LIPUTAN KHUSUS

Bergantung pada Pergantian Arus

Liputan Khusus | Minggu, 25 Oktober 2015 - 11:02 WIB

Bergantung pada Pergantian Arus
MENJEMUR UDANG: Eka saat menjemur udang pepai hasil tangkapannya pada malam hari. Menjemur udang pepai harus dilakukan agar kondisi udang tersebut tidak busuk sehingga bisa diolah dan dijual dengan harga yang lebih tinggi. Foto di ambil baru-baru ini.

RIAUPOS.CO - Pergantian arus dari surut ke pasang dan dari pasang ke surut adalah penanda setia bagi nelayan pengerih di Desa Tenggayun, Kecamatan Bukitbatu, Kabupaten Bengkalis, Riau. Tatkala itulah, kempang dengan mesin tempel segera menghala ke tengah laut. Di saat arus berubah inilah, mereka membongkar pengerih untuk mengutip aneka ikan yang terperangkap di dalamnya.

SUATU malam di hari Senin, 13 Oktober 2015, di penghujung Zulhijjah menyambut Muharram Riau Pos ‘’bertandang’’ ke ‘’kompleks’’ togok yang ada di Desa Tenggayun. Menyebut kata ‘’kompleks’’ ini, karena togok yang ada di daerah itu lebih menyerupai kompleks pemukiman dibandingkan dengan togok pada umumnya.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Togok merupakan rumah yang berada di tengah laut, yang digunakan nelayan dalam menjalankan aktivitas menangkap ikan. Karena togok yang ada di Tenggayun ini dibangun oleh Pemkab Bengkalis, jadi letaknya berdekatan dan bentuk bangunannya serupa. Ada enam unit togok di desa itu. Tiap-tiap unit terdiri dua pintu, layaknya seperti rumah petak. Namun, dari amatan Riau Pos, tiap-tiap unit itu hanya ditempati oleh satu pemilik.

Togok di daerah ini boleh dikatakan ‘’mewah’’ dibandingkan dengan togok-togok pada umumnya. Tiangnya terbuat dari beton. Sementara jendelanya merupakan jendela kaca nako. Makanya lebih menyerupai kompleks di tengah laut daripada bentuk togok.

Di rumah inilah, nelayan-nelayan tempatan melakukan aktivitas. Saat Riau Pos bertandang ke sana, tim menginap di togok Romi. Ia tak sendiri di togok ini. Ia ‘’bermukim’’ di rumah tengah laut ini bersama temannya bernama Eka.

Riau Pos sampai di dermaga pantai Tenggayun sekitar pukul 20.30 WIB. Lalu, dengan menggunakan kempang (sebutan untuk jenis perahu) bermesin tempel, langsung menghala ke togok milik Romi. Sekejap saja sampai. Paling-paling dalam hitungan lima menit dari dermaga itu menuju togok, karena keberadaanya tak begitu jauh di tengah.

Begitu kempang merapat, aroma amis ikan begitu terasa. Menginjakkan kaki di pelantar togok, dalam temaram malam, mata disuguhkan dengan hamparan ikan dan udang yang dalam proses pengeringan di pelantar togok tersebut. Belum begitu banyak ikan yang dalam proses pengeringan, karena Romi dan Imal baru dua hari mulai melaut.

Saat sampai di togok itu, pasang memang sedang penuh bahkan hampir berganti surut. Tak lama berada di sana, Romi dan Ijal bersiap-siap menuju ke tengah laut. Mereka akan membongkar pengerih yang terpasang nun di tengah laut sana. Sekitar pukul 22.15 WIB, dua lelaki yang masih lajang ini mengengkol mesin tempel boat. Sekejap kemudian, boat atau lazim oleh warga setempat disebut kempang itu bergerak pasti diayun ombak menghala ke tengah laut yang sudah masuk ‘’pinggiran’’ Selat Melaka itu.

Makin lama, kempang yang mereka kemudikan semakin hilang ditelan temaramnya malam yang diselimuti jerebu asap tipis. Lama kelamaan, tinggal terdengar bunyi mesin tempal memecah kesunyian malam. Sesekali nampak cahaya berkelebat dari senter yang mereka bawa sebagai satu-satu alat penerangan dalam perjalanan menuju pengerih yang terpasang di tengah laut itu.

Makin lama, suara mesin kian sayup dan kemudian tak terdengar sama sekali. Hanya sesekali kelebat samar cahaya senter yang nampak nun di kejauahan sana. Sampai pada akhirnya, cahaya senter itupun tak tertangkap oleh pandangan mata dari togok.

Pergantian arus dari pasang ke surut atau dari surut ke pasang, memang waktu bagi nelayan pengerih untuk membangkit atau membongkar pengerih mereka. Nelayan setempat menyebutnya dengan sekali air.

Bila pengerih tak diangkat, maka aneka ikan dan udang yang terperangkap di dalamnya akan menjadi busuk. Bila pergantian arus air berikutnya mereka baru membangkit pengerih, maka akan bercampurlah ikan tangkapan baru dengan ikan-ikan yang sudah terperangkap sebelumnya.

Dalam hitungan satu jam lebih sedikit, suara mesin tempel yang tadi menghilang, mulai lamat-lamat terdengar. Itu pertanda kempang yang membawa Romi dan Imal ke tengah laut sudah selesai membangkit pengerih dan sedang menghala pulang ke togok. Sekitar pukul 23.30 WIB, kedua anak muda itu sampai kembali ke togok dengan hasil ikan dan udang tangkapan mereka.

Begitu sampai, Romi langsung naik ke pelantar. Sementara Eka masih menunggu di dalam kempang. Sejenak kemudian, Romi melemparkan seperangkat alat kerja mereka yang terbuat dari jaring bermata halus dan diberi ‘’berkepala’’ seperti ayakan yang terbuat dari bambu.  Ternyata, perangkat ini merupakan alat kerja mereka untuk memilah jenis-jenis ikan tangkapan mereka. Proses ini mereka sebut dengan mengayak. Eka lah yang ditugaskan sebagai pengayak.

 ‘’Kami bagi tugas. Kalau di pengerih, saya yang tukang bangkitnya. Imal belum begitu mahir membangkit pengerih. Ia lebih mahir mengayak. Nanti, setelah dipisahkan, dipisahkan lagi di atas. Memisahkan di atas bagian tugas saya,’’ jelas Romi sebelum sempat ditanya.

Dengan penyendok berbentuk raket tenis, Eka memindahkan ikan tangkapan itu ke bagian kepala ayakan yang terbuat dari bambu. Kemudian, ia dengan lihai menggoyang-goyakan ayakan itu, layaknya seperti orang sedang menambang emas.

Sebentar-sebentar ia berhenti, memperhatikan hasil ayakannya. Bila dirasa belum cukup, ia kembali mengayak. Sampai akhirnya dirasakan cukup, baru ia memulai memilah-milahkan ikan.

Dari ayakannya itu, yang terpilah secara otomatis adalah jenis udang pepai atau udang halus. Karena ukurannya sangat kecil, udang-udang ini lolos dari mata ayakan dan berpindah ke dalam jaring bermata halus yang merupakan bagian bawah dari ayakan itu.

Kemudian, dengan menggunakan alat serupa raket tenis tadi, ia mulai menyauk atau menangguk  ikan yang mengapung. Ikan yang mengapung ini adalah jenis gonjeng atau lebih dikenal dengan nama ikan bulu ayam.

Ikan ini kemudian ditempatkan dalam pongkes (seperti nyiru yang terbuat dari rotan atau bambu). Bila jenis ikan gonjeng itu tadi selesai dipilah, ikan-ikan yang masih tersisa ditempatkan di pongkes yang lain. Begitu seterusnya, sampai akhirnya ikan hasil tangkapan mereka malam itu terpilah semuanya.

Bila pongkes sudah penuh, Romi menurunkan tali berpengait dari kawat untuk menarik pongkes berisi ikan itu ke atas. Kemudian ikan ini akan ditempatkan di belakang togok. Untuk ikan gonjeng suda langsung terpilah. Namun, ikan yang berada di pongkes lainnya masih bercampur.

Ikan yang masih bercampur inilah jadi tugas Romi untuk memilahkannya. Lomek di tempatkan sesama lomek. Udang duri ditempatkan sesama udang duri. Ikan timah sesama ikan timah pula. Kemudian beragam jenis ikan kecil-kecil yang mereka sebut dengan jerait ditumpukkan tersendiri pula.

Sementara itu, di dapur kawah atau kuali ukuran besar sudah terjerang di atas tungku. Begitu selesai memilah-milahkan ikan ini, langsung ditaburi garam dan kemudian digaul bersama ikan-ikan itu tadi. Begitu campuran garam dinilai sudah merata, ikan-ikan ini langsung dimasukkan ke dalam kuali dengan air yang sudah mendidih. Rebusan ini hanya sebentar saja, karena hanya untuk menyatukan asinnya garam ke ikan-ikan tersebut.

Selesai merebus, ikan-ikan ini kemudian ditata di atas pelantar dengan beralaskan jaring. Masing-masing ikan berada dalam tumpukan masing-masing untuk dikeringkan. Sedangkan untuk ikan yang ukuran agak besar seperti lomek dan biang, mereka gantung berbaris pada paku-paku yang memang sudah mereka siapkan untuk mengeringkan ikan-ikan itu.

Dalam hitungan Riau Pos, mulai dari mereka beranjak dari togok menuju ke tengah laut untuk membangkit pengerih dan sampai selesai menata ikan-ikan itu dipelantar, menghabiskan waktu sekitar tiga jam. Selama tiga jam itu, dapat dikatakan Romi dan Eka bekerja tanpa istirahat. Begitu semuanya selesai, barulah mereka berhenti merehatkan badan.

‘’Beginilah kami bekerja. Memang tak berhenti sampai selesai. Kalau berhenti, prosesnya akan terganggu,’’ jelas Romi.

Untuk proses pengeringan, bila cuaca mendukung, diperlukan dua hari. ‘’Kalau panas matahari elok, dua hari keringlah,’’ jelasnya lagi.

Artinya, bila cuaca mendukung, dalam dua hari itu ikan-ikan tadi sudah jadi ikan kering atau ikan asin. Kecuali untuk udang kering atau ebi yang berasal dari udang duri atau udang merah jenis berkulit keras. Untuk ebi, masih ada proses lanjutannya, yaitu menanggalkan kulit-kulit udang tersebut dari isinya.

Untuk melepaskan kulit udang agar terpisah dari isinya, begitu udang sudah cukup keringnya, lalu dimasukkan ke dalam karung goni. Kemudian, udang di dalam goni ini dipukul-pukul pada kayu balok berukuran sekitar 50 x 20 cm. Proses memukulkan ke kayu inilah membuat kulit udang tersebut terpisah dari isinya.

‘’Tak semua udang bisa. Cuma udang duri atau jenis udang berkulit keras saja. Kalau udang putih yang selalu kita jumpa dijual di pasar-pasar, tak mau do. Makanya, jenis udang duri yang dijadikan udang kering ini,’’ Romi menjelaskan detil proses pengolahan udang kering.

Bagi nelayan pengerih di Desa Tenggayun, udang kering atau ebi dan gonjeng atau ikan bulu ayam merupakan tangkapan favorit mereka. Sebab, harganya jauh lebih tinggi dengan jenis ikan lainnya. Untuk udang kering, ke pedagang pengumpul, tiap kilogramnya mereka bisa jual dengan harga Rp100 ribu hingga Rp110 ribu. Sedangkan gonceng bisa laku berkisar Rp40 ribu hingga Rp50 ribu per kg-nya.

Lomek Rp25 ribu udang pepai Rp23 ribu dan ikan langgai Rp23 ribu Selain itu, jenis ikan busuk juga laku dijual dengan harga berkisar Rp2.500 sampai Rp3.000. Ikan busuk ini ikan yang lambat dibongkar dari pengerih, hingga ketika diambil sudah tidak segar lagi.

Ikan jenis inilah yang kemudian masuk dalam kelas ikan busuk. Namun demikian, ikan busuk tetap diproses sebagaimana ikan segar lainnya. Bagi pedagang, ikan busuk akan dijual lagi untuk bahan pembuatan pelet atau pakan ikan.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook