KASUS COVID-19 DI INDONESIA

Korban Bertambah, Perlu Karantina Wilayah Satu Bulan

Nasional | Kamis, 02 April 2020 - 08:48 WIB

Korban Bertambah, Perlu Karantina Wilayah Satu Bulan
Presiden Joko Widodo meninjau langsung kesiapan Rumah Sakit (RS) Darurat Penanganan Covid-19 di Pulau Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau, Rabu (1/4/2020). RS darurat tersebut mampu menampung sebanyak 1.000 tempat tidur.(BPMI SETPRES/RUSMAN)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- HARI ini (2/4), tepat satu bulan sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan dua kasus pertama Covid-19 di Indonesia. Kebijakan-kebijakan yang diambil masih terus menuai pro dan kontra. Sementara, jumlah penderitanya terus bertambah, termasuk dari kalangan paramedis.

Sudah banyak rekomendasi agar pemerintah mengambil langkah yang radikal. Minimal, dengan mengarantina wilayah Jabodetabek yang menjadi episentrum penyebaran Covid-19 di Indonesia. Namun, pemerintah memilih opsi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan opsi darurat sipil bila kondisi memburuk.


Presiden Jokowi kembali menegaskan bahwa kebijakan yang diambil pemerintah adalah PSBB. Rujukannya adalah UU nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.

"Ya, itu yang dipakai. Jangan membuat acara sendiri-sendiri," ujarnya usai meninjau fasilitas kesehatan di Pulau Galang, Kepulauan Riau, Rabu (1/4).

Yang terpenting adalah kerja sama antara pemerintah pusat sampai ke desa. Dalam hal mudik misalnya, desa semestinya memiliki program isolasi mandiri. Juga program seperti jaring pengaman sosial yang dikoordinasikan dari atas. Sejauh ini, tutur Presiden, belum ada daerah yang keluar dari garis kebijakan tersebut. Bahwa ada pembatasan sosial, lalu lintas, itu adalah pembatasan yang wajar. Karena daerah juga ingin mengontrol wilayahnya masing-masing. Tapi, tidak dalam bentuk keputusan-keputusan besar, misalnya karantina wilayah dalam cakupan yang besar atau bahkan lockdown.

"Lockdown itu kita nggak boleh keluar rumah. Transportasi semuanya berhenti. Baik bus, kendaraan pribadi, sepeda motor, kereta api, pesawat, berhenti semuanya," lanjut Jokowi.

Kegiatan-kegiatan kantor juga semuanya dihentikan. Indonesia tidak mengambil jalan tersebut. Tetap ada aktivitas ekonomi, namun semua masyarakat harus menjaga jarak aman. Karena itu, sejak awal pemerintah mengampanyekan social distancing dan physical distancing. Kalau semua disiplin melakukannya, juga mencuci tangan setiap usai kegiatan, hingga tidak mudah memegang hidung, mulut, atau mata, diyakini penyebaran virus bisa ditekan.

Meskipun demikian, secara tidak langsung Presiden memberi isyarat pengakuan bahwa karantina wilayah tidak dilakukan karena kondisi anggaran. Sebab, bila ada karantina wilayah, negara wajib membiayai kehidupan semua orang di dalam wilayah itu tanpa kecuali. Pengakuan itu tampak dari dua kali pernyataan Presiden. Saat di Istana maupun di Pulau Galang kemarin. Dia menyatakan, kebijakan berbagai negara menjadi pelajaran bagi Indonesia. namun, disesuaikan pula dengan kondisi di Tanah Air. Baik kondisi geografis, demografi, karakter budaya, hingga kedisiplinan warga.

"Dan juga kemampuan fiskal kita," tambahnya.

Menurut pemerintah, kebijakan PSBB adalah pilihan paling rasio  Deputi IV Kantor Staf Presiden (KSP) Juri Ardiantoro mengungkapkan, setidak-tidaknya ada dua pertimbangan utama pemerintah dalam menerapkan PSBB, yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.

"Pertama, tentu saja, untuk menyelamatkan warga negara dari wabah Covid-19. Kemudian yang kedua, pemerintah mempertimbangkan karakteristik bangsa dengan pulau-pulau yang tersebar di penjuru Nusantara," katanya.

Pertimbangan lain, kata Juri, adalah soal jumlah penduduk dan kondisi demografi masyarakat serta pertimbangan pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat. PSBB didahului oleh keluarnya kebijakan pemerintah yang ada dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19.

"Langkah PSSB diambil untuk melanjutkan kebijakan yang diputuskan pemerintah maupun Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19," tuturnya.

PSBB kata Juri dilaksanakan oleh pemerintah daerah di daerah yang dinilai telah menjadi sumber penyebaran virus Covid-19 dengan cara melakukan pengendalian lalu lintas orang dan barang.  Tentunya setelah mendapatkan restu dari pemerintah pusat. "Persetujuan harus didapatkan dari menteri yang berwenang dalam urusan kesehatan. Yakni Menteri Kesehatan," kata Juri.

Pemerintah Harus Transparan
Pendiri Kawal Covid-19 Ainun Najib mendorong pemerintah untuk lebih terbuka kepada rakyat. Bila memang problem yang menghalangi kebijakan karantina wilayah adalah anggaran, seharusnya disampaikan kepada publik secara terbuka.

"Kalau karena kemampuan postur fiskal APBN tidak sanggup, sampaikan saja. Rakyat akan mengapresiasi," ujarnya saat dikonfirmasi kemarin.

Semakin pemerintah tidak transparan mengenai kebijakan yang ada, maka semakin hilang pula kepercayaan masyarakat. Survei kepercayaan publik kepada pemerintah belum lama ini di Amerika Serikat menempatkan Indonesia di posisi terbawah. Artinya, tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah terkait Covid-19 sangat rendah.

Bila pemerintah mau transparan dengan kondisi yang ada, rakyat justru akan bisa memahami. Bukan seperti sekarang, di mana informasi menjadi liar sehingga masyarakat banyak menduga-duga soal kebijakan yang ada. Mengenai kebijakan PPSB sendiri, menurut Ainun sebenarnya sudah terlambat. Karena PPSB sebenarnya bukan langkah baru. "Ini hanya memberikan hitam di atas putih (pengesahan hukum, red)," lanjutnya.

Sebab, beberapa pekan belakangan isi kebijakan PSBB sebenarnya sudah dilakukan. Bekerja dari rumah, belajar dari rumah, hingga beribadah di rumah. Sejauh ini, dia dan tim Kawal Covid-19 belum menganalisis seberapa besar dampak PSBB terhadap penurunan kurva Covid-19. Namun, dia memberikan contoh Italia yang menyatakan lockdown nasional. Ketika bantuan dokter dari Cina didatangkan, para dokter itu heran dengan kondisi di Italia. Mereka menganggap lockdown di italia setengah hati karena orang masih mudah keluar rumah.

Karena itu, dalam kondisi sekarang, dia tetap mendorong pemerintah untuk memutuskan karantina wilayah. Minimal untuk wilayah Jabodetabek karena di situlah episentrum penularan Covid-19.

"Seharusnya sekarang karantina wilayah itu se-Jawa, tapi ya minimal Jabodetabek," tutur pria kelahiran Gresik, Jatim, itu.

Lewat karantina wilayah, setidaknya ada dua hal yang bisa mendapatkan ketegasan. Pertama adalah kejelasan bahwa keperluan hidup rakyat kecil ditanggung negara. Itu sangat jelas di karantina wilayah. Berbeda dengan kondisi saat ini yang serba tidak jelas. Perekonomian rakyat kecil terdampak, namun tidak ada jaminan penghidupan dari pemerintah.

Ketegasan berikutnya adalah orang tidak boleh pindah dari zona merah ke zona lain. Yang terjadi saat ini adalah imbauan terus menerus. Bahkan Presiden sampai berharap agar ada kebijakan yang lebih tegas. Seharusnya, sebagai Presiden dialah yang menegaskan itu semua.

"Kalau Presiden saja sudah berharap ada kebijakan yang lebih tegas, siapa lagi yang kita harapkan untuk tegas," ucapnya.

Apalagi, pemerintah memilih opsi darurat sipil sebagai langkah berikutnya. Itu akan mempertegas kesan bahwa pemerintah hanya ingin bagian otoriternya saja, namun enggan untuk membiayai rakyatnya. Karena lewat darurat sipil, pemerintah bisa melakukan apapun namun tidak wajib membiayai penghidupan warganya.  Meskipun demikian, bukan berarti dia dan tim Kawal Covid-19 pesimistis dengan kondisi yang ada. Justru, saat ini dia makin optimistis. Bukan karena kebijakan pemerintah, melainkan karena kesadaran masyarakat. Sudah banyak kampung yang melakukan karantina wilayah. Juga semakin banyak yang menggunakan masker dalam kegiatan sehari-hari.

Pakar hukum tata negara yang juga mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra turut buka suara terkait kebijakan yang diambil oleh pemerintah melalui Keppres Nomor 11 tahun 2020. Menurut dia, penetapan darurat kesehatan melalui keppres tersebut sudah terlambat. Meski kepres itu dibarengi oleh PP Nomor 21 tahun 2020, Yusril mengungkapkan bahwa tidak lantas memperbaiki keadaan.

Lantas apakah keppres dan PP yang baru diterbitkan oleh pemerintah bakal efektif membantu upaya melawan virus corona? Yusril menguraikan bahwa PP yang dibuat membuka kemungkinan pemerintah daerah melaksanakan PSBB. Termasuk mengatur mobilitas orang dan barang. Meskipun demikian, dia menilai tetap sulit. Mengingat ada batasan-batasan yang tidak dijangkau oleh ketentuan dalam PP tersebut. Misalnya, Yusril mencontohkan, pemerintah daerah tidak bisa serta merta meminta perkuatan TNI maupun Polri saat mengetatkan pintu keluar masuk orang dan barang.

PP juga tidak memberikan kewenangan kepada aparat keamanan untuk mengawasi keluar masuknya barang maupun orang di daerah yang memberlakukan PSBB.

"Pemerintah daerah paling hanya dapat mengerahkan Satpol PP yang memang berada di bawah pemda," tegasnya.

Aparat keamanan bisa melakukan itu hanya saat karantina wilayah dilakukan. Itu sesuai dengan ketentuan dalam pasal 54 ayat 3 UU Kekarantinaan Kesehatan. "Karantina Wilayah hampir sama dengan lockdown yang dikenal di negara-negara lain seperti Malaysia dan Filipina," ungkap Yusril.

Dalam kondisi tersebut, orang tidak diizinkan keluar atau masuk. Selain itu, ada kewajiban memenuhi kebutuhan dasar masyarakat ketika pemerintah menetapkan karantina wilayah. Menurut Yusril, mungkin saja saat ini pemerintah lebih memilih PSBB ketimbangan karantina wilayah karena tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Apalagi kewajiban itu menjadi tanggung jawab pusat. "Bukan tanggung jawab pemerintah daerah," imbuhnya. Contohnya, jika karantina wilayah dilakukan di Jakarta. Ada belasan juta orang yang kebutuhan dasarnya jadi tanggung jawab pemerintah pusat. Dengan ketidakpastian waktu yang dibutuhkan untuk melawan virus corona, tentu saja hal itu bukan perkara mudah.

"Bisa-bisa kita seperti India. Lockdown yang dilakukan tanpa persiapan matang, bisa membuat rakyat kalang kabut dan akhirnya kelaparan," beber dia.

Gawatnya, ketentuan PSBB dalam PP nomor 21 tahun 2020 hanya mengulang yang diatur oleh UU Kekarantinaan Kesehatan. Peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, serta pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum sudah dilaksanakan oleh beberapa daerah. Termasuk di antaranya Jakarta.

"Namun apa yang sudah dilaksanakan itu toh tidak mampu membatasi penyebaran virus corona," ungkap Yusril.

Karena itu, dia mempertanyakan efektivitas PSBB yang diputuskan Presiden sebagai kebijakan melawan virus korona. Jika dalam dua pekan atau satu bulan ke depan kebijakan itu terbukti tidak efektif dan pemerintah memilih jalan darurat sipil, Yusril juga tidak yakin itu akan membantu.

"Saya kira itu pun tidak akan menyelesaikan masalah," urai­nya. Kalau situasi kian memburuk, dia memperkirakan pemerintah akhirnya harus memilih jalan karantina wilayah.

"Dengan segala risiko ekonomi, sosial, dan politiknya," tambah dia.

Untuk itu, Yusril berharap besar, selama kebijakan PSBB masih berjalan, pemerintah benar-benar mempersiapkan diri berhadapan dengan kondisi dan situasi terburuk. "Kalau akhirnya tidak punya pilihan lain menghadapi wabah virus korona kecuali memilih menerapkan karantina wilayah," harapnya. Tentu dengan semua konsekuensi. Jangan sampai kejadian serupa di India dialami masyarakat Indonesia.(byu/tau/far/syn/wan/mia/deb/lyn/jpg/ted)

Laporan: JPG (Jakarta)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook