait rencana pembatasan pembelian BBM bersubsidi, Arifin menuturkan hal tersebut saat ini masih dalam pembahasan dan pendalaman oleh pemerintah. "Sekarang sedang dibahas karena ada beberapa opsi. Kan pertimbangannya dalam, kita juga mengidentifikasi. Harus teliti," tegasnya.
Arifin pun menjelaskan pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM karena harga Indonesian Crude Price (ICP) di tingkat global mengalami kenaikan sedangkan konsumsi masyarakat semakin meningkat.
Awalnya pemerintah mengalokasikan Rp502,4 triliun untuk memberi subsidi pada harga BBM dengan asumsi volume konsumsi untuk solar sebanyak 15 juta kiloliter dan pertalite 23 juta kiloliter hingga akhir tahun. Di sisi lain, konsumsi masyarakat semakin meningkat di tengah harga ICP yang naik dengan prediksi volume konsumsi terhadap solar hingga akhir tahun mencapai 17 juta kiloliter, sedangkan pertalite 29 juta kiloliter.
Oleh sebab itu, pemerintah menaikkan harga BBM mengingat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sudah sangat berat jika harus menambah alokasi subsidi energi dari Rp502,4 triliun menjadi hampir Rp700 triliun. "Itu bisa tembus Rp 700 triliun (subsidi dari pemerintah)," ujarnya.
Meski demikian, pemerintah tetap mendukung daya beli masyarakat dengan merealokasi anggaran yang seharusnya merupakan subsidi energi sebesar Rp 24,17 triliun menjadi bantuan sosial.
Kenaikan harga BBM ini diproyeksikan pelaku usaha berpengaruh pada berkurangnya minat konsumsi masyarakat. Pemerintah pun diminta mempertimbangkan langkah mitigasi agar inflasi dan daya beli dapat terjaga. "Masyarakat akan menahan belanja atau menunda konsumsi. Ditambah lagi, ada inflasi," ujar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey.
Padahal, lanjut Roy, kontribusi konsumsi rumah tangga paling tinggi bagi PDB (produk domestik bruto), yakni di atas 50 persen. Karena itu, dia menuturkan bahwa ada tiga poin penting yang mesti diperhatikan ketika pemerintah menaikkan harga jual BBM, khususnya pertalite.
Pertama, kebijakan yang tepat dengan melakukan mitigasi untuk menciptakan penduduk yang mampu secara daya beli guna mengimbangi harga jual BBM. "Hal ini dapat dimulai dengan pembukaan lapangan kerja seluas-luasnya sehingga menghindari ketidakmampuan masyarakat," katanya.
Kedua, program substitusi dari konsumsi harus digalakkan. Sebab, kondisi ini membuat ketergantungan bagi suatu bahan pokok seperti gandum yang harganya melambung sejak inflasi. "Dengan adanya substitusi, konsumsi dapat terus terjaga," ungkapnya.
Ketiga, lanjut Roy, naiknya harga BBM harus memberikan kompensasi yang berkelanjutan. Misalnya, bantuan langsung tunai, bantuan program keluarga harapan, ataupun dana desa. Upaya itu dilakukan untuk menjaga daya beli masyarakat Indonesia yang lebih dari 50 persen merupakan kelas menengah ke bawah. "Meski inflasi ini terjadi secara global, kemampuan dari setiap negara tidak dapat disamaratakan," jelasnya.
Ketua Komite Analisis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani mengungkapkan, ada dua efek kenaikan harga BBM yang perlu dimitigasi dengan baik oleh pemerintah. "Efek pertama adalah tertekannya daya beli dan tingkat konsumsi oleh masyarakat. Sebab, pertumbuhan ekonomi secara signifikan ditopang konsumsi masyarakat," terangnya.
Menurut dia, pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun ini mencapai 5,44 persen dan diproyeksikan pemerintah bisa konsisten di atas 5 persen secara agregat pada akhir 2022. "Untuk mencapainya, daya beli dan konsumsi masyarakat harus terjaga dengan baik," tuturnya.
Hal kedua yang menjadi potensi masalah adalah tingkat inflasi. Data inflasi pada kuartal kedua sebenarnya sudah cukup mengkhawatirkan karena menyentuh angka 4,94 persen. Di sisi lain, proyeksi pemerintah, inflasi hanya berkisar 3 persen sampai akhir tahun. "Karena inflasi ini secara langsung akan menjadi pengurang tingkat kesejahteraan masyarakat. Sebuah capaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menjadi tidak bermakna ketika inflasi juga tidak terkontrol," paparnya.
Ajib menambahkan, naiknya harga BBM berdampak pada terkereknya harga pokok produksi (HPP). Secara langsung, harga akhir barang atau jasa terpengaruh. Akibatnya, harga di tingkat konsumen akhir atau masyarakat akan mengalami kenaikan.
"Dalam konteks psikologi pasar, masyarakat yang terbebani konsumsi karena kenaikan harga-harga juga akan menaikkan harga produksinya walau tidak ada efek secara langsung atas kenaikan HPP-nya," tandasnya.(agf/c14/dio/jpg)