Menerbangkan pesawat tanpa awak (drone), pada beberapa tahun lalu sudah memberikan sensasi yang luar biasa. Bagaimana pula menerbangkannya dengan sensasi pandangan langsung di kamera drone? Seakan jadi pilot sesungguhnya? Bahkan pilot pesawat tempur dengan kecepatan maksimal?
RIAUPOS.CO - Teknologi drone dengan cepat berkembang. Jika sebelumnya hanya untuk kalangan militer, kini telah berkembang jadi kepentingan lainnya, termasuk hobi dan permainan. Bahkan drone telah digabungkan dengan teknologi game virtual. Termasuk yang berkembang belakangan yakni teknologi metaverse.
Sensasi pilot drone sesungguhnya telah ada sejak beberapa tahun lalu dengan drone FPV (first person view). Teknologi FPV hadir di Indonesia sejak sekitar tahun 2017. Dengan drone FPV, maka pengendali drone tak lagi hanya melihat drone dari bawah. Bahkan, tak hanya melihat layar laptop atau ponsel pintar saja. Mereka benar-benar menjadi pilot karena bisa melihat objek benda langsung dari kamera drone. “Mata” pilot berada di drone langsung, sesuai istilah yang digunakan, first person view (pandangan mata orang pertama).
Drone FPV memang dilengkapi kacamata khusus atau VR (virtual reality) google. Kacamata khusus itu terhubung ke kamera drone dengan sebuah reciever. Maka apa yang dilihat kamera drone, langsung terhubung ke mata pilot. Pilot drone bisa langsung melihat objek, baik yang sama-sama terbang maupun yang di daratan.
“Sensasi pilotnya terasa sekali. Apalagi ini bisa ngebut,” ujar Ketua FPV Riau, Juniarto Arif, Kamis (8/12).
Arif memiliki belasan anggota di Riau. Anggota terbanyak ada di Dumai. Makanya, mereka lebih sering berkumpul, diskusi, atau menerbangkan drone bersama di Dumai. Sesekali di Pekanbaru atau di beberapa tempat lainnya. Ada juga penghobi FPV Riau di Bagan Siapi-api, Pasir Pengaraian, dan Bengkalis, serta beberapa daerah lainnya.
Juniarto menyebutkan, Drone FPV memang beda dengan drone konvensional atau DJI (Dà-Jing Innovations “inovasi besar pelopor”)-nama perusahaan asal Cina yang kini seakan melekat sebagai istilah untuk drone konvensional, bukan lagi jenama. Perbedaan utamanya terletak pada penglihatan pilot itu. Selain itu, kecepatan terbang juga berbeda.
“Makanya, FPV bisa untuk race (balapan), beda dengan DJI yang lebih santai dan stabil,” ujar Juniarto.
Makanya, mereka yang baru pertama kali mencoba drone tidak disarankan langsung menggunakan atau menjadi pilot FPV. Mereka harus terbiasa dulu dengan drone konvensional. Itu pun tidak bisa langsung menjadi pilot FPV. Sebenarnya, ujar Juniarto, mereka yang langsung terjun sebagai pilot FPV, bisa saja mempraktikkannya tanpa mencoba drone konvensional terlebih dahulu. Syaratnya harus berlatih dengan aplikasi simulasi. Aplikasi yang biasa dipakai adalah free rider. Beberapa aplikasi ini bisa diunduh di play store dan kebanyakan berbayar. Tapi ada juga yang gratis. Aplikasi ini tak hanya untuk ponsel, bisa juga untuk laptop.
Memainkan game di aplikasi ini sebaiknya langsung menggunakan remote dan VR google (kacamata khusus) yang terhubung dengan aplikasi game di ponsel atau laptop. Sebenarnya, tanpa remote dan kacamata khusus, game ini tetap bisa dimainkan.
“Hanya saja, tidak dapat taste-nya jika dimaksudkan untuk latihan FPV. Hanya sekadar main saja,” ujar Juniarto.
Kenapa latihan menggunakan aplikasi di ponsel atau laptop itu penting bagi pemula? Menurut Juniarto, kecepatan dan kestabilan yang berbeda menjadikan FPV bisa merepotkan pilot pemula. Berbeda dengan drone konvensional, FPV lebih cepat, tidak memiliki sensor ke objek, dan tidak terhubung ke sistem global.
FPV memiliki kecepatan 120 km per jam, bahkan lebih, sehingga memungkinkan untuk bergerak sangat cepat. Sedangkan drone biasa maksimal memiliki kecepatan 60 km per jam. FPV tidak memiliki sensor dan kemungkinan bertabrakan dengan objek sangat tinggi. Tergantung keahlian pilot. Sementara drone konvensional memiliki sensor objek. Dua meter mendekati objek, drone akan langsung otomatis berhenti bergerak dan statis atau bergerak diam. Dalam hal ini, tentu tidak diperlukan keahlian yang mumpuni bagi pilot drone konvensional. Dengan terhubung pada sistem global, maka drone konvensional akan otomatis “tunduk” pada aturan global. Misalnya drone konvensional langsung tak akan bergerak jika diaktifkan di area terlarang seperti bandara, fasilitas militer, atau fasilitas vital lainnya. Begitu soal soal ketinggian yang otomatis diberlakukan pada drone konvensional.
“Tapi pada FPV tidak. Makanya, pilot FPV ini harus ahli dan paham aturan menggunakan drone,” ujarnya.
Dengan kapasitas FPV yang lebih spesifik, maka penggunaannya juga lebih khusus. FPV bisa digunakan untuk mengambil foto dan video lebih ekstrem dibandingkan drone konvensional. Bisa untuk indoor, outdoor, petualangan, racing, juga objek yang sangat dekat dan sangat cepat. Jika drone konvensional hanya bisa mendekat ke objek sejauh paling dekat dua meter, maka FPV bisa lebih dekat hingga beberapa sentimeter saja, karena tidak memiliki sensor. Tapi jika objek terlalu dekat dan bertabrakan, tentu risiko pilot sendiri.
Drone FPV juga bisa mengikuti objek yang memiliki kecepatan tinggi dan terbang seperti pesawat aeromodeling. Bisa juga mengikuti speed boat yang sedang melaju kencang. Bisa juga memvideokan kendaraan di darat dengan jarak yang relatif dekat dengan objek, baik sepeda motor atau mobil. Juga bisa mengikuti manusia berlari seperti olahraga parkour atau aktivitas olahraga lainnya. FPV bisa mengikuti kecepatan objek dan menyesuaikan dengan kecepatannya.
“Makanya, FPV ini bisa digunakan untuk sinematik. Pembuatan film sudah sering menggunakan FPV. ,” ujar Juniarto.
Dirakit Khusus
Kekhasan yang dimiliki FPV adalah diperlukan rakitan khusus. Menurut Juniarto, perakitan FPV ini menjadi bagian penting dari spesifikasi drone jenis ini. Berdasarkan penelusuran Riau Pos, belakangan drone DJI pun kini sudah mulai meluncurkan versi FPV yang lebih dinamis. Hanya saja menurut Juniarto, tetap ada perbedaan antara DJI FPV dengan FPV murni yang berasal dari rakitan.
“Jadi semuanya memang dibeli terpisah. Komponennya bisa kita beli di luar negeri atau di toko daring, lalu kita rakit,” ujar Juniarto.
Harga masing-masing komponen sesuai spesifikasi yang diinginkan. Harga termurah setelah rakitan, termasuk kamera adalah Rp5 juta. Termahal bisa Rp50 juta per unit. Di komunitas Riau FPV, ada yang memiliki drone FPV maksimal seharga Rp25 juta.
Adapun komponen yang dibeli terpisah adalah motor atau dinamo 4 unit, baling-baling, electronic speed control (ESC), flight controller (FC), video transmitter (VTX), reciever (RX), camera action (biasanya dengan jenama go pro), dan frame atau cangkang yang terbuat dari fiber karbon.
“Baik kamera, atau komponen lainnya berbeda dengan drone konvensional. Termasuk frame-nya. FPV ini lebih kuat karena terbuat dari fiber karbon. Harus dipastikan kalau jatuh tidak akan membuat komponen di dalamnya rusak. Sebab, FPV lebih rawan crash,” ujarnya.
Hanya saja, kendati rawan bertabrakan (crash), FPV biasanya dilengkapi dengan pelindung yang kuat. Selain bahan yang relatif kuat, bobotnya juga relatif lebih ringan. Tentu saja ini perlu diimbangi dengan kemampuan pilot yang lebih baik.
Makanya, dalam komunitas Riau FPV selalu diadakan latihan rutin agar kemampuan pilot terus terasah. Misalnya di Dumai selalu diadakan latihan di Bukit Gelanggang dan Lapangan Purnama tiap Sabtu dan Ahad.
“Selain latihan menerbangkan drone, juga ada sharing session,” ujarnya.
Ada Budget, Ada Kualitas
Kualitas drone yang dirakit ini sangat berkaitan dengan budget yang tersedia. Kualitas drone termasuk soal kualitas kamera, kecepatan drone, waktu terbang maksimal (kekuatan baterai), jarak terjauh antara pilot dan drone FPV yang sedang terbang, dan lainnya.
Misalnya untuk anggaran Rp5 juta, sudah bisa mendapatkan paket lengkap, termasuk VR google, remote, dan drone FPV. Hanya saja, kualitas videonya, kecepatan terbang, dan lamanya terbang tentu berbeda dengan yang lebih mahal. Untuk anggaran Rp5 juta, baterai biasanya hanya bisa digunakan untuk empat menit terbang dengan masa pengecasan satu jam. Masa terbang FPV memang lebih ringkas dibandingkan masa terbang drone konvensional yang bisa mencapai 15 menit dengan masa pengecasan yang sama, satu jam.
“Sebab, pada FPV ini kecepatan lebih tinggi dengan manuver lebih banyak. Baterai jadi cepat habis,” ujar Juniarto.
Jika anggarannya Rp25 juta misalnya, maka waktu terbang lebih lama, bisa setengah jam. Begitu juga jarak terbang drone dengan pilot bisa lebih jauh, bahkan mencapai 1 km dari lokasi pilot. Kualitas video juga lebih mumpuni mencapai 4 k dengan jenama go pro.
“Tentu lebih puas,” ujarnya.***
Laporan MUHAMMAD AMIN, Dumai