JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Naiknya harga tiket dan bagasi berbayar menekan pertumbuhan industri pariwisata. Misalnya dampak ke usaha menengah kecil dan mikro (UMKM) yang menjajakan oleh-oleh dan hotel. Melihat berbagai dampak akibat kenaikan harga dan bagasi berbayar, Direktorat Jenderal perhubungan Udara pun mengkaji ulang peraturan menteri tentang aviasi tersebut.
Peneliti INDEF Bhima Yudhistira mengatakan, okupasi hotel bintang satu hingga akhir tahun 2018 hanya 44 persen. Industi pariwisata menjadi salah satu tumpuan ekonomi masyarakat di daerah wisata. Pemerintah tengah gencar mempromosikan sepuluh destinasi wisata Bali baru. “Itu akan berdampak pada wisatawan lokal maupun asing,” jelasnya, Sabtu (9/2) di Cikini, Jakarta Pusat.
Bhima mengatakan, akar permasalahannya ada pada biaya avtur dan nilai tukar rupiah. Biaya avtur ini kan permintaan besarnya Pertamina, sehingga pemerintah bisa meregulasi Pertamina. Dalam jangka panjang, infrastruktur untuk avtur harus dibangun khususnya di daerah luar Jawa.
Akar masalahnya yakni, infrastruktur penyaluran avtur yang tidak efisien, sehingga harganya di Indonesia jauh lebih mahal dari Singapura dan Malaysia. “Yang bikin mahal salah satunya karena infrastruktur,” paparnya.
Para millenial akan mengurangi jalan-jalan jika harga tiket tinggi dan akan berdampak pada pariwisata nasional. “Kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan lokal pasti akan turun,” paparnya.
Dalam jangka panjang menurut Bhima akan berdampak pada inflasi. Komponen harga tiket masuk sebagai penyumbang inflasi nomor enam tertinggi selama tahun 2018. Sementara di tahun sebelumnya berada di posisi 16 tertinggi penyumbang inflasi.
“Apalagi pemerintah mulai mengandalkan wisatawan domestik setelah wisatawan mancanegara berkurang akibat bencana alam,” ungkapnya.
Mantan KSAU dan Pengamat Penerbangan Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim mengatakan, Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia (Depanri) perlu diaktifkan kembali untuk menyelesaikan sengkarut transportasi udara.
Belakangan ini konsumen mengeluhkan tarif tiket yang mahal dan penerapan bagasi berbayar. Sementara perusahaan penerbangan mengeluhkan mahalnya harga avtur. Hal ini bisa memberikan dampak negatif pada perekonomian. Lebih lanjut dirinya menerangkan untuk mengelola penerbangan tidak cukup dengan satu institusi, karena dampaknya besar.
Dewan penerbangan tidak hanya mengurusi dan mengevaluasi harga tiket pesawat dan tarif bagasi tetapi juga membahas hal lainnya seperti strategi ekonomi ke depan. “Jika kebijakan strategis tidak mendapatkan masukan yang tepat aviation yang complicated itu, bisa terjadi kebijkaan-kebijakan itu menimbulkan banyak masalah di bawah,” terangnya.
Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Polana B Pramesti menyatakan, bahwa pelaksanaan penerapan tarif angkutan udara kelas ekonomi dan pelaksanaan bagasi berbayar untuk kelompok pelayanan no frills (tanpa tambahan layanan) telah memenuhi peraturan dan ketentuan yang berlaku.
Masalahnya, masyarakat masih belum tersosialisasi dengan baik sehingga menimbulkan gejolak pada saat penyelenggaraannya. Menurutnya, maskapai harus menjabarkan komponen tarif, kelompok pelayanan, ketentuan bagasi dan komponen biaya angkutan udara secara transparan kepada masyarakat.
“Sebelum diterapkan, ketentuan-ketentuan tersebut sangat perlu disosialisasikan. Hal ini untuk menghindari dampak psikologis berupa keluhan dari masyarakat,” tuturnya.
Polana menambahkan, bahwa pihaknya saat ini tengah meninjau ulang beberapa peraturan menteri terkait tarif dan bagasi berbayar tersebut. Peraturan pertama adalah PM 185 tahun 2015 yakni ketentuan bagasi berbayar berkaitan periode permohonan, periode sosialisasi, dan periode evaluasi.
Sedangkan peraturan kedua adalah PM 14 tahun 2016 terkait dengan formulasi dan perhitungan tarif batas atas dan batas bawah angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi serta pengaturan tarif sesuai kelompok pelayanan.
”Kita ingin semuanya win-win solution, dengan tetap mengutamakan keselamatan sebagai core business penerbangan,” ujar Polana.(nis/lyn/jpg)