Suara Buruh di Depenas Pecah

Nasional | Kamis, 03 November 2022 - 10:41 WIB

Suara Buruh di Depenas Pecah
Mirah Sumirat (ISTIMEWA)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Jelang penetapan upah minimum (UM) 2023, dewan pengupahan nasional (depenas) masih pecah suara. Unsur pengusaha dan pemerintah ngotot untuk menggunakan peraturan pemerintah (PP) 36/2021 soal pengupahan terkait penentuan besaran UM tahun depan.

Sedangkan, unsur pekerja/buruh tegas menolak. Mereka meminta, perhitungan kenaikan tak menggunakan PP turunan Undang-undang Cipta Kerja. Tapi, turut mempertimbangkan kondisi di lapangan. Sebagai informasi, Depenas diisi oleh tiga unsur, yakni pengusaha, pemerintah, dan pekerja/buruh.


Anggota Depenas dari perwakilan serikat pekerja/buruh Mirah Sumirat mengatakan, sampai detik ini, suara pengusaha dan pemerintah sudah sangat bulat untuk menggunakan PP 36/2021 untuk penentuan UM 2023.

Sementara, suara unsur pekerja/buruh di Depenas justru terpecah. Dari lima organisasi pekerja/buruh yang ada di Dapenas, hanya dua yang tegas menyuarakan kenaikan UM 2023 tidak menggunakan PP tersebut. Yakni, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Ghani.

"Jadi kami suara minoritas. Kami sudah menghadapi pengusaha dan penguasa, lalu tiga suara buruh lainnya malah ke sana," ungkap Mirah, Rabu (2/10).

Penolakan ini, kata dia, tidak serta merta. Ada data dan dasar kuat mengapa pihaknya menolak. Salah satunya, soal besaran kenaikan UM yang rendah. Jika penetapan UM 2023 diputuskan menggunakan PP 36/2021 maka jelas kenaikannya tak jauh beda dari tahun 2022, hanya berkisar 1-2 persen saja. Padahal, inflasi terus merangkak naik.

Dia melanjutkan, kenaikan UM ini memang secara tertulis ditujukan untuk pekerja 0-1 tahun dan lajang. Namun kenyataannya, di lapangan, banyak perusahaan yang mengimplementasikan angka tersebut sebagai acuan kenaikan gaji para pegawai yang sudah bekerja puluhan tahun. Hanya 10 persen perusahaan yang benar-benar menerapkan perhitungan struktur upah, itu pun kebanyakan perusahaan asing. Oleh karenanya, kenaikan UM ini sangat penting bagi seluruh pekerja/buruh. "Kami mengusulkan kenaikan sebesar 13 persen. Angka ini pun sesungguhnya masih di bawah angka riil. Kami memahami saat ini masih recovery pascapademi Covid-19," paparnya.

Mirah mengatakan, angka tersebut tidak saklek. Pekerja/buruh masih membuka ruang diskusi soal angka kenaikan UM ini. Namun, mereka tegas menolak perhitungan menggunakan PP 36/2021. "Jangan gunakan PP, karena akan mentok 1-2 persen. Mari duduk bersama, ayo berunding. Data di kami seperti ini, perusahaan juga harus mau membuka kondisi keuangannya yang sebenarnya," tegasnya.

Bila pemerintah masih kekeuh menggunakan PP 36/2021, lanjut dia, pekerja/buruh seluruh Indonesia siap melakukan mogok nasional. Saat ini, skema untuk mogok nasional pun sudah disusun. Surat edaran dari organisasi untuk acuan mogok nasional ini pun sudah dikonsolidasikan di pengurus-pengurus serikat pekerja di semua provinsi.

Senada, Presiden KSPI Said Iqbal juga tegas menolak PP 36/2021. Menurutnya, aturan turunan dari UU Cipta Kerja itu harusnya tak digunakan karena UU tersebut sudah dinyatakan cacat formil oleh Mahkamah Konstitusi. Perhitungan harusnya kembali menggunakan PP 78/2015.

Selain itu, pertimbangan lainnya ialah dari perhitungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi saat ini. Inflasi Januari - Desember 2022 diperkirakan sebesar 6,5 persen. Ditambah pertumbuhan ekonomi yang dari prediksi Litbang Partai Buruh mencapai 4,9 persen dan daya beli buruh sebesar 1,6 persen, maka kenaikan upah harusnya mencapai 13 persen.

Said pun meminta, pengusaha dan pemerintah tak menggunakan dalih resesi di tahun depan untuk berkelit soal kenaikan UM 2023. Termasuk, untuk melakukan PHK dengan memberi pesangon murah dan menggantinya dengan buruh outsourcing. Karena faktanya, pertumbuhan ekonomi Indonesia positif. Sehingga, resesi tak akan terlalu berdampak pada Indonesia. "Jangan takut-takuti rakyat. Itu tugasmu," tegasnya.

Dia pun turut meluruskan adanya isu PHK besar-besaran pada sektor garment dan tekstil. Dari pengamatan di lapangan, PHK memang ada namun anehnya rekrutmen pun juga cukup besar. Sehingga diduga ini hanya bentuk akal-akalan pengusaha untuk mengganti pekerja tetapnya dengan pekerja kontrak.(mia/jpg)

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook