OLEH: DAHLAN ISKAN

Keluarga Besar

Nasional | Jumat, 05 Juni 2020 - 10:16 WIB

Keluarga Besar

IA meninggal bukan karena Covid. Tapi jenazahnya tidak bisa diambil dari rumah sakit --kalau tidak dimasukkan peti mati. Namanya: Panji Dwi Anggara. Meninggal di usia 34 tahun. Dua hari lalu. Seharusnya saya ikut ke pemakaman. Saya harus ingat saat saya lagi sulit, 2017, Panji menulis tentang saya. Di media online miliknya. Judulnya membuat mata terbelalak: Saya, Pak Dahlan dan Ramalan Kematian. Bacalah sendiri di link ini.

Panji memang wartawan yang pintar menulis. Karirnya di Jawa Pos termasuk baik. Tapi hanya empat tahun ia kerasan di media itu. Begitu dipindahkan ke Jakarta ia hanya empat bulan di ibu kota. Ia pilih berhenti. Agar bisa pulang ke Surabaya. Ia menikah, lalu menjadi pimpinan redaksi di sebuah tabloid. Keluar lagi, ia menjadi kontributor media online. Lalu keluar lagi untuk mendirikan media: beerita.id.


Ia masuk Jawa Pos ketika saya lagi menjadi sesuatu di Jakarta. Sesekali saya masih pulang ke Surabaya. Dan mampir Jawa Pos --sekadar ingin kangen-kangenan dengan para redaktur. Kian banyak yang saya tidak kenal lagi. Generasi baru terus bermunculan. Saya sering harus diperkenalkan dengan mereka --para wartawan baru itu. Dari jauh saya lihat ini: ada wartawan yang gemuk sekali. Saya tanya ke redaktur di situ --setengah berbisik: siapa namanya.

"Panji...!" panggil saya.

Si Gendut mendekat. Lalu terjadilah apa yang ia tulis di link tadi. Saya sangat tidak rela melihat orang gemuk. Apalagi kalau prestasinya bagus. Demikian juga sewaktu saya jadi Dirut PLN dulu. Saya menemukan dua GM (General Manager) hebat --tapi gendut. Di depan rapat para GM se-Indonesia saya puji prestasi keduanya. Tapi juga saya semprot kegendutannya.

Menjadi gendut itu hak asasi. Tapi kewajiban saya untuk mengurangi risiko beban di perusahaan. Lalu dua orang itu saya tantang: kalau dalam tiga bulan bisa turun 30 kg, akan saya beri hadiah masing-masing Rp50 juta. Dari uang pribadi.

"Melihat prestasi Anda, saya yakin Anda akan bisa mencapai level direksi," kata saya.

"Tapi kalau badan terus naik begitu jantung Anda tidak kuat untuk jadi direksi," tambah saya.

Empat bulan kemudian saya ‘kecopetan’ Rp50 juta. Delapan tahun kemudian saya membaca berita: salah satu dari mereka itu diangkat menjadi Direktur PLN --lalu menjadi Pjs Dirut PLN. Orangnya tidak ambisius. Waktu ditawari untuk diangkat jadi Dirut definitif ia tidak mau. Itulah Djoko Abunaman, pensiun dari direksi belum lama ini. Sejak saya memanggilnya ke meja bundar itu saya tidak pernah bertemu ia lagi. Sampai meninggalnya itu.

Beberapa jam setelah Panji meninggal saya telepon ke nomor ponselnya. Yang menerima suara seorang perempuan. Saya pikir dia istrinya. Saya perkenalkan nama saya. Saat itu juga suara itu hilang. Yang terdengat tinggal isak tangis yang panjang.

"Saya... ibu...nya...Pan.. ji.. Pak," ujarnya sangat tersendat.

Saya tunggu sampai isak tangisnya berkurang. Tidak juga reda. Justru kemudian terdengar raungan. Sang ibu memang terus menemani Panji di hari-hari terakhirnya. Bahkan sejak awal bulan puasa lalu. Sang ibu terus membantu Panji. Yang selama bulan puasa sangat aktif menyalurkan bantuan Covid-19. Terutama bahan makanan dari grup Nestle dan kemudian dari grup ABC.

"Rasanya Panji kelelahan," ujar sang ibu.

Senin lalu Panji mengeluh sulit bernapas. Sebenarnya ia ingin masuk rumah sakit. Tapi masuk rumah sakit di zaman Covid-19 serasa masuk ke sarang musuh. Sang ibu membawa Panji ke klinik di dekat rumah. Ikut juga istri Panji --yang dinikahinya enam tahun lalu. Ikut juga Adit, adik bungsu Panji yang wajah maupun gendutnya mirim pinang dibelah.

Panji memang belum dikaruniai anak. Mereka biasanya selalu berempat itu di rumah ibunya itu. Rumahnya yang dibeli belum lama ini tidak ditempati. Panji sebenarnya ingin punya anak. Pun kalau harus lewat bayi tabung. Panji dan istri sudah konsultasi ke dokter Oky --ahli bayi tabung di Surabaya.

Panji juga sudah menabung untuk biaya bayi tabungnya itu. Hanya saja Covid-19 keburu datang. Program itu ditunda --sampai ia merasa sesak nafas itu. Dan dibawa ke klinik itu. Diketahuilah: detak jantung Panji tinggal 40. Diketahui juga SGPT dan SGOT-nya tinggi. Di atas 100.

Lewat perjuangan teman-temannya Panji akhirnya dapat rumah sakit. Ibu-istri-adik pulalah yang membawanya ke RS. Mereka pula yang terus menunggu. Ia harus dibantu alat untuk menambah oksigen. Tidak juga membaik.  

Ketika keadaan terus memburuk Panji tidak mendapat ICU --penuh semua. Panji meninggal dunia. Jelas bukan Covid-19. Maka keluarga Panji minta jenazahnya bisa dibawa pulang segera.  Tidak bisa. Harus dimasukkan peti. Harus cari peti mati dulu. Keluarga keberatan dua-duanya: masuk petinya dan harga peti itu --Rp6 juta. Tapi peraturan tidak bisa diajak kompromi.

Akhirnya rumah sakit mencari peti. Ups... Kosong. Habis. Terlalu banyak yang harus dimasukkan peti. Tapi jenazah Panji tetap harus dimasukkan peti. Harus dipesankan. Maka pemesanan dilakukan. Gagal.  Tidak ada perusahaan peti mati yang siap dengan ukuran badan Panji. Keluarga pun ngotot untuk bisa membawa jenazah apa adanya. Bisa lebih memenuhi tata-cara Islam --yang tidak perlu dimasukkan peti.

Pihak RS belum bisa menerima keinginan itu. Masih harus dicari jalan lain: harus dimasukkan plastik.  Keluarga akhirnya bisa menerima. Mayat pun siap dimasukkan plastik.  Gagal. Tidak ada plastik yang cukup untuk dimasuki jenazah Panji --yang berat badan terakhirnya 150 kg itu. Terkabullah keinginan keluarga. Untuk bisa membawa pulang jenazah Panji apa adanya. Untuk dimakamkan dalam satu liang dengan ayahnya --yang meninggal dunia 10 tahun yang lalu.

Panji memang keluarga besar. Ia lima bersaudara. Laki-laki semua. Gemuk semua. Si bungsu-pinang-belah-dua-Adit pun 110 kg. Ia 13 tahun lebih muda dari Panji. Maafkan saya, Panji.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook