LIPUTAN KHUSUS

Bergantung pada Pergantian Arus

Liputan Khusus | Minggu, 25 Oktober 2015 - 11:02 WIB

Bergantung pada Pergantian Arus
MENJEMUR UDANG: Eka saat menjemur udang pepai hasil tangkapannya pada malam hari. Menjemur udang pepai harus dilakukan agar kondisi udang tersebut tidak busuk sehingga bisa diolah dan dijual dengan harga yang lebih tinggi. Foto di ambil baru-baru ini.

Menyabung Nyawa di Musim Utara

Pagi baru saja menjelang, tak terdengar memang kokok ayam.  Hambusan angin laut pagi itu cukup menyejukkan. Romi dan Eka terlihat tertidur lelap di luar rumah togok hanya mengenakan baju dan jaket tanpa pengalas tidur. Hembusan angin tak mereka hiraukan, letih mengangkat pengerih tadi malam masih mereka rasakan.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Ketika jarum jam mulai beranjak dari satu angka ke angka lainnya, aktivitas di togok tetangga Romi mulai menggeliat. Satu per satu nelayan-nelayan mulai merapat dan naik ke togoknya. Mereka lalu mengambil jaring untuk mejemur dan membentangkannya di atas pelantar. Satu per satu goni yang berisi ikan, udang dan sebagainya di keluarkan.

Suara canda tawa para nelayan pun terdengar, lelaki dan perempuan semuanya bekerja. Ada yang membentangkan jaring, ada yang mengangkat goni yang berisi ikan maupun udang lalu mengeluarkannya serta ada juga yang menyerakkan ikan-ikan tadi di hamparan jaring yang sudah di bentangkan.

Begitu juga Romi dan Eka, bangun tidur tanpa sarapan terlebih dahulu, keduanya bergegas mengambil jaring dan membentangkannya di atas pelantar. Setelah semuanya terbentang, ikan hasil tangkapan langsung mereka jemur.

‘’Cuaca agak cerah, makanya kami bergegas menjemurnya bang. Kalau cuaca seperti saat ini dalam dua hari keringlah ikan-ikan ini dan bisa dijual,’’ ujar Romi lagi.

Karena satu togok dengan togok lainnya berdekatan, Riau Pos pun bertandang ke togok-togok lainnya. Senyum dan sapa ramah dari masing-masing nelayan selalu terlihat dan terdengar. ‘’Abang dari mana?’’  tanya Erwandi saat Riau Pos bertandang ke togoknya.

‘’Kami dari Pekanbaru bang. Tapi kami  orang sini jugo dari Bengkalis,’’ ujar Riau Pos lagi. ‘’Ooo, budak Bengkalis uponyo. Macam inilah kehidupan kami bang. Kadang siang dan malam berkawan dengan busuk dan amisnya ikan, kalau tak macam ini tak hidup kami bang,’’ ujar Erwandi membuka bicara.

Erwandi sendiri di kelompok nelayan Mekar Sari dipercaya sebagai ketua. ‘’Bukan ketuo do bang, orang yang dituokan ajo,’’ ujarnya merendah ketika ditanya dirinya sebagai ketua di kelompok nelayan togok tersebut.

Menurut Erwandi, dikelompok yang ia pimpin jumlahnya hanya 10 kepala keluarga saja. Semuanya nelayan pengerih dan mengandalkan pendapatannya dari pasang surutnya air. ‘’Kalau untuk pemasaran tak masalah do bang, mulai ikan segar, ikan asin sampai ikan busuk pun habis terjual. Cuma untuk ikan busuk agak murah lah sikit jika dibandingkan dengan udang, ikan gonjeng dan sebagainya,’’ ujarnya.

Dulu memang hasil tangkapan nelayan-nelayan pengerih ini tidak ada sama sekali, namun sejak akses jalan ke berbagai daerah terbuka, hasil tangkapan nelayan pengerih terutama sekali ikan asin laris manis dan diburu pedagang-pedagang dari luar bahkan ada yang berasal dari Sumatera Barat (Sumbar).

Sebenarnya bang, kata Erwandi lagi, hasil tangkapan yang paling banyak itu ketika musim utara, tetapi hambatannya pun cukup besar, karena saat musim utara gelombang laut di Tenggayun ini cukup tinggi. ‘’Musim utara kami nelayan di sini ibarat menyabung nyawa. Ikan cukup banyak, tapi gelombangnya cukup ganas,’’ ujarnya.

Erwandi mengaku pernah dihempas gelombang sehingga sampan kempang yang dikemudikannya terbalik, untunglah ada kawan-kawan sesama nelayan segera datang membantunya. ‘’Kalau tak ada kawan-kawan entahlah, mungkin saya hanyut sampai ke tengah laut sana,’’ ujarnya sambil menunjuk ke arah laut lepas Selat Melaka.

Perlu Alat Transportasi

Lama Riau Pos berbual dengan Erwandi, dalam perbualan itu hanya terselip sedikit kegundahan para nelayan pengerih di daerah itu. ‘’Yang kami perlukan di sini hanya alat transportasi yang agak memadai bang. Kempang ini memang sudah cukup untuk kami, tapi kurang memadai,’’ ujarnya.

Mengapa, karena musim utara dengan gelombang yang ganas sulit bagi nelayan untuk ke tengah laut mengangkat pengerih. ‘’Gelombang musim utara itu ganasnya memang di pinggir, transportasi kempang kami kadang tidak mampu menghadapi gelombang itu, kalau tidak dihadapi ikan yang terperangkap akan busuk tentu nelayan akan rugi,’’ ujarnya.

Ia juga tidak membantah pernyataan Romi dan Eka yang menyatakan kalau musim utara hanya ikan kualitas tinggi saja yang mereka ambil, sementara ikan lain terbuang begitu saja. ‘’Tak sanggup nak memisahkannya lagi bang, nelayan kan perlu istirahat juga, kalau robot mungkin bisa kerja 24 jam,’’ ujarnya.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook