Pendapat Sahabat

MUI Menjawab | Sabtu, 08 Mei 2021 - 11:40 WIB

Pertanyaan:
Bagaimana kedudukan pendapat sahabat Rasulullah terhadap sunnah Nabi SAW? Misalnya, dalam jumlah rakaat salat tarawih, menurut satu riwayat Nabi SAW melaksanakannya 11 rakaat (tarawih dan witir), tetapi para sahabat justru melakukannya dengan 23 rakaat tarawih dan witir. Manakah yang diutamakan dari dua hal tersebut?

08136579XXXX

Jawaban:
Menurut para ahli ushul fiqih, pendapat sahabat dapat dijadikan sebagai hujjah. Hal ini didasarkan pada beberapa dalil, antara lain: Pertama, firman Allah SWT yang terdapat dalam surat Ali Imran (3) ayat 110 yang artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.


Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik diciptakan Allah dari sekalian manusia dengan misi menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Umat Islam yang dimaksud ayat ini adalah para sahabat Nabi SAW. Misi yang mereka jalankan haruslah diikuti dan dijalankan umat Islam sesudah mereka.


Kedua, Nabi SAW bersabda yang artinya: Para sahabatku bagaikan bintang-bintang, siapa pun di antara mereka yang kalian ikuti, maka kalian akan mendapat petunjuk (HR Abu Daud).

Ketiga, Nabi SAW bersabda yang artinya: Adalah kewajibanmu mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa al-rasyidin yang datang sesudahku (HR Ibn Majah). Kedua hadis ini menunjukkan bahwa Nabi SAW memerintahkan kepada kita untuk mengikuti pendapat sahabat.

Di samping dalil-dalil di atas, menurut Abu Zahrah, pendapat sahabat dapat dijadikan sebagai hujjah berdasarkan realitas bahwa sahabat adalah generasi yang langsung bertemu dengan Nabi SAW. Mereka adalah orang-orang yang banyak mengetahui tentang asbab al-nuzul ayat dan banyak menyaksikan pembentukan hukum dari Nabi SAW. Di samping itu, mereka adalah generasi yang paling mengetahui maksud ayat atau hadits setelah Nabi Saw. Mengingat ini, pendapat-pendapat mereka lebih dapat dipercaya sehingga harus dijadikan sebagai rujukan.  

Berkaitan dengan jumlah rakaat tarawih dan witir pada bulan Ramadan antara 11 (praktek Nabi SAW) dengan 23 rakaat (pendapat sahabat), tidaklah dapat dipandang sebagai pertentangan antara keduanya. Sebab, praktek salat tarawih dan witir sebanyak 23 rakaat tersebut telah pernah dilakukan sahabat pada masa Nabi SAW.

Meskipun Nabi SAW tidak ikut dengan para sahabat tersebut, tetapi dia tidak pula melarang sahabat untuk melakukan hal tersebut. Bahkan sahabat yang telah mendirikan tarawih beberapa malam bersama Nabi SAW sebanyak delapan rakaat, menurut pengamatan Abdul Rahman al-Jaziri, masih menyempurnakan tarawih di rumah mereka masing. Dengan demikian, pada dasarnya Nabi SAW membolehkan salat tarawih dan witir lebih dari 11 rakaat.

Abu Hanifah pernah ditanya tentang salat tarawih yang dilakukan Umar bin Khattab, ia menjawab bahwa salat itu hukumnya sunnat muakkad. Ia tidak mencetuskan itu atas kemauannya sendiri dan tidak pula berbuat bid’ah dengan apa yang ia lakukan. Ia tidak memerintahkan dengan apa yang ia lakukan kecuali yang demikian itu diperoleh dari dasar agama yang ia miliki dan jaminan Rasulullah SAW.

Memang jumlah rakaat salat tarawih itu mengalami penambahan pada masa Umar bin Khattab, dan bahkan pada masa Umar bin Abdul Aziz bertambah menjadi 36 rakaat (di luar witir). Akan tetapi maksud penambahan itu adalah agar dapat sama dengan orang-orang Makah dalam memperoleh keutamaan, karena orang-orang Makah dapat melakukan thawaf di Baitullah sebanyak satu kali pada setiap habis melaksanakan salat tarawih empat rakaat.

Lalu Umar bin Abdul Aziz berpendapat agar melaksanakan salat tarawih empat rakaat sebagai pengganti dari setiap satu kali tawaf. Ini menunjukkan pada kebenaran ijtihad para ulama tentang penambahan rakaat dari apa yang telah datang (dari sunnah) dari bentuk ibadah yang disyari’atkan.

Karena memang tidaklah dapat disangsikan, bahwa seseorang itu boleh melakukan salat nafilah semampunya pada waktu malam dan siang, kecuali pada waktu-waktu yang terlarang melakukan salat. Adapun mengenai, apakah selebihnya dari ketentuan sunnah yang ada itu disebut sebagai salat tarawih ataupun bukan, maka untuk itu hendaklah kembali kepada keumuman lafaz. Akan tetapi yang lebih utama dalam memberikan nama terhadap salat yang ia lakukan itu hendaklah cukup dengan apa yang telah ditentukan oleh Nabi SAW dan sahabat-sahabatnya yang telah melakukan ijtihad.

Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa bilangan rakaat salat tarawih tersebut boleh berjumlah 8 rakaat dan 3 rakaat witir, atau boleh juga 20 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir. Tetapi, hendaklah dalam memilih antara dua pendapat itu bukan didasarkan atas mencari yang ringan-ringan, sebab hal itu tidak dibenarkan dalam Islam. Hendaklah dalam pelaksanaan salat tarawih dan witir tersebut diutamakan memperhatikan kualitas salat tersebut, bukan sekadar kuantitasnya.***

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook