JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD akhirnya buka suara terkait dengan usulan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Kepada awak media di Jakarta, Mahfud menyampaikan bahwa sampai saat ini pemerintah tidak pernah membahas usulan tersebut. Yang menjadi fokus pemerintah justru persiapan pemilu serentak 2024 mendatang.
Mahfud mengungkapkan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah dua kali memimpin rapat kabinet yang membahas pemilu serentak. Rapat kabinet pertama dilaksanakan pada 14 September 2021 dan rapat kedua dilakukan pada 27 September 2021. Dalam rapat tersebut, Jokowi memerintahkan supaya Kemenko Polhukam, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Badan Intelijen Negara (BIN) mempersiapkan pemilu serentak dengan matang.
Salah satu perintah presiden dalam rapat itu adalah memastikan pemilu serentak 2024 berjalan aman, lancar, dan tidak terlalu boros anggaran. Kemudian, presiden juga meminta jarak antara masa kampanye dengan pemungutan suara dan hari pelantikan tidak terlalu lama. "Maksudnya agar naiknya suhu politik menjelang kabinet baru tidak terlalu lama berlangsung," terang Mahfud.
Lebih lanjut, presiden juga meminta menko polhukam, mendagri, dan kepala BIN untuk berkoordinasi dengan para penyelenggara pemilu. Mulai Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). "Untuk menentukan jadwal pemilu," jelas dia.
Kemenko Polhukam lantas melaksanakan rapat dengan sejumlah pimpinan kementerian dan lembaga terkait pada 17 September 2021 dan 23 September 2021. "Pemerintah mengusulkan pemungutan suara pada 8 atau 15 Mei 2024," ujarnya. Usul itu disetujui dalam rapat kabinet yang dipimpin oleh Presiden pada 27 September 2021.
Namun demikian, usulan tersebut tidak mendapat persetujuan dari KPU dan DPR. Dalam rapat kerja pada 6 Oktober 2021 meminta alternatif waktu pelaksanaan pemilu. "Oleh sebab itu, Presiden berkomunikasi langsung dengan KPU di Istana Merdeka pada 11 Nov 2021," jelas dia. Dalam kesempatan itu, Presiden menyetujui supaya pemungutan suara pemilu serentak 2024 dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Tanggal itu sesuai dengan usulan yang telah disampaikan oleh KPU dan DPR. Persetujuan tersebut lantas disahkan dalam rapat di DPR pada 24 Januari 2022 lalu.
Usai mendapat kepastian tanggal pelaksanaan pemungutan suara, lanjut Mahfud, Presiden Jokowi kembali meminta dirinya untuk menyiapkan semua instrumen yang diperlukan. "Menyiapkan pemilu dan pilkada 2024 serentak," jelas dia.
Melalui penjelasan tersebut, Mahfud ingin menegaskan bahwa pemerintah di bawah komando Presiden Jokowi tidak pernah membahas usulan penundaan pemilu apalagi perpanjangan masa jabatan presiden. "Sikap Presiden sudah jelas tentang jadwal penyelenggaraan pemilu 2024," tegasnya.
Karena itu, Mahfud berharap tidak ada lagi yang mendesak-desak hal lain di luar urusan pemerintah. "Di tubuh pemerintah sendiri, sampai sekarang tidak pernah ada pembahasan tentang penundaan pemilu maupun penambahan masa jabatan presiden dan wapres," ungkap pejabat yang pernah bertugas sebagai ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu. "Baik untuk menjadi tiga periode maupun untuk memperpanjang satu atau dua tahun, tidak ada (pembahasan) di pemerintah," sambungnya.
Terpisah, Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid meminta Presiden Joko Widodo benar-benar berkomitmen untuk taat kepada konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana diucapkan saat pengambilan sumpah sebagai pesiden terpilih.
Menurut dia, penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden jelas akan menabrak Pasal 9 UUD NRI 1945. Selain itu, kata Hidayat, usulan penundaan pemilu juga tidak sesuai dengan keputusan bersama KPU, Bawaslu, pemerintah, Komisi II DPR, dan DPD yang memutuskan bahwa pemilu akan diselenggarakan pada 14 Februari 2024.
Jadi, tidak ada opsi penundaan pemilu. Dia berharap semua spekulasi kontraproduktif itu dapat dihentikan, agar semua pihak mempersiapkan Pemilu 2024 dengan lebih baik. "Supaya tak terulangi lagi masalah-masalah pada pemilu sebelumnya, sehingga hasil pilpres juga lebih baik lagi," ujarnya Hidayat.
Menurut dia, selain menimbulkan kegaduhan dan kontroversi, usul penundaan pemilu juga mendapat penolakan besar dan meluas dari berbagai elemen bangsa. "Jadi, tidak mungkin lagi usulan itu ditindaklanjuti secara konstitusional ke MPR," tegasnya. Apalagi, partai yang mengusulkan penundaan pemilu tidak bertambah. Sementara yang menolak penundaan pemilu, yaitu 6 fraksi di DPR, PDIP, PKS, Nasdem, Partai Demokrat, PPP, dan Partai Gerindra tetap solid menolak.
Seandainya pimpinan tiga partai pengusul, PKB, PAN, dan Partai Golkar solid memperjuangkan usulannya dan menyampaikan ke MPR untuk mengubah UUD, manuver mereka belum memenuhi syarat minimal yang diberlakukan oleh Konstitusi, yaitu diusulkan oleh sekurang-kurangnya 1/3 anggota MPR, sesuai Pasal 37 ayat 1 UUD NRI 1945. "Karena jumlah anggota MPR dari tiga partai itu seandainya solid pun baru berjumlah 187 anggota. Padahal diperlukan minimal 1/3 anggota MPR, yaitu 237 anggota MPR," jelasnya.
Bahkan, lanjut Hidayat, hasil riset dari tiga lembaga survei, Indikator Politik, LSI, dan SMRC menyebutkan bahwa 61,9 persen sampai 70 persen responden menolak pemilu diundur dengan alasan apapun. Mereka menginginkan agar pemilu tetap diselenggarakan pada 2024, sebagaimana aturan UUD dan kesepakatan KPU dengan Pemerintah dan DPR.
Sementara itu, penolakan terhadap rencana penundaan pemilu 2024 terus meluas. Bahkan, petisi yang digalang Koalisi Masyarakat Sipil semakin banyak ditandatangani masyarakat dan sudah mencapai ribuan. "Sudah sampai 2100-an orang," kata peneliti Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif yang juga salah satu penggagas petisi, Muhammad Ihsan Maulana, Senin (7/3).
Selain KoDe Inisiatif, petisi digalang lembaga masyarakat lainnya. Mulai dari Perludem, Netgrit, DEEP, JaDI, Kopel, hingga Pusako Universitas Andalas. Ihsan menjelaskan, isu penundaan pemilu perlu terus dikawal. Dia meminta agar dukungan publik terhadap penolakan penundaan pemilu tidak terputus. "Kami mengajak publik untuk bersama-sama menandatangani petisi ini sebagai bentuk penolakan," tuturnya.
Penundaan pemilu, lanjut dia, bertentangan dengan konstitusi yang mengunci masa jabatan maksimal dua periode masing-masing lima tahun. Perubahan atas ketentuan itu juga sama artinya dengan menerabas semangat Reformasi 1998 yang komitmen dengan sistem presidensial.
"Presiden sebagai kepala pemerintahan punya masa jabatan yang tetap dan dibatasi oleh pemilihan langsung," tuturnya. Dia menambahkan, berbagai alasan yang dilontarkan tiga partai pengusung tidak masuk akal. Untuk alasan pandemi misalnya, Pilkada 2020 justru dilaksanakan pada puncak masa kritis kesehatan.(lum/far/syn/jpg)