JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Program guru penggerak Kemendikbudristek memasuki angkatan 9 dan 10. Tak hanya ditujukan pada guru pegawai negeri sipil (PNS), program ini juga terbuka untuk guru berstatus non-PNS.
Sebagai informasi, program ini merupakan pelatihan kepada para pendidik agar bisa memimpin pembelajaran, menerapkan merdeka belajar, serta menggerakkan seluruh ekosistem pendidikan untuk mewujudkan pendidikan yang berpusat pada murid.
Tahun ini, kuota guru penggerak mencapai 75 ribu, yang terdiri dari 20 ribu guru untuk angkatan 9 dan 55 ribu guru untuk angkatan 10 yang tersebar di 481 kabupaten/kota daerah sasaran.
”PPPK dan guru honorer (non-PNS) boleh. Terbukti di sekolah saya ada honorer yang lolos di angkatan 6,” ujar Fungsional Pengembang Teknologi Pembelajaran Balai Besar Guru Sebagai informasi, program ini merupakan pelatihan kepada para pendidik agar bisa memimpin pembelajaran, menerapkan merdeka belajar, serta menggerakkan seluruh ekosistem pendidikan untuk mewujudkan pendidikan yang berpusat pada murid.
Tahun ini, kuota guru penggerak mencapai 75 ribu, yang terdiri dari 20 ribu guru untuk angkatan 9 dan 55 ribu guru untuk angkatan 10 yang tersebar di 481 kabupaten/kota daerah sasaran.
”PPPK dan guru honorer (non-PNS) boleh. Terbukti di sekolah saya ada honorer yang lolos di angkatan 6,” ujar Fungsional Pengembang Teknologi Pembelajaran Balai Besar Guru Penggerak (BBGP) Gorontalo, Hamzah Hippy, Ahad (2/4).
Para guru yang lolos seleksi akan mengikuti pelatihan selama 9 bulan. Dalam masa pendidikan, calon guru penggerak mendapat pelatihan daring, lokakarya, konferensi dan pendampingan. Yang mana semua didukung oleh instruktur, fasilitator, dan pendamping guru penggerak profesional.
Setelah lulus, lanjut dia, mereka akan kembali ke sekolah masing-masing untuk mengimplementasikan apa yang diperoleh. Kemudian, setiap bulannya bakal diadakan rapat koordinasi yang dihadiri oleh guru penggerak, fasilitator, penanggungjawab, hingga pihak sekolah untuk memastikan program yang dijalankan. Sementara, dinas pendidikan bertugas untuk memonitoring.
”Untuk memastikan dampak yang dirasakan oleh warga sekolah. Dampaknya banyak sekali. Salah satunya, setelah adanya guru penggerak, pembuatan modul yang dulu sulit jadi lebih cepat,” paparnya.
Selain memastikan perubahan pembelajaran, guru penggerak juga disiapkan untuk menjadi calon kepala sekolah dan pengawas. Hamzah mengungkapkan, dari 370 guru penggerak dan calon guru penggerak di 6 kabupaten/kota di Gorontalo, sebanyak 57 orang sudah diangkat menjadi kepala sekolah.
Menurutnya, ketika menjabat sebagai kepala sekolah, alumni guru penggerak ini terbukti lebih adaptif. Terbukti dari alumni yang ditempatkan di daerah 3T, alih-alih banyak mengeluh, mereka justru berhasil menciptakan sejumlah terobosan dengan pemanfaatan aset yang ada. ”Biasanya kepsek yang ditempatkan di 3T banyak sekali keluhan di tiga bulan pertama. Guru penggerak justru sangat luwes memanfaatkan aset yang ada,” ungkapnya.
Lukman Masnur, Kepala Sekolah SMPN 2 Satu Atap Dungaliyo, Gorontalo mengaku, tak pernah terbersit akan menjadi kepala sekolah melalui program ini. Ia hanya ingin mengupgrade diri untuk pembelajaran anak didiknya di tempatnya mengajar sebelumnya.
Siapa sangka, begitu lulus program guru penggerak ia diangkat menjadi kepala sekolah. ”Kurang lebih satu tahun prosesnya menjadi guru penggerak. Setelah pendidikan, enam bulan setelahnya, saya diangkat jadi kepala sekolah,” ungkapnya.(mia/jpg)