JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Kanker merupakan penyakit mahal. Apalagi jika terlanjur fatal. Untuk itu pemerintah berupaya untuk melakukan deteksi dini. Bahkan, mulai tahun ini pemerintah punya program baru untuk mendeteksi kanker lebih dini yakni dengan menggunakan alat polymerase chain reaction (PCR).
''Dengan menggunakan teknologi APV DNA yang bisa gunakan alat PCR yang kita miliki,'' ungkap Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Maxi Rondonuwu, Kamis (2/2). ‘’ DKI Jakarta mulai melakukan pada bulan ini,’’ tambahnya.
Maxi menyatakan kanker merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia dengan 10 juta kematian pada 2020. Hampir 70 persen kematian akibat kanker terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia. ''Hal ini sangat disayangkan, karena sesungguhnya menurut penelitian bahwa 50 persen kematian akibat kanker sesungguhnya dapat dicegah,'' katanya.
Maxi menyatakan cara untuk mengurangi angka kematian adalah dengan cara menghindari faktor risiko dan melakukan deteksi dini secara berkala. Beban biaya kanker tak sedikit. BPJS Kesehatan pada 2020 mencatat kanker sebagai penyakit katastropik dengan pembiayaan terbesar kedua, yaitu senilai Rp 3,5 triliun.
''Angka kejadiannya yang cukup tinggi dan juga beban biaya serta dampak sosial yang ditimbulkan,'' ungkapnya.
Kanker pada anak juga telah menjadi masalah. Setiap tahunnya, diestimasikan 400.000 anak dan remaja usia 0-19 tahun menderita kanker. ''Berdasarkan Globocan pada tahun 2020, diestimasikan terdapat 11.156 kasus baru kanker pada anak pada usia 0-19 tahun di Indonesia, dengan kasus terbanyak adalah leukemia sebanyak 3.880 kasus,'' ucap Maxi.
Menurut pengalaman Maxi yang pernah jadi direktur rumah sakit, banyak orang yang terkena kanker bisa sembuh ketika bisa deteksi dan ditangani. ''Program nasional deteksi dini kanker leher rahim yang saat ini adalah pemeriksaan Inspeksi Visual Asam asetat (IVA) pada wanita usia 30 sampai 50 tahun yang sudah pernah melakukan hubungan seksual,'' katanya.
Sementara untuk kanker payudara, ada Kampanye Periksa Payudara Sendiri (SADARI) yang dilakukan secara mandiri setiap bulan dan Periksa Payudara Secara Klinis (SADANIS) dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan interval pemeriksaan setiap tiga tahun.
Dokter spesialis bedah ongkologi dr Rian Fabian Sofyan SpB Subsp Onk(K) menyatakan sembilan orang yang terkena kanker payudara di negara maju hanya satu yang meninggal. Hanya saja, di Indonesia 25 persen dari 10 orang penderita kanker payudara meninggal dunia. ''Nah artinya ada masalah di Indonesia,'' ujarnya.
Banyak pasien di Indonesia, menurut Rian, banyak pasien yang mengetahui stadium lanjut. Misalnya saja di RS Darmais, 72 persen pasien yang datang sudah stadium lanjut.(lyn/jpg)